Posted in Langit Senja, Maternité, Thoughts

Perkembangan Setelah Diagnosis DLD (Developmental Language Disorder)

Selain lega, perasaan lain yang juga muncul setelah mengetahui tentang DLD adalah bingung dan takut.

Ada waktu-waktu dimana saya benar-benar down karena ini dan ngga ada kata penghiburan yang saya perlukan untuk merasa lebih baik. Kata-kata seperti alhamdulillah tapi anaknya sehat, alhamdulillah ini ngga seserius itu, dan yang lain-lain. Buat saya ini lebih dari serius dan akan jadi perjalanan dan perjuangan panjang buat kami, terutama anak saya.

Satu-satunya yang paling menghibur adalah karena saya tau kami ngga pernah dibiarin sendiri.

Sebelum ke London, saya ngga ngerti apa ini kok belum berenti juga dari spesialis 5 tahun, WKDS 1 tahun di tempat yang jauh, tiba-tiba fellowship lagi 1 tahun di tempat yang lebih jauh. Ternyata, yang punya hidup sedang nunjukin jalan dan solusi buat masalah besar yang dihadapi, buat jawab semua doa yang diminta, buat mengabulkan cita-cita.

Makanya disiapkan juga setahun sebelumnya WKDS di tempat yang jauh, harus LDM, dan saya masih ingat betapa berat perasaan waktu itu. Ikut ngga memungkinkan, ngga ikut berarti harus berhadapan dengan banyak hal sendiri. Tapi pelan-pelan dijawab.

Betul jauh, tapi dikasih penempatan di RS yang baik. Rekan kerja dan waktu kerjanya sangat menyenangkan. Bisa hanya kerja 10-14 hari per bulan karena bergantian sehingga sisanya libur dan bisa pulang ke Jakarta.

Betul berat, tapi dikasih penempatan yang uangnya alhamdulillah tepat waktu dan sangat lebih dari cukup sehingga bisa bolak -balik sebulan sekali, menabung lumayan, bisa lebih leluasa juga membantu orang lain.

Dikasih WKDS ternyata memudahkan sekali buat mempersiapkan dokumen-dokumen buat kepindahan yang mana rasanya waktu itu kaya ngga selesai-selesai. Banyak dan ribet. Tanpa metode kerja 2 minggu libur 2 minggu, kami ngga akan ada waktu untuk bisa menyiapkan banyak hal dalam waktu enam bulan. Bahkan ayahnya harus terbang ke Medan khusus untuk ambil tes bahasa Inggris yang hanya ada di sana.

Sebelum berangkat, sudah puluhan rumah di daerah utara London ditandai dengan alasan lokasinya searah dengan RS tempat kerja. Kenyataannya kami ditunjukkan tempat tinggal di ujung lawannya di selatan. Dimana tempatnya ini beda sekali dengan utara yang rame, tapi justru pas sekali. Tenang, nyaman, sepi, dekat banyak hutan, di depan sungai Thames, dan ternyata karena mau didekatkan dengan sekolah dimana jawaban yang dicari ada di sana.

Sejak mengetahui tentang DLD, kami ngga berhenti mencari tau lebih banyak lagi seperti dengerin podcast, beli buku, bahkan saya daftar NAPLIC confrence di Sheffield, sebuah pertemuan yang membahas tentang DLD dari berbagai peneliti dan tokoh yang menyuarakan tentang DLD ini. Saya juga mendaftarkan diri sebagai RADLD ambassador di RADLD.com, yang sayangnya masih ditulis dari UK karena domisili saya saat ini masih di Inggris. Sedang mengirimkan permohonan supaya bisa diganti ke Indonesia karena TIDAK ADA SATU PUN perwakilan dari Indonesia, yang mana jadi kekhawatiran besar selanjutnya.

————————————

Bagaimana kelajutan tentang diagnosa DLD?

Laporan hasil screening diberikan minggu berikut setelah saya menemukan tentang DLD. Hasilnya adalah perlu screening lebih lanjut. Sampai ada jeda waktu yang cukup lama yang buat saya gelisah kenapa ngga ada kabar lagi.

Masa-masa antara satu screening ke berikutnya dan menunggu hasil adalah periode yang sangat ngga nyaman. Di satu sisi sedikit lega karena paling ngga ternyata kondisi ini ada labelnya, ada penelitiannya, dan ada lembaga supportnya. Di sisi lain dada juga sesak membayangkan anak ini harus menghadapinya seumur hidup. Hidup udah berat, dengan ini akan jadi lebih berat.

Setelah hasil screening resmi keluar dan dinyatakan jelas dia memang memerlukan terapi, kami sempat beberapa kali diundang ke sekolahnya. Kami bertemu dengan orang dari tim SLT dan dijelaskan dengan rinci dan detail dengan sangat hati-hati. Khas orang Inggris sekali bisa menyampaikan sesuatu dengan bahasa yang terbungkus rapi, dimana kadang dianggap bertele-tele.

Saya suka sekali cara mereka membantu kami. Kaya itu hal sudah seharusnya mereka lakukan dan terlihat tulus sekali. Saya mungkin yang agak culture shock dari dapet terapis ngasal yang dibayar malah main hp ke orang-orang profesional yang saya bahkan ngga bayar sepeser pun malah terus bantu bahkan ketika saya bilang terima kasih berkali-kali dijawab dengan : “No, it’s fine, really. That’s our job”.

😭😭😭

Satu semester berlalu dan kemajuan anak saya pesat sekali. Bisa benar-benar ceriwis. Masalah bicara dengan struktur yang benar pelan-pelan terlihat. Kalo sebelumnya bilang : I going to school, pelan-pelan berubah jadi I am going to school.

Dia juga mulai sering monolog panjang seperti cerita ke mainan-mainannya, cerita dengan antusias tentang hari di sekolahnya, semaksimal normalnya anak DLD.

Satu masalah anak DLD adalah masalah teman. Seperti di sekolahnya dulu, dia hampir ngga bisa berbaur dengan teman-temannya terutama yang perempuan, karena besar kemungkinan dia ngga ngerti apa yang mereka bicarakan dan juga ngga bisa mengungkapkan apa yang dia rasakan. Dan, tanpa bermaksud apa-apa, anak-anak di sini beda dengan di Indonesia. Ketika pagi ketemu di gerbang atau di jalan, pulang sekolah atau ketemu di supermarket, semuanya menyapa walaupun sekedar Hi seperti yang saya tulis di The Last Day of the Happiest School Year dan This Cool School.

Di sekolah ini dia bener-bener punya teman yang mau main dengannya dan yang selalu dia sebut namanya di rumah. Kami sangat bersyukur sekali buat itu.

Berada di lingkungan yang berbicara dengan bahasa yang dia paling nyaman juga sangat berpengaruh terhadap perkembangan psikologis dan kemampuan berbahasa anak saya. Sekolah dan berteman dengan bahasa Inggris buat dia lebih nyaman, lebih happy, dan akibatnya dalam beberapa bulan di sini, kemajuannya jauh lebih banyak ketimbang 1,5 tahun sekolah dan terapi di Jakarta.

Meskipun di rumah kami banyak bicara bahasa Indonesia, dia hampir selalu menjawab dalam bahasa Inggris. Di sini terlihat bahwa dua bahasa sama sekali ngga ada hubungannya dengan DLD. Dia bisa mengerti keduanya dan tetap memiliki kesulitan di keduanya.

Selalu ada dua sisi dalam setiap masalah. Selain fokus di masalah bahasa, sejak pindah ke sini dia punya dua rutin yang saya ajarkan tiap hari. Salah satu keuntungan pindah ke sini adalah fokus dan energi saya lebih banyak buat dia. Kami mulai meneruskan pelajaran Iqro setiap abis maghrib dan hafalan Al-Quran setiap abis subuh. Di akhir tahun lalu, ayahnya beliin piano yang tujuan awalnya supaya saya bisa main sedangkan saya sudah lama kepikiran pengen beli buat ngajarin dia.

