Terakhir kali mengurus visa Schengen kurang lebih 7 tahun lalu itu di TLS Contact via Prancis..
Sebenarnya di tahun 2020, sempat urus visa Schengen juga di London buat ke Paris. Sudah submit dokumen dan paspor, tapi akhirnya semua dibatalkan karena pandemi. Setelah 2020, traveling ke Eropa terasa jauh. Tapi karena vakum traveling jauh, alhamdulillah rejekinya bisa dipakai untuk dua hal penting yang sudah diniatkan sejak lama.
Awal tahun ini, tiba-tiba ada kesempatan untuk urus Schengen sekali lagi. Kali ini urus via Belanda, karena ngga sengaja.
Cari tanggal appointment Schengen sekarang susahnya luar biasa.
Tujuan utama trip kali ini adalah nemenin Pak Dokter yang ada short course di Porto. Jadi, harusnya lewat VFS Portugal. Setelah pencarian yang ekstensif, satu-satunya maskapai yang langsung ke Portugal (transit di ibukota negara maskapainya dulu tentunya) itu hanya maskapai negara Turki.
Berdasarkan pengalaman 7 tahun lalu, naik maskapai tersebut kurang pas. Selain karena durasi flightnya yang panjang, sekarang pun masih dan makin ngga pas liat harganya yang kok mahal banget buat ke Porto. Sebenarnya maskapai lain juga ada tapi harus dua kali transit yang total lama perjalanannya bisa dua hari dengan waktu transit yang panjang.
Setelah berhari-hari atau mungkin sampai sekitar dua tiga minggu dengan pencarian dan perhitungan yang intens, akhirnya diputuskan rutenya akan menjadi Jakarta-Paris naik maskapai timur tengah yang transit di Abu Dhabi. Keluar dulu, transit di CDG 8 jam, lalu dengan maskapai Eropa langsung dilanjutkan Paris-Porto di hari yang sama. Ini adalah pilihan yang paling ideal dengan harga dan waktu yang masuk akal.
Ternyata, saat ini, sangat direkomendasikan buat cari dulu tanggal appointmentnya yang sesuai rencana keberangkatan, baru fokus cari tiket dan lain lain. Di sinilah awal semua drama.
Ketika cari tanggal appointment, berkali-kali buka website tulisannya selalu tidak tersedia. Tipsnya ngga ada selain coba cek secara berkala. Kadang tiba-tiba ada satu dua tanggal yang kosong. Rencana awalnya hanya booking buat Pak Dokter. Tapi, setelah beberapa lama, kayanya agak basi kalo ke Eropa sendiri (☺️).
Ketika tanggal appointment Pak dokter sudah aman, mulai cari lagi tanggal buat saya dan anak saya. Berhari-hari ngga dapet, sampai akhirnya ada kosong satu hari sebelum jadwalnya Pak dokter. Langsung booking biarpun yang tersedia hanya premium service yang di luar jam kerja.
Setelahnya agak lega karena tanggal udah aman. Saat itu masih awal Maret sedangkan tanggal perjanjian masih belasan April akhir. Saya pastikan di dashboard akun VFS udah tercantum nomer referensi untuk perjanjian di dua tanggal tersebut. Saya cek email dan berpikir tumben ini ngga masuk ke email. Tapi ya sudah, selama di dashoard ada formnya dan jelas sampai bukti bayar harusnya ngga masalah.
Jeda waktu dipakai buat isi-isi form Schengen. Formnya ngga terasa seribet pertama kali urus.
Kayanya pernah nulis setiap perjalanan yang dilalui itu pasti ada twistnya. Saya inget banget satu malam abis maghrib nyelutuk ke Pak Dokter :
“Tumben nih kayanya ngurus Schengen aman”.
Tanpa berlama-lama, besok paginya langsung semesta bekerja buat kasih pelajaran untuk kesombongan yang terucap di mulut.
Besok pagi, saya iseng cek ke akun VFS yang dipakai buat daftar perjanjian. Udah lama banget ngga cek. Waktu buka dashboard, jantung langsung berdebar karena di dashboard cuma ada satu appointment, punya Pak Dokter. Sedangkan punya saya ngga ada. Panik banget. Langsung refresh berkali-kali tetap ngga ada.