Pelajaran piano dimulai pertengahan Desember ketika satu hari Senin tiba-tiba sekolah diliburkan karena ada kebocoran gas. Hari itu saya mulai ngajarin dia dan ngga berhenti sampai hari ini.

Saya ngga sangka, di piano dan iqro ini dia cepat sekali belajar. Dari pandangan objektif saya sebagai guru, anak ini cepat sekali belajar not balok dan huruf hijaiyah. Dalam 7 bulan dia bisa selesai satu buku, baca not dasar dengan baik, main duet, dan bahkan sempat ikut lomba dengan belajar sebuah lagu dari awal, yang levelnya lebih tinggi. Di luar jam latihan wajib dengan saya, sering sekali dia latihan sendiri. Dia berhasil menghafal semua not di tangan kanan dan kiri juga lirik sepanjang delapan baris dalam waktu dua minggu dengan hasil seperti yang saya tulis di sini.

Di iqro pun juga progresnya cukup baik. Satu buku dihabiskan dalam dua bulan, bisa lewat halaman evaluasi tanpa salah, dan sekarang sudah ada di akhir buku empat.

Salah satu hal yang paling menghibur adalah anak ini suka belajar. Selama lockdown kami terus rutin belajar dengan jadwal sendiri dan antusiasmenya juga terlihat sekali. Baik di piano, iqro, membaca, matematika ataupun menulis. Laporan akhir tahun dari sekolahnya mengkonfirmasi hal ini.

Beberapa minggu belakangan ini juga, setidaknya ada tiga orang yang kata-katanya cukup memberikan penghiburan.

Waktu konsultasi dan observasi dengan dr Mustafa, kalimat yang saya paling inget dari beliau : “There’s nothing you should worry too much. She’s fine. She’s intelligent. Keep an eye, go to therapy, of course. But, there’s no need to feel so anxious about this. She’ll be ok”.

Lalu kemarin ayahnya cerita ngobrol dengan konsulennya di RS tentang ini. Dr Sally juga cerita tentang salah satu anaknya yang dyxpraxia/DCD. Gimana dulu bahkan ketika SD dia sempet mempertanyakan apa anaknya bisa lulus karena sampai 9th tulisannya jelek, ngga bisa mengarang cerita, dsb. Tapi ternyata, semua baik-baik aja sampai hari ini anaknya jadi dokter, straight A student selama kuliah, nulis jurnal ilmiah, dsb. Kalimatnya yang secara ngga langsung saya denger, “Every child will find their way. Something that we worry too much now could be irrelevant in the future”.

Suka sekali.

Terakhir, kemarin adalah jadwal Parent Teacher Meeting dengan guru kelasnya. Gurunya cerita kalau dalam tiga hal dasar kemampuannya cukup bagus.

” Her math and writing are on the track. She starts writing sentence on her own, which is so lovely. She’s having her SLT twice a week with Denise and her progress is really good. She’s working hard on it. She is really good at reading. She will go to the next level this week. She’s a strong reader”.

“Thank you. That’s very nice to hear. And thank you so much for helping her”.

“Ah no, no she’s a lovely girl and she’s a pleasure to have here”.

I really love her school😭😭😭.

Kami masih terus belajar tentang DLD maupun DCD. Rencana ke depan dan jangka panjang masih belum pasti. Sulit sekali membayangkan harus berjalan sendiri tanpa support yang kami terima di sini.

Tapi, untuk semua hal yang kami sudah didapat, dalam bentuk apapun, saya ngga punya cukup kata syukur buat semua yang terjadi selama setahun kota ini.

Kami salah satu kasus yang beruntung karena bisa dideteksi sejak dini. Banyak sekali anak dan orangtua selama bertahun-tahun harus terus merasa kebingungan dengan apa yang terjadi dan ngga pernah mendapatkan jawaban dan bantuan yang dibutuhkan.

Saya bersyukur untuk semua kesempatan belajar dan menyaksikan kemajuan sekecil apapun dari usaha yang dilakukan. Sebagai orangtua hal ini juga melatih empati. Mempersempit fokus dan menyalurkan kemana energi dan sumber daya dihabiskan untuk hal-hal yang penting. Menghargai hal-hal sederhana yang mungkin buat orang lain hal biasa dan bukan apa-apa. Menyadari bahwa progres sekecil apapun berharga. Tolak ukur dan pembanding yang kita perlukan adalah diri (anak) kita sendiri, bukan (anak) orang lain.

Saya percaya selalu ada maksud dibalik semua yang menjadi rejeki kita. Termasuk anak-anak yang dititipkan, seperti yang ditulis Dr Emily di salah satu tulisannya.

Semoga hati dan langkah selalu dikuatkan, diberikan kemudahan untuk menghadapi semua ketidakpastian, rintangan dan perjalanan yang ada di depan.

Semoga Allah selalu tunjukan yang terbaik, seperti selama ini selalu didekatkan dengan sekolah dan orang yang baik. Amin.

Motherhood is basically moving from one set of worries to another set of harder worries by years. To be a mother is truly one of the bravest things I have ever done.

Posted in Langit Senja, Maternité, Thoughts

Jalan Panjang Menemukan DLD (Developmental Language Disorder) Bagian III (selesai)

Baca Bagian I dan Bagian II.

Beberapa minggu pertama di London dihabiskan untuk mengurus semua hal untuk kehidupan di sini. Pencarian sekolah baru dilakukan setelah semua hal seperti tempat tinggal dan kelengkapannya beres. Setelah dua minggu menikmati liburan kaya turis, alhamdulillah ditunjukan satu sekolah negeri yang dekat rumah dan dari awal impresinya baik sekal

Anak saya mulai sekolah di akhir September. Semua berjalan lancar dan dia keliatan happy di sekolah meskipun jadwal belajar yang panjang lima hari seminggu jam 8.50-15.20. Sekolahnya juga terlihat menyenangkan dari segi guru dan teman-temannya. Satu bulan sekolah di sini jelas sekali dia lebih bahagia dibanding 1,5 tahun di sekolah lamanya.

Perkembangan bahasa ada sedikiit kemajuan, sudah bisa mulai cerita agak panjang, meskipun strukturnya masih tetap berantakan. Dalam hati, saya masih gelisah dan bertanya-tanya, tanpa intervensi apa semua akan tiba-tiba jadi normal. Saya sempat tanya ke ayahnya, kita perlu konsul ngga sih disini. Tapi ngga benar-benar dilakukan karena ngga tau juga kemana.

Seperti banyak hal di hidup saya, biasanya jalan akan terbuka ketika saya sudah benar-benar desperate. Seperti tadinya jalan di terowongan gelap yang panjaaang, kesandung sana sini, berenti istirahat, jalan lagi, dan lalu tiba-tiba aja ada cahaya di belokan ke jalan keluar.

Tanggal 14 Oktober 2019 ada pertemuan orang tua murid pertama di sekolahnya. Ini adalah sesi satu lawan satu antara orang tua murid dan guru selama 10 menit. Di pertemuan ini, gurunya membicarakan perkembangan selama di kelas. Di sini, masalah bicaranya diangkat yang mana mulai buat saya gelisah lagi. Tapi kali ini, saya pulang dengan solusi.

Ternyata hampir semua sekolah di UK punya tim khusus untuk masalah speech and language. Sehingga, apa yang saya cari sebelumnya ternyata ada di dekat saya. Saya diberikan form persetujuan untuk anak saya diizinkan melalui screening oleh Speech and Languange Therapist.