Salah satu hal yang saya syukuri adalah saat pertama kali keluar surat jadwalnya di dashboard, saat itu juga saya langsung download dan simpen di laptop. Karena tanpa ada itu, saya tidak bisa membuktikan sama sekali kalo saya sudah daftar, dapat tanggal dan bayar. Hari itu juga langsung saya datang ke VFS. Alhamdulillah lagi, VFS ini deket banget sama tempat tinggal hanya 10 menit naik angkot.
Pagi itu jadi pagi yang super gelisah. Saya antri buat minta info di VFS Portugal. Saya masih duduk nunggu sampai saya liat satu aplikasi yang nomer referensinya berawalan POR. Sedangkan punya kami berawalan NLD. Serangan panik yang kedua.
Makin panik ketika ada satu orang bapak-bapak mau ke VFS Jerman yang mana surat referensinya berawalan GER. Di sini saya makin yakin kalo ada yang salah.
Saya langsung tanya ke petugasnya tentang kode ini dan ternyata benar kalo lewat Portugal referensinya diawali dengan POR. Lemes banget.
Saya coba telp ke helpline embassy Portugal tanya kenapa websitenya buat bikin perjanjian diarahinnya ke Belanda, padahal saya inget betul saya milih Portugal.
Ternyata, saya salah alamat web. Harusnya saya masuk ke http://www.vfsglobal.com. Dari sana baru pilih mengajukan dari mana dan mau ke mana. Baru akan diarahkan ke VFS masing-masing.
Makin lemes lagi.
Tapi, ngga ada waktu buat lemes lama-lama. Langsung susun rencana ulang. Saya buka VFS Portugal setiap hari berkali-kali. Ngga ada satupun tanggal yang kosong. Pernah akhirnya ada slot kosong di bulan Juli yang mana ngga ada gunanya juga karena short coursenya di bulan Juni.
Kenapa ngga lewat TLS Contact Paris? Itu lebih parah antrinya.
Saya langsung email VFS Belanda buat memastikan surat referensi saya ini valid. Selama kurang lebih 10 hari, saya seperti teman pena dengan VFS. Balas-balasan email non stop. Tapi saya ngga peduli.
Sebenarnya ada satu plot twist kecil lagi sebelum ini. Di surat tanggal perjanjian, saya baru sadar kalo nomer paspor anak saya kelebihan. Waktu itu saya sudah langsung email bahwa ini harusnya ngga jadi masalah. Alhamdulillah ngga masalah meskipun mereka sudah ingatkan buat lebih hati-hati di pengisian formulir aplikasi visa karena akan sangat fatal akibatnya.
Balik ke pengurusan visa.
Pilihan saya waktu jadi hanya dua : berharap ada keajaiban tanggal kosong di Portugal atau ubah route perjalanan yang mana akan nambah biaya lagi.
Agak down juga waktu itu karena dapet tiket PP JKT-Paris harga promo yang oke banget. Liat gini jadi deg-degan kalo ternyata harus lewat Belanda.
(Visa Schengen bisa diurus dari negara terlama yang dikunjungi atau negara pertama kali masuk. Banyak yang bilang ngga masalah urus dari mana aja. Ngga ke negara tersebut juga bisa. Tapiii, itu sangat beresiko. Kalo di imigrasi ditanya kenapa ajukan visa dari negara tersebut tapi tidak ada bukti kalo akan ke sana, urusannya bisa panjang dan kami milih ngga ambil resiko itu).
Makin mendekati tanggal perjanjian, hampir dipastikan sudah ngga mungkin bisa urus dari Portugal. Jadi, saya makin fokus siapin untuk Plan B. Ubah itinerary jadi lewat Belanda.
Beda sekali perasaan urus visa kali ini. Sudah ngga kehitung berapa kali coba otak-atik real itinerary. Bikin simulasi pilihan itinerary di excel beserta biayanya. Perubahan ini cukup makan biaya (banget). Tapi, selama ada rezekinya, yang mana semoga selalu dilapangkan (amin!), sudah dapat tanggal perjanjian yang ideal sesuai waktu keberangkatan jadi satu hal yang uang juga ngga bisa bayar.