Di sini SLT adalah suatu profesi khusus yang ada pendidikan khususnya. Ada sekolah resminya dan memiliki gelar profesi khusus seperti psikolog. Bukan dokter anak atau sekedar terapis seperti di Indonesia yang saya juga kurang tahu dan jelas latar pendidikannya termasuk ke mana. Setelah form dikembalikan kami masih menunggu hasilnya.

Masih di minggu yang sama, tiga hari kemudian, saya ngga akan lupa hari itu.

Kamis, 17 Oktober 2019.

Pagi itu saya selesai anter sekolah, ketika melewati aula, saya berhenti di depannya dimana ada papan kecil dengan pamflet berwarna ungu. Saya dekati dan saya baca isinya.

Selama beberapa menit, jantung seperti mau copot. Tangan gemetar mau foto dan wa ayahnya.

Setelah semua yang dilalui dan dijalani, saya ngga nyangka hari itu akan datang. Hari dimana akhirnya saya mendapatkan jawaban dari semua pertanyaan dan segala rasa frustasi bertahun-tahun ini.

Sebuah papan dengan poster sebagai berikut :

Meskipun saat itu sama sekali belum ada diagnosa resmi apapun, saya hampir 100% yakin ini adalah kondisi yang dialami anak saya, yang mana dikonfirmasi setelah beberapa bulan kemudian. Kenapa saya yakin? Semua tanda yang disebutkan sesuai sekali dengan anak saya.

Dengan perasaaan saya campur aduk, saya langsung wa ayahnya dan bicara ngga berhenti. Saya habiskan seharian dengan membaca semua tentang ini.

Semua typo diabaikan karena otak bekerja lebih cepat dari tangan

Sementara saya langsung yakin seyakin-yakinnya dalam beberapa menit, wajar sekali ayahnya ngga percaya. Setelah bertahun-tahun percaya bahwa ini hanya masalah delay dan soal waktu, dalam satu chat singkat, kondisi anaknya berubah jadi gangguan permanen yang akan berlangsung seumur hidup.

Seperti vonis.

Anak saya bukan sekedar speech delay atau late talker, tapi dia punya sebuah disorder/gangguan bernama DLD.

————————————————–

I. Jadi apa itu DEVELOPMENTAL LANGUAGE DISORDER atau DLD?

Poster di bawah ini bisa menjelaskan secara singkat :

Saya translate sebisanya di bawah ini :

1. DLD adalah sebuah diagnosis yang diberikan ketika seorang anak atau orang dewasa yang memiliki kesulitan untuk berbicara dan/atau memahami bahasa.

a. Meliputi kesulitan dalam bahasa ekspresif (ini menjelaskan kenapa dia bisa baca cepat sedangkan tidak dengan bicara. Karena gangguannya ada di bahasa ekspresif, bukan reseptif). Bahasa gampangnya seperti dyslexia, seperti yang di chat saya. Kalo dyslexia gangguan membaca, maka ini adalah gangguan bicara.

b. Mempengaruhi anak-anak dan akan berlanjut hingga dewasa. Iya, ini adalah kondisi seumur hidup. Bukan seperti penyakit yang bisa sembuh dengan minum obat dan seiring waktu.

c. Menimbulkan kesulitan sosialisasi

d. Tidak memiliki penyebab pasti, dan kemungkinan dari faktor genetik.

2. DLD adalah kondisi yang tersembunyi namun sangat umum. Dua anak dalam setiap kelas berisi 30 orang mengidap DLD yang mana hal ini mempengaruhi belajar, literasi, pertemanan dan kesehatan emosi.

a. Sering dianggap sebagai anak yang berkelakuan buruk, tidak mau mendengarkan dan tidak bisa memperhatikan.

b. Dalam studi terbaru, DLD ditemukan sebanyak 7% di anak usia 4-5 tahun.

c. Mempengaruhi proses belajar di sekolah.

d. Mempengaruhi kemampuan dasar seperti menulis dan membaca yang sering dikaitkan dengan dyslexia.

e. Menyebabkan perasaan terisolasi dari pertemenan karena kesulitan mengerti dan mengungkapkan dengan baik.

f. Meningkatkan resiko pencapaian akademik yang rendah.

g. Dapat menyebabkan gangguan perilaku, emosi dan mental serta kesulitan mencari pekerjaan

3. Dengan support, orang atau anak dengan DLD bisa mengikuti pembelajaran dengan baik.

Anak DLD ini sering ditemukan sama cerdasnya dengan anak biasa pada umumnya. Maka itu dari sebelumnya saya bilang, anak saya benar-benar terlihat baik dari luar. Dia bisa menghafal isi buku kamus anak-anak, cepet sekali menghafal sesuatu yang punya nada, selain lagu juga seperti doa atau suara ngaji. Kemampuan berpikirnya jalan. Kemampuan kognitifnya juga cukup baik. Ingatannya di atas rata-rata. Tapi kemampuan bicaranya akan selalu 1-2 tahun di bawah anak seusianya.

Di artikel ini dijelaskan dengan rinci tanda-tanda DLD sesuai umur dimana baru mulai terlihat jelas di masa umur pra sekolah, yaitu 3-5 tahun. Diagnosanya pun ngga bisa ditentukan lebih awal dari 5 tahun. Bedanya dengan speech delay atau late talker adalah, anak yang hanya mengidap speech delay akan bicara dengan normal dengan terapi setelah beberapa waktu. Anak dengan DLD akan selamanya memiliki gangguan ini.

II. Seperti apa ciri-ciri anak DLD?

Ini saya baca dari artikel PDF dari I CAN. Sebuah lembaga komunikasi untuk anak di UK :

Di artikel tersebut dijelaskan bahwa untuk melabeli seorang anak memiliki #DLD, ia harus memiliki kesulitan berbahasa yang terus muncul sampai usia sekolah. Oleh karena itu, ketika awal hanya akan didiagnosa sebagai speech delay. Tapi jika ini terus berlanjut sampai usia TK, bisa jadi itu adalah #DLD.

Tanda-tanda seorang anak memiliki #DLD bisa beragam tetapi hampir selalu memiliki kesulitan dalam memahami spoken language. Mereka juga memiliki kesulitan untuk mengungkapkan pikiran dan perasaan dengan baik melalui bahasa.

Beberapa ciri DLD :

1. Kesulitan untuk mengatakan keinginan, meskipun mereka punya suatu ide di kepala.

2. Kesulitan untuk menemukan kata yang pas untuk digunakan.

3. Bisa bicara dalam kalimat, tapi sulit dimengerti orang lain (ini jelas ada di anak saya, sampai sekarang).

4. Bunyi suara yang tidak jelas sehingga orang lain sulit mengikuti yang mereka bicarakan. (Salah satu alasan kenapa anak saya sulit berteman).

5. Mengalami kesulitan untuk memahani instruksi yang panjang dan kompleks.

6. Mengalami kesulitan mengingat kembali kata-kata yang ingin mereka sampaikan.

7. Sulit untuk berbaur dan bermain bersama-sama di playground karena ia sulit untuk mengikuti percakapan yang terjadi, terutama jika itu sebuah grup besar.

Satu ciri utama yang tertulis di artikel di atas adalah anak DLD ini bukan bicara seperti anak kecil, tetapi bicara mereka umumnya terdengar tidak terorganisir dengan baik. Bahasa sederhananya : ngomongnya berantakan. Ini yang jelas terjadi pada kasus anak saya.

Di artikel lain dijelaskan mitos-mitos yang berhubungan dengan DLD. Mitos-mitos tersebut diantaranya adalah :

1. Ini akan sembuh jika sudah waktunya. Tidak.

2. Anak ini pemalas/nakal. Ketidakmampuan untuk mengerti dan mengungkapkan perasaan lewat bahasa verbal membuat anak DLD ini frustasi.

3. Hasil parenting yang buruk.

Dari artikel tadi :
In fact, we know that in most cases, DLD arises from genetic influences on early brain development. We don’t know enough about specific genes to have a biological test for language disorder, but we do know that parents rarely cause their child’s language difficulties.

Sama sekali tidak ada hubungannya dengan parenting.

4. DLD disebabkan karena dua bahasa.
The research evidence here is pretty clear – exposure to two languages does not cause or complicate language disorder. Children need high-quality language input, so parents should continue to talk with their children in whatever language they themselves feel most comfortable speaking.

Kalo dulu kami beranggapan dengan mengikuti kelas bahasa Inggris akan membuat dia lebih cepat bicara normal, itu salah. DLD ini mempengaruhi semua bahasa yang digunakan. Jadi baik dalam bahasa Indonesia, bahasa Inggris, atau bahasa apapun, kemampuan bahasanya akan sama terganggunya. Hanya di kasus anak saya, bahasa Inggris telah menjadi bahasa yang paling nyaman untuk komunikasinya.

Jika ada satu pertanyaan besar apakah DLD disebabkan karena dua bahasa? Jawaban dari penelitian ini : TIDAK.

Di sini ada satu kampanye berbunyi :

“Not all disabilities are visible”.

Developmental Language Disorder atau DLD, yang sebelummya dinamankan Speech Language Impairment atau SLI adalah salah satunya.

Ini adalah salah satu website yang menjelaskan DLD secara komprehensif. Terutama penjelasan lengkap mengapa DLD sulit dikenali dibanding kesulitan belajar lainnya : https://dldandme.org/recognizing-dld/.

______________________________________

Salah satu yang perlu dicermati, DLD ini umumnya ngga berdiri sendiri. Ada irisan dengan ganguan perkembangan lain seperti autis, ADHD, dyslexia atau dyspraxia (DCD). Penelitian tentang hal ini masih terus dilakukan.

Pada artikel ini dijelaskan bahwa autisme dan DLD ada di dalam satu rumpun ‘Neurodevelopmental disorder’ namun autisme biasanya memiliki kondisi medis yang lebih serius. Hanya ada 2% anak dengan autisme sedangkan presentase DLD tiga kali lipatnya sebanyak 7%, namun dikarenakan gejalanya yang tersembunyi, DLD lebih sulit dikenali.

Pertengahan bulan Agustus, kami melakukan video call asesmen dengan salah satu dokter anak rujukan NHS. Seharusnya asesmen langsung tapi dikarenakan situasi covid jadi hanya via video call. Langit diberikan beberapa pertanyaan dan orangtuanya juga diwawancara. Laporan resmi sepanjang enam halaman menyatakan bahwa perlu asesmen lebih lanjut dan tiba-tiba ide DLDnya berhubungan dengan ASD (Autism Spectrum Disorder) muncul.

Kalo ketika dinyatakan DLD saya lega.

Baca kemungkinan ASD hati saya patah.

Tapi, ngga ada gunanya lama-lama berkutat dengan patah hati, yg mana udah biasa juga. Besoknya langsung cari info untuk asesmen lanjutan. Ternyata kalo asesmen dengan NHS waktu tunggunya SATU TAHUN. Kami ngga punya waktu selama itu. Kekhawatiran kalo kami kembali tanpa diagnosa yang lebih jelas, kami harus kembali lagi dari awal.

Ada alternatif lain yaitu dengan asesmen privat yang mana harus bayar sendiri. Di sini kami udah ngga banyak kompromi lagi. Cari di google dan hampir sepuluh klinik privat dihubungi.

Hampir semuanya balas dengan kasih harga yang bikin hati berat. Tapi kata orang, buat anak apa yang ngga. Apalagi kalo emang uangnya (alhamdulillah) ada.

Ada dua klinik yang balas inquiry dan komunikasinya cukup baik. Harga klinik satu 5x harga yang lain. Harga klinik yang 5x lebih murah dikarenakan dokternya konsultasi privat di rumahnya di zona 5. Sedangkan klinik lain ada di tengah kota.

Harga mahal jelas lebih meyakinkan. Dari cara mereka balas email, sangat akomodatif, responsif, dan asesmen yang dilakukan terstruktur jelas. Sedangkan dokter yang satu, dari awal nelpon kurang meyakinkan, bales sms lama, dan sebagainya.

Tapi kami tetap menjajaki dua-duanya sampai detik terakhir. Dokter privat punya keunggulan harga dan tanggal assesmen sebulan lebih awal dibanding yang mahal.

Dalam dua minggu penjajakan semua seperti sudah hampir deal dengan klinik tengah kota meskipun tiap inget harganya hati kaya dicubit. Kami sudah diberikan tanggal dan setuju dengan semua asesmen. Sementara kami tetap keep tanggal yang disepakati dengan dokter zona 5.

Dalam waktu tunggu, saya sering sekali gelisah dan nanya ke diri sendiri, apa ini terlalu berlebihan, apa harus mengeluarkan uang sebanyak ini untuk sebuah jawaban, dan masih banyak lagi.

Tapi, sekali lagi, rejeki emang ghaib.

Beberapa hari sebelum tanggal perjanjian dengan dokter zona 5, klinik tengah kota menghubungi dan ganti jadwal yang mana jadi lebih lama. Ini jadi titik balik yang akhirnya kami putuskan untuk pilih dokter zona 5.

Kami bertemu langsung dengan dr Anis Mustafa di rumahnya. Beliau adalah dokter anak senior yang berpengalaman di bidang neurodevelopmental selama 40 tahun. Setelah asesmen selama sekitar 2 jam, beliau menyatakan bahwa ada kemungkinan ini mengarah ke DCD atau dyspraxia, lebih spesifik verbal dyspraxia, dan hampir pasti bukan ASD. Dyspraxia bukan hal yang baru kami dengar.

DCD atau dyspraxia secara singkat adalah disorder yang berhubungan koordinasi. Seperti kesimbangan yang kurang. Ini juga kondisi yang ada jelas di anak ini. Tapi saya ngga akan bahas tentang itu. Video tentang DCD di bawah ini mungkin bisa membantu : https://youtu.be/O0T1MKh2JiM.

____________________________________

Saya memutuskan menulis ini dalam bahasa Indonesia karena tidak seperti gangguan perkembangan lain sepetti autis, ADD, ADHD atau dyslexia, DLD ini istilah yang masih sangat eksklusif. Setelah melakukan banyak pencarian, akhirnya saya bisa menemukan SATU makalah yang ditulis oleh Dokter-dokter anak ahli RSCM yang menyebutkan DLD secara gamblang. Prof Hardiono memang terkenal sebagai salah satu ahli gangguan perkembangan anak, termasuk bahasa.

Ini sedikit cuplikan artikelnya :

Di sini saya benar-benar menyadari pentingnya label. Saya selalu ingat betapa frustasinya tahun-tahun sebelum ini ketika saya tau dan yakin anak saya sudah bukan lagi speech delay karena dia sudah sangat sering bicara tapi tidak seperti bicara normal, sedangkan saya benar-benar ngga tau ini apa, dan ngga ada bayangan bisa tanya ke siapa.

Dengan tau kondisi anak saya ini ada namanya, ada kriterianya, ada terapinya, membuat penerimaan ini lebih mudah sehingga bisa maju ke tahap berikutnya.

Perjalanan ini mengingatkan bahwa ngga pernah ada yang mudah.

Banyak sekali hal-hal di luar kendali yang terjadi tanpa bisa dicegah.

Di atas semua usaha kita, cuma satu yang bisa buat lebih tenang : bismillah dan berserah.

Perjuangan dari sini masih panjang.