Ada satu lagi plot twist yang tiba-tiba muncul : Pemerintah mengumumkan cuti bersama Idul Fitri maju ke tanggal 18 April. Sedangkan tanggal perjanjian kami sehari dan dua hari setelahnya.
Pengen nangis banget waktu tau itu Jumat malam, jadi harus nunggu sampai Senin untuk nelpon ke VFS tentang hal ini.
Meskipun minggu itu bukan long weekend, itu terasa jadi long weekend terpanjang buat saya.
Di periode ini, doa saya makin panjang. Apalagi pas banget bulan Ramadan. Perasaan tiap hari ngga karuan. Sering berpikir, mungkin ini peringatan buat ngga jalan.
Tapi, seperti biasa, dalam periode ini juga saya jadi banyakk sekali belajar tentang hal baru. Terutama dalam mengurus visa Schengen.
Di hari Senin, jam 7.59 saya sudah standby buat telpon. Alhamdulillah lega sekali waktu mereka bilang mereka hanya tutup di tanggal merah sesuai kalendar. Jadi, tanggal perjanjian saya dan Pak Dokter aman.
Saya juga sudah mempersiapkan skenario di otak bahwa di tanggal perjanjian saya, Pak Dokter akan ikut dan di counternya saya akan tanya apa memungkinkan untuk submit sekalian. Mengingat kita satu keluarga dan Pak Dokter adalah sponsor utama trip ini, jadi penting banget buat aplikasi saya dan anak saya mengikuti aplikasi sponsor utama.
Menjelang tanggal perjanjian, setiap hari saya cek semua dokumen. Sudah ngga terhitung berapa kali saya cek formulir aplikasi setiap hari. Di formulirnya, saya putuskan buat tulis hanya ke Belanda saja. Karena jika ditulis akan mengunjungi negara Schengen lain, kita juga harus melampirkan bukti perjalanan dan penginapannya yang mana akan makin ribet lagi.
Itinerary tersebut sebenarnya agak ngga meyakinkan ya. Agak aneh menghabiskan 9 hari hanya di satu negara ketika visanya bisa banget dipakai buat ke negara lain. Jadi, di itinerary yang dilampirkan, saya tulis juga beberapa day trip ke kota lain atau kota negara lain yang terdekat dari Amsterdam seperti Brugge di Belgia. Tapi yang jelas, tanpa menginap. Jadi, ngga perlu ada lampiran bukti penginapan.
Ini juga pertama kalinya saya apply visa dengan tiket dummy. Tiket dummy saya beli lewat http://www.dummyticket.com. Prosesnya cepat dan gampang. Kita bisa rekues juga kita mau sampai di kota tujuan itu tanggal berapa. Karena tanggal mulai visa berlaku itu bisa banget baru di hari kita sampai, sedangkan beberapa penerbangan itu sampai di hari yang sama dengan hari keberangkatan. Jadi, ngga pas. Oleh karena itu harus pastikan dengan benar kapan kita akan sampai dan keluar di dan dari area Schengen.
Pada dasarnya, semua dokumen yang kami punya cukup meyakinkan, bukti finansial cukup kuat, histori perjalanan banyak, secara matematika manusia, harusnya visanya bisa dikabulkan tanpa kendala.
Tapi, semua yang dilewati di atas buat saya makin percaya, apa sih yang iya kalo Allah bilang ngga? Pun sebaliknya.
Meskipun dua minggu tersebut perasaan saya ngga karuan dan gelisah setengah mati, saya lebih dari bersyukur karena dikasih peringatan dini. Kayanya ngga kebayang kalo saya dengan percaya dirinya datang ke VFS Portugal di tanggal perjanjian, dengan bawa dokumen tiket yang pertama kali dibeli, lalu tau bahwa itu ngga bisa dipakai karena itu perjanjian dengan VFS Belanda. Alhamdulillah itu cuma ada di bayangan. Jadi, kalo cuma disuruh belajar lagi, ayo deh. Belajar emang ngga ada yang enak.