Semoga tulisan ini bisa membantu siapapun yang sedang mencari jawaban.

Posted in Langit Senja, Maternité, Thoughts

Jalan Panjang Menemukan Jawaban Bagian II

Lanjut dari Bagian I

Di tahun 2018 adalah periode single carer kedua, setelah tahun 2014-2015 ayahnya sibuk dengan residensi. Kali ini karena ayahnya tugas di luar kota selama setahun. Hampir semua hal saya kerjakan sendiri dan itu sangat melelahkan juga menguras emosi. Saya memutuskan untuk memasukan ke daycare seminggu sekali setengah hari ketika saya bekerja.

Tahun itu juga mulai masuk preschool. Kami berharap semoga dengan makin luas sosialisasinya akan berbanding lurus dengan kemampuan bicaranya. Daycare, sekolah , dan terapi berjalan sekaligus. Lelahnya menjalani tiga hal dan banyak hal lain sendirian cuma bisa ditawar dengan harapan semua akan ada hasilnya di depan yang saya sendiri juga bertanya-tanya datang kapan.

Alhamdulillah kami ditemukan dengan sekolah yang baik dimana guru-gurunya bisa mengerti tentang masalah komunikasinya dan sangat membantu sehingga saya bisa dengan tenang menitipkan anak saya seminggu tiga kali selama beberapa jam. Kami mengatakan dari awal, bahwa kami ngga punya ekspektasi apapun. Cuma ingin dia senang ada di sekolah, ketemu dan main dengan teman-temannya, ngga perlu harus bisa baca, nulis, hitung. Bahkan dari awal saya bilang, ngga papa lambat, ngga papa ulang kelas sampai dia siap dari segi komunikasi untuk ke tingkat selanjutnya.

Anak ini cukup enjoy dengan sekolahnya. Meskipun hampir ngga punya teman yang benar-benar dekat, tapi dia sangat nyaman dengan guru-gurunya. Bukan hanya guru kelasnya, tapi juga semua guru di sekolah itu. Enaknya sekolah kecil. Sekolahnya juga punya space hijau yang cukup luas. Saya bersyukur sekali untuk itu.

Selama 1,5 tahun sekolah, perkembangan bahasanya ada peningkatan tapi ya masih ‘segitu-gitu’ aja. Pertanyaan singkat bisa dijawab, menyatakan keinginan bisa diutarakan, kosa kata sangat banyak, dan lagi-lagi meskipun semua tempat yang kami pilih murni berbahasa Indonesia, tetap saja hampir semua yang keluar dari mulut adalah bahasa Inggris. Dia ngerti bahasa Indonesia, tapi entah kenapa bahasa yang buat dia nyaman adalah bahasa Inggris. Di rumah, akhirnya, sadar atau tidak, kami mulai mengikuti dengan berbicara bahasa Inggris.

Awal tahun 2019, karena melihat anak ini jelas terlihat lebih nyaman dengan bahasa Inggris, kami memutuskan untuk memasukan ke les bahasa Inggris untuk anak-anak. Tujuan utamanya hanya satu : supaya bisa bicara dengan normal ngga peduli dalam bahasa apapun.

PR saya yang waktu itu masih jadi single fighter semakin banyak : daycare, sekolah, terapi, dan ditambah lagi les bahasa Inggris. Semakin banyak kegiatan, ngga mengurangi kegelisahan saya, yang ada malah makin frustasi meskipun ngga terlihat. Kegelisahan saya makin besar karena umurnya semakin bertambah sedangkan tanda-tanda normal masih belum kelihatan.

Semua kegiatan seabrek ini kadang lebih terasa kaya pelarian. Kaya nembak ke sasaran tanpa tau ini benar atau salah dari berbagai arah dengan harapan bisa sampai target. Saya rasa kami sudah melakukan semua yang kami bisa dan mampu. Doa saya makin panjang dan menuntut. Bukan menuntut ini selesai, tapi supaya ditunjukan jalannya. Harus apa dan bagaimana (lagi). Kadang kalo lagi bener-bener overthinking, banjir air mata ngga bisa dihindarkan.

Cuma pengen liat dia bicara normal sesuai umurnya. Bukan seperti anak 1-2 tahun di bawah umurnya.

Perasaan saya seperti yang dijelaskan oleh seorang psikologi anak yang juga ibu dari anak special needs di tulisan ini.

Di awal Desember 2018, kami mulai hidup baru dengan pindah tempat tinggal. Lelah dan excited semuanya bercampur. Pindahan itu benar-benar menguras fisik dan mental. Apalagi waktu itu masih LDM. Tapi setelah beberapa minggu, semuanya sudah lebih rapi, perasaan juga udah lebih baik.

Tapi, hidup itu kadang (sering) suka lempar becandaan yang saat itu rasanya ngga lucu banget. Dua hari sebelum 2018 selesai, dalam satu tengah malam semua rencana dan peta hidup tiba-tiba berubah total karena tawaran fellowship di London muncul dan kalo ingin benar-benar kesana harus diesksekusi dalam waktu enam bulan.

Waktu itu setengah mau nangis dengan berbagai pikiran di kepala :

“Udah bayar sewa setahunnnn”.(nangis).

“Baru banget pindahan. Belum sebulan. Capenya belom ilang gotong-gotong kesana kemari bolak balik, ini serius mau pindah lagi dalam 7 bulan?”(bayangin ngulang lelahnya pindahan aja udah capek).

“Pindah tempat masih deket aja repotnya subhanallah, ini lagi pindah benua, negara, yang jelas ngga ada siapa2, gimana mau survive?”

Rasanya seperti endless races dari jalanin spesialis 5 tahun, lalu tiba-tiba tahun 2018 muncul ketentuan 5 bagian dokter spesialis wajib WKDS di desa terpencil (yang mana kebijakan ini baru ada enam bulan sebelum lulus dan lebih lucunya, dihentikan tiga bulan sebelum periode WKDS ini berakhir). Waktu itu saya pikir, kok bisa ya ‘apes’ bener. Abis lulus wajib WKDS, udah selesai tau-tau diapus.

Baca :

A New Adventure Begins

Travel Babble : A Warm Welcome

Tapi, memang bener udah semua yang ditulis di Al-Quran. Bisa jadi kita anggap sesuatu buruk tapi ternyata bawa banyak kebaikan, dan sebaliknya. WKDS ini ternyata banyak bawa blessing in disguises karena kenyataannya banyak sekali kebaikan yang didapat melalui hal ini. RS yang baik, rekan kerja yang kooperatif, waktu libur yang banyak banget, penghasilan yang alhamdulillah sangat lebih dari cukup. Setahun WKDS di Tanah Bumbu salah satu periode yang paling ‘menyenangkan dan tanpa rejeki yang di dapat dan bisa ditabung dari WKDS ini, kami ngga akan bisa bertahan hidup sebulan pertama di London.

Di Maret 2019, periode single fighter berakhir dan saya mulai merasa perlu cari pendapat lain. Terapinya di tempat yang lama sudah terasa makin monoton. Value for moneynya semakin kecil. Terapisnya pun juga terasa setengah bingung karena harusnya sudah bisa dilepas. Saya cari lembaga-lembaga lain yang jaraknya lebih masuk akal dan hemat bensin. Sembari mempersiapkan urusan kepindahan, semua kegiatan tetap berjalan.

Setelah lebaran, saya memutuskan pindah tempat terapi ke tempat baru yang lebih dekat. Sudah tinggal sisa 2 bulan dari jadwal keberangkatan. Secara kualitas jauh di bawah yang sebelumnya. Baik tempat maupun terapis. Tapi, tempat ini menyediakan terapi berkelompok, sesuatu yang belum pernah dicoba.

Kepuasan saya sangat rendah di tempat ini tapi masih bertahan karena ngga punya pilihan lain. Tetap terapi bagaimanapun masih lebih baik daripada ngga melakukan apapun. Berhenti sama aja seperti menyerah pada keadaan, yang mana jarang ada di kamus saya.

Saking ngga puasnya, ada di satu hari yang mana orang semales dengan keributan kaya saya, ngobrol aja males, sampai bisa marah-marah terbuka karena melihat terapis yang sedang ada sesi dengan anak saya TIDAK MELAKUKAN APA-APA kecuali main hp di pojokan. Selama memantau dari CCTV, bener-bener menahan diri untuk ngga melabrak masuk ke kelasnya. Setelah kelas selesai dan terapisnya diskusi singkat, saya sampaikan ‘kemarahan’ saya dengan menunjukan barbuk screenshot cctv. Jarang-jarang saya bisa meledak kaya gitu.

Meledaknya saya juga tercampur frustasi karena semua makin terasa jauh. Tanda-tanda perjalanan ini selesai ngga keliatan, tempat terapi sekarang terasa ngga berguna, tapi ngga ada pilihan, semua usaha, tenaga, waktu, dan uang yang dikeluarkan kaya sia-sia.

Rasanya sudah buntu sekali.

Sama seperti yang saya rasakan di periode akhir di tempat terapi sebelumnya, dua bulan terapi di tempat baru ini, saya merasa apa yang dilakukan signifikansinya ngga sesuai harapan. Materi dan metodenya saya rasa sudah dikuasai anak ini. Ngga ada hal baru.

Mau tau apa yang makin membuat frustasi? Anak ini tiba-tiba sudah bisa baca. Kami, terutama saya, ngga punya cukup energi lagi ngajarin baca di waktu khusus. Dan memang buat saya belum perlu juga bisa baca. Udah ngomong dengan benar aja dulu deh. Tapi, memang di ipadnya dilengkapi dengan berbagai apps phonics dan sejenisnya dan dia suka sekali. Di rumah dia juga punya perpustakaan kecil buat buku-bukunya. Soal buku, alhamdulillah gennya menurun dengan baik. Dia selalu suka baca dan tiba-tiba tanpa sadar, anak ini mulai bisa baca sendiri.

Lalu kenapa jadi bikin frustasi? Karena saya makin yakin anak ini punya suatu masalah di hal bicaranya. Dia ngga ada gangguan pendengaran, bisa baca dengan cepat tanpa belajar khusus, tapi jelas terlambat di masalah bicara. Kalo sekedar telat bicara, harusnya sudah selesai dengan berbagai intervensi yang dilakukan.

Dia udah ngga terdengar seperti delay, bicaranya cukup banyak, cuma berantakan dan ngga seperti kaya anak-anak normal seusianya. Saya makin sering bilang ke ayahnya, ini sesuatu yang lain selain speech delay. Masalahnya adalah : kami tidak tau apa. Tidak tau juga harus cari kemana, nanya ke siapa dan harus gimana. Terapi-terapi yang dijalani sudah sama sekali hampir ngga ada gunanya karena saya rasa bukan itu lagi yang dibutuhkan.

Satu pertanyaan besar yang terus ada di kepala saya : Anak saya KENAPA?

Kami berangkat ke London awal September 2019.

Saya pergi dengan banyak kekhawatiran bagaimana anak ini bisa survive di tempat baru, yang mana saya juga sama sekali ngga tau harus bantu apa dan dimana untuk terapinya. Pindah ke tempat baru jauh dari keluarga, bukan cuma anaknya, orangtuanya juga harus menghadapi masalahnya sendiri.

Tapi, harapan kami cukup besar, karena akhirnya dia bisa berada di lingkungan yang berbicara dengan bahasa yang dia nyaman gunakan.

Little did we know that our moving to London was the beginning of a journey to get the answer of the big question.

Posted in Langit Senja, Maternité, Thoughts

Jalan Panjang Menemukan Jawaban Bagian I : DLD

Disclaimer : ini adalah sebuah tulisan panjang, sepanjang jalan yang harus dilewati untuk mendapatkan jawaban.

Tulisan ini akan terdiri dari 3 bagian, yang masing-masing bagiannya juga (cukup) panjang.

Tulisan ini sudah ditulis selama beberapa bulan, disunting berulang dan dibuat dalam rangka International DLD Awareness Day yang tahun ini jatuh pada tanggal 16 Oktober 2020.

————————————————–

Selama enam tahun jadi ibu, ada beberapa periode dimana saya seperti sedang menghadapi pergulatan yang ketika mengalaminya, saya merasa seperti berjalan di jalan yang saya ngga tau dimana ujungnya. Paling awal adalah menyusui dengan baik dan berimbas ke berat badan.

Tahun pertama dihabiskan dengan berhadapan dengan masalah berat badan. Kontrol bulanan seperti menghadapi ujian yang seringnya ngga peduli betapa keras ‘belajar’ (disiplin ngasih makan, susu, dan lain2), hasilnya lebih sering kaya saya ngga ngapa2in. Kalo dibilang angka ngga penting, buat bayi saya rasa penting. Kenaikan berat badan yang sesuai standar penting buat dicapai.

Tapi, seperti semua hal, pasti ada ujungnya. Perjuangan menaikan berat badan ini bisa dilepas setelah 1,5 tahun. Sebenarnya ngga ada masalah spesifik. Anaknya sehat, hampir ngga pernah sakit. Dua tahun pertamanya sama sekali ngga pernah minum obat sekalipun. Cuma kenaikan berat badannya saja yang ngga seperti kenaikan tinggi badan.

Setelah jadi ibu, sesimpel jadi normal semua sesuai standar, terasa cukup buat ketenangan batin dan jiwa.

Selesai dengan satu pergulatan, yang baru sudah menanti.

Sejak satu tahun atau sebelumnya, sudah terlihat anak ini kurang responsif dalam masalah bicara dan bahasa meskipun kebiasaan membacakan buku, diajak berbicara sudah dilalukan sejak dini. Anak ini jelas mengerti tentang instruksi, tapi ngga banyak mengeluarkan ekspresi lewat verbal. Kosa kata minim. Di usia 22 bulan pertama kali kami memutuskan untuk ke dokter spesialis tumbuh kembang seperti yang pernah ditulis di Konsul Tumbuh Kembang di Brawijaya Clinic Kemang.

Saat itu, dokter melihat masih dalam batas walaupun border line. Kami diminta menunggu sampai 2 tahun. Entah gimana, setelah pulang dari dokter, kosa katanya meningkat drastis. Hanya kata. Kebanyakan dari buku-buku yang sering dibacakan atau dari gambar benda-benda di sekitarnya.

Waktu itu saya bisa sedikit bernafas lega.

Tapi, kenyataannya perjalanan bicara dan bahasa ini (akan) jadi salah satu perjalanan panjang yang harus dihadapi. Bulan-bulan berikutnya, kemajuan ngga banyak terlihat. Sudah kebal kuping sama nasehat-nasehat “sering diajak ngomong”, ” Jangan pakai dua bahasa”, “jangan dikasih nonton” dan sebagainya.

Namun, ada dua hal terlihat jelas yang berhubungan dengan bicara dan bahasa yang saya juga kurang ngerti kenapa :

Pertama, sementara bicara susah, tapi tidak dengan lagu. Di umur 2 tahun lebih dikit, di meja makan, tiba-tiba keluar senandung dari mulutnya : “Moon River, wider than a mile”. Beberapa detik momen yang ngasih saya harapan tinggi kalo anak ini baik-baik saja.

Kedua, kosa kata yang keluar hampir semuanya dalam bahasa Inggris. Meskipun di rumah jelas yang dipakai sebagian besar adalah Bahasa Indonesia.