Di tanggal perjanjian, saya udah pasrah aja. Semua yang bisa dilakukan sudah dilakukan.
Berhuhung servis yang dipilih adalah servis premium karena di luar jam kerja, pada saat kami tiba di VFS, antriannya hanya sedikit sekali. Duduk sebentar ngga berapa lama langsung dipanggil.
Setelah petugasnya cek dokumen saya, saya mulai beranikan untuk nanya apa memungkinkan kalau aplikasi Pak Dokter juga dimasukan sekarang. Petugasnya minta izin untuk ke dalam buat nanya ke atasannya. Dia kembali dengan jawaban yang diharapkan dengan catatan karena waktu perjanjian suami saya itu di jam kerja normal yang mana harganya lebih murah, kami harus bayar selisih harga untuk servis premium servis.
Sekali lagi, punya keleluasan untuk memilih jadi sebuah privilege yang harus disyukuri.
Secara garis besar, semua dokumen aman. Sempat diminta untuk buat surat pernyataan dengan tulis tangan karena di surat keterangan kerja Pak Dokter tidak tercantum nama saya dan anak. Surat ini dibuat dengan mencantumkan bahwa tujuan kami hanya untuk berlibur dan ngga akan mencari pekerjaan. Waktu itu googling on the spot juga.
Dokumen-dokumen visa lama juga semua dikembalikan, karena ngga berhubungan dengan Schengen. Jadi, yang diambil saat itu hanya fotokopi aplikasi visa Schengen dari Prancis.
Biaya visa Schengen yang kami bayarkan waktu itu sebesar Rp 1.300.000 untuk dewasa dan Rp 650.000 untuk anak-anak. Waktu ke Paris, anak saya masih gratis. Kalo ngga salah visa Schengen buat anak di bawah 6 tahun itu gratis.
Setelah pembayaran di counter kami nunggu lagi untuk biometric. Itupun ngga lama langsung dipanggil. Anak di bawah 12 tahun ngga perlu biometric.
Setelah itu, semua selesai.
Rasanya waktu itu kaya ada beban berat yang terangkat.
————————————-
Menjelang pertengahan Mei, mulai agak was-was lagi karena sama sekali belum ada kabar paspor bisa diambil. Sampai akhirnya saya lupa tanggap berapa, nomer aplikasi Pak Dokter sudah tertulis pasport is ready for collection sedangankan dua yang lainnya belom.
Mulai deh tensi naik lagi. Kerjaannya tiap hari beberapa kali sehari ngecek ngga berenti. Waktu itu Pak Dokter lagi ada konfrensi di Medan selama hampir seminggu. Tadinya kepikiran untuk nyusul, yang mana alhamdulillahnya ngga.
Waktu itu saya baru sampai rumah setelah jemput pulang sekolah, duduk di sofa, iseng cek lagi. Liat semua aplikasi tertulis pasport is ready for collection langsung berdiri tegak dan bilang ke anak saya kalo saya akan keluar lagi sebentar untuk ambil. Saat itu masih jam 2 dan masih ada 2 jam untuk pengambilan.
Untuk kesekian kalinya, saya bersyukur lagi karena tinggal di tempat yang sangat strategis. Dekat kemana-mana, angkutan umum tersedia dengan mudahnya, yang mana ke VFS ada satu angkot gratis ke sana. 15 menit kemudian sudah sampai.
Karena masih jam kerja, VFS cukup ramai dan saya nunggu cukup lama sampai akhirnya nomer antrian saya dipanggil. Pasport diserahkan, tanda tangan, dan saya langsung kembali ke kursi tunggu buat buka pasport.
Alhamdulillah semua paspor terdapat stiker visa yang diperlukan, meskipun durasinya kok ya sebentar banget (untuk effort dan biaya yang dikeluarkan). Yah, nasib jadi negara ketiga.
Begitulah pengalaman mengurus visa Schengen kali ini. Kalo tips teknik mengisi form sudah banyak di luar sana. Tip saya cuma satu :
Cari tanggal perjanjian dulu jauh-jauh hari baru urus yang lain. Cuma itu yang penting.
Semoga bermanfaat (dan menghibur).