Saya sering bertanya-tanya, apakah sering denger ibunya ngajar piano dan bahasa Inggris sejak masih dalam perut seberpengaruh itu? Dinyanyikan lagu pengantar tidur evergreen song oleh ayahnya juga sengaruh itu? Ngga tau.

Kami juga sempat memasukan ke kelas bermain seminggu sekali untuk mengekspos lebih banyak suara. Selama 8 bulan, perubahan ngga terlalu signifikan. Kemampuan bicara dan bahasanya tetap mandek di kosa kata. Ngga seperti anak 2 tahunan yang ceriwis.

Periode 2-3 tahun dihabiskan dengan kegelisahan yang buat saya baca, baca dan baca buat cari jawabannya. Ini seperti mengalami rasa frustasi terselubung. Anaknya sehat, lincah, manis, cuma kurang banyak bicara. Kami jelas tau anak ini introvert, yang mana bukan hal aneh juga karena penyumbang gennya introvert semua.

Kami memutuskan kembali ke dokter tumbuh kembang di usia tiga tahun akhir tahun 2017. Diagnosa waktu itu hanya speech delay. Terapi sensori integrasi dimulai dan diikuti dengan terapi bicara empat bulan kemudian. Semua terapi dilakukan dalam bahasa Indonesia. Tentang terapi pernah saya tulis di Terapi Wicara dan Sensori Integrasi di Brawijaya Klinik Kemang.

Awal tahun 2018, terapi dimulai. Progres terapi selama lima bulan pertama sangat baik. Kami vakum sebulan pada bulan Ramadan karena masalah waktu dan jarak tempuh yang cukup jauh dari rumah. Di masa sebulan vakum itu, lagi-lagi ada hal yang ngasih harapan : anaknya mulai terdengar bicara beneran, tapi lagi-lagi, semua dalam bahasa Inggris dengan struktur yang ngga beraturan.

Tapi, buat orangtuanya itu kemajuan besar sekali.

Terapi terus berlanjut, semua stimulus juga terus berjalan. Apakah saya melarang gadget? Tidak. Ngga peduli apa orang bilang, dari apa yang saya lihat dan penelitian-penelitian yang saya baca, penggunaan gadget dalam batas yang wajar tidak menyebabkan gangguan bicara. Mengurus anak tanpa asisten, mengerjakan hampir semua sendiri, jadi orangtua tunggal secara geografis, saya juga perlu jeda buat bisa berfungsi. Di sekelilingnya saya jelas melihat anak-anak yang terkekspos gadget lebih intens tapi sama sekali ngga ada kesulitan tentang bicara. Bicara normal sesuai usianya.

Kurang lebih 8 bulan terapi, kemajuan terlihat, tapi saya merasa kami juga belum ‘sampai’. Sudah bisa jawab pertanyaan, bisa bicara dalam kalimat pendek 2-3 suku kata, yang mana masih di bawah standar seusianya. Pola yang jelas terlihat masih sama : musik dan lagu lebih maju dari bicaranya.

Setelah hampir setahun terapi, saya mulai gelisah lagi. Saya benar-benar merasa ada sesuatu yang lebih dari sekedar speech delay. Perjalanan Kalimalang-Kemang seminggu dua kali mulai jadi sesuatu yang melelahkan karena ini seperti menjalani rutin yang dampaknya ngga terbayar dengan lelahnya menyetir sejauh itu. Buat saya jauh. Review singkat dari terapis setiap kali selesai terapi mulai terasa seperti mendengarkan satu lagu yang diputar berulang-ulang. Semuanya oke, bagus. Oke yang terlihat di permukaan. Semua selalu terlihat baik dalam satu jam sesi. Bisa mengikuti instruksi, ngga pernah rewel, dan sebagainya.

Tapi, jauh di dalam, saya tau ini masih jauh sekali dari harapan. Ngga bisa berenti ngerasa lelah dan gelisah. Konsul reguler ke dokter tumbang buat memastikan apa ada hal lain selain speech delay seperti autis, ADHD, dan sejenisnya pun dijawab positif bahwa itu negatif, yang mana saya juga ngga melihat sama sekali tanda-tanda itu. Dari luar anak ini benar-benar normal. Untuk anak-anak seusianya cenderung matang, mandiri, dan tenang. Di rumah atau traveling kemanapun sangat menyenangkan karena ngga rewel soal makan, disiplin tidur dan moodnya jarang jelek.

Obat gelisah saya selain doa banyak dan panjang, minta berulang kali supaya dibukakan jalannya, minta jawaban, adalah baca. Saya ketemu dua buku yang membahas tentang Late Talking Children dari Stephen Camarata dan ayahnya juga kasih insight lain dari Thomas Orwell. Keduanya menjelaskan dan menenangkan sedikit kegelisahan dengan menyatakan dua hal :

  1. Hal ini bukan kesalahan orangtua.
  2. Anak-anak ini akan catch up pada waktunya.

Oke. Waktu itu saya pikir memang harus nunggu lebih lama. Saya ngga ada masalah nunggu. I am good at waiting.

Mengantar terapi seminggu dua kali dan banyak melihat anak-anak lain yang punya kebutuhan khusus membuat saya jadi melihat banyak perilaku khusus dari anak-anak tersebut. Hal ini di satu sisi jadi menambah kegelisahan tapi di sisi lain menambah keyakinan.

Gelisah karena anak ini hampir pasti tidak menunjukan gejala-gejala seperti disabilities yang saya tau (ini kata kuncinya) seperti autis, ADD, ADHD tapi di sisi lain dibandingkan anak normal seusianya, anak ini punya sesuatu yang berbeda. Seperti ada undefined disability di hal bahasa dan bicaranya yang mana hal ini juga ngga bisa dijelaskan baik oleh dua DSA dan terapis-terapisnya. Review harian dan kontrol per 2-3 bulan sama sekali ngga menghilangkan kegelisahan.

Jelas ada banyak kemajuan dan perkembangan.

Tapi, pertanyaan dan tujuan besar saya bukan itu.

Saya perlu jawaban : kapan ini selesai?

Itu yang buat saya agak putus asa.

Karena saya benar-benar ngga tau apa, tanya ke siapa dan harus bagaimana buat menjawabnya.

Posted in Langit Senja, Maternité, Thoughts

The Last Day of the Happiest School Year

Yesterday was the last day of the most wonderful school year, so far. Not only for the little girl, but also for the parents. I never knew before one year could make so much differences.

A school where we found the answer to years of confusion and frustration. I will really write about this later.

A school which set a whole new standard to the next school we choose for this girl.

A school which gives more than we could ever imagine. Once wrote about this previously in This Cool School.

Instead of being bullied at her first day like few years ago, or clearly being left behind in a baby class by those who called themselves child psychlogist, and some other unpleasant experience, the whole part of this school is truly accepted just the way she is.

That is really important for us.

Not only they offered a huge help about her major problem, they provided the solution as well. Our endless thank yous were replied by : “No, no, it’s fine. That’s our job here” and “It’s our pleasure to work with her”. We didnt even spend a single penny for that.

I already wanted to cry here.

Having no one to really keen of her and couldn’t mingle with the gang of kindergirls previously(it was tough), there’s nothing that made me happier to see how these kids here treated her. They shouted her name, waved her from a far when we met in the street, “HI LENGGIT!”, said goodbye when the school was over, ” BYE LENGGIT!”, spared her some space on the line, took care of her, and sincerely liked her.

Just like today in the park, when she saw some friends from another class playing bubbles together, she slowly approached them but too shy to ask, one of the little girl asked :

“Lenggit, do you want to join us? ”

Those were priceless. And surely made me cry.

We’re fully aware and totally accept she’s not the brightest type. Among 16 areas, half of them are still below standard. We have a lot of homeworks to do.

But the good news is, she has the right attitude about learning and also has secured few things that she loves, being good at, and recognized well by the teacher such as reading and music.

Hope she could continue to find joy in those two while facing and dealing with harder times in the future and keep working on (many) of her other homeworks.

The last day was marked by the tears flowing on the school pick up ranting about how she would miss her bestfriend and endlessly asked when her bestfriend would come to our house.

Summer break until September begins.

Posted in Langit Senja, Maternité

First Piano Competition

An email came on the beginning of May about virtual competition at school.

Asked her to participate and it was a yes. Made a simple arransement of the competition song and practiced it with her right away. We had only two weeks to master everything.

Ten days after the first practice, she nailed all the notes and lyrics. Performance practice kept going.

Had a rehearsal once before submitting the video. Two days before deadline, video submitted to the school.

Today, they announced the result.

First winner in her category granted. Alhamdulillah.

Among one big flaw given and many other ones she has, some few strengths are also running in her blood.

Hard working, persistent, kind, easy going, resilient, and enthusiastic learner.

For me, that’s more than enough.

I am beyond grateful having this school in one of her early education years.

It’s truly a place she meant to be.

Posted in Langit Senja, Maternité

Cerita Ramadan Pertama

Di ilmu manajemen ada yang namanya POAC. Planning, organizing, actuating, controlling.

Planning buat Ramadan pertama Langit sudah dijalankan berbulan-bulan sebelumnya waktu belajar rukun Islam. Repetisi teori tiap malam sampai berminggu-minggu.

Semakin dekat, Organizing rundown di kepala. Ramadan pertama di luar jadwal biasa buat orangtuanya pun ngga mudah, apalagi buat anaknya. Satu hari sebelum hari H, akibat terus berpikir musti apa, ide datang tiba-tiba.

Target-target kecil dibuat dengan reward yang sesuai. Membayangkan 30 hari puasa berat, tapi dengan mencacah jadi tiga bagian, lebih terlihat ringan. Bukan terasa. Baru terlihat. Di awal, target 10 hari pertama 5-6 jam, 10 hari kedua, 7-8 jam, dan 10 hari ketiga 9-10 jam.

Saatnya Actuating dan implementasi.
Dengan pertimbangan jam puasa yang panjang, sahur dan buka di Ramadan ini dilakukan 2x. Sahur pertama jam 2, yang kedua jam 4.30. Buka pertama Zuhur jam 1 lalu bertahap asar jam 5 lewat.

Di 10 hari pertama, ternyata semuanya berjalan di luar rencana. Hari ke 5, puasa 5-6 jam sudah ngga terasa. Jam buka bukan jadi hal yang terlalu ditunggu. Maka setelah 10 hari pertama, durasi dinaikan. Daripada jam buka yang lebih lama, lebih pas memajukan jam sahur. Selain karena subuh aktual juga semakin pagi setiap hari, sekalian latihan sahur yang sebenarnya.

Kalau orang dewasanya sahur dulu baru subuh, anaknya subuh dan tadarus dulu baru sahur. Solatnya lebih penting dan lebih cepat dibanding kunyah makanan. Batas imsak adalah alarm yang sudah diset waktu tertentu. 10 hr kedua, maju 2 jam dibanding sebelumnya. Waktu buka masih sama.

Setengah bulan, durasi puasa yang baru mulai terasa biasa. Pertanyaan “can we ifthar first” makin ngga terdengar, waktunya menaikan batas lagi. Notifikasi adzan zuhur sudah dimatikan. Diganti dengan alarm yang tiap beberapa hari dinaikan waktunya akhirnya buka ketika adzan asar.

Di 10 hari terakhir, alarm sahur dinaikan pelan-pelan dan sampai batas yang di rasa cukup buat belajar puasa pertama. 12 jam penuh. Mirip dengan durasi puasa penuh di Indonesia.

Kebanyakan ide itu dateng di detik terakhir. Hadiah besar sudah dikeluarkan di hari ke 28 masih dibungkus. Penawaran baru diajukan di menit terakhir hari terakhir menjelang asar : boleh buka puasa sekarang dengan 1 hadiah besar seperti kesepakatan di awal atau mungkin mau nunggu sampai maghrib dan bisa dapat 2 hadiah besar.

(Hadiah udah dibeli beberapa karena nemu bundle super miring di ebay. Sisanya disimpan buat nanti kalo diperlukan. Jadi, hadiah kedua juga sudah ada).

Di sini Percobaan Marshmellow Walter Mischel, salah satu riset paling terkenal di psikologi pendidikan, yang digunakan. Dimana anak-anak bisa belajar tentang delay gratification. Kurang lebih mirip seperti penawaran yang diajukan. Sekarang dapet satu, tunggu sebentar dapat dua.

Dengan setengah hati, (dan dorongan pasif-agresif orang tuanya), anaknya milih buat nunggu. Tambahan beberapa jam trakhir mungkin salah satu yg terberat karena pertanyaan-pertanyaaan khas jadi sering terdengar lagi.

Tapi kata kaya Mbak Nana, “kita sudah sejauh ini. Kalah bukan pilihan”. Dengan segala macem distraksi Alhamdulillah sampai ke akhir yang diinginkan.

Langit menyelasaikan Ramadan pertamanya 30 hari penuh dengan baik.

Setelah tiga tahap sebelumnya, akhirnya bagian Controlling jadi penting buat mencapai tujuan. Tanpa kontrol, semua rencana dan implementasi bubar. Ngga ada konsekuensi, ngga ada reward, ngga ada kejelasan dan batas waktu.

Selain kontrol diri dari anaknya, orangtua sebagai yang lebih berkuasa perlu punya kontrol dan membuat batasan plus kebijakan yang jelas.

Kalo orangtuanya buat planning mentah, organisasi dan implementasi setengah-setengah, kontrol diri anak lemah, ditambah kontrol yang payah dari orangtua, apa sejak awal memang pilih untuk kalah?

Orangtua dan anak bisa diganti subjeknya untuk skala yang lebih besar. Seperti pemerintah dan rakyat, mungkin?

Ramadan yang berat memang bukan lapar hausnya. Yang berat itu bangun(in) setiap pagi dimana yang bangunin juga pengennya tidur lagi, yang berat itu (liat anaknya) solat dan ngaji sambil nahan kantuk. Yang berat itu nunggu Isya sampe jam 10. Yang berat itu nahan sabar dan godaan dimana pilihan buat berenti selalu ada. Toh ngga ada hukuman yang keras ketika itu dipilih. Bolong sehari ngga papa, kan baru belajar, kata setan di kepala. Paling anaknya cuma ngga dapet hadiah. Atau kan dia udah dapet beberapa hari, kasih ajalah udah dibeli ini.

Kembali ke nasehat terkenal kepala sekolah dari dunia sihir, ” Saat-saat yang sulit membuat kita harus memilih mana yang mudah dan mana yang benar”.

Ramadan pertama Langit menunjukkan buat melakukan yang benar itu ngga pernah mudah. Ramadan benar-benar salah satu cara yang paling konkrit untuk melatih kontrol diri sejak dini. Sesederhana menahan diri dari makan dan minum itu efeknya panjang sekali di masa depan.

Ternyata ngga sia-sia dengerin kuliah di GKA lima belas tahun lalu. Pun kuliah psikologi pendidikan sembilan taun lalu. Semoga jadi amal jariyah buat semua yang ngajar.

Semoga semua amal Ramadan diterima, semua doa dikabulkan dan bisa bertemu lagi tahun depan. Amiin.

Hadiah kecil 10 hari
Hadiah sedang 20 hari
Satu hadiah besar 30 hari
Berubah jadi dua karena menunggu lebih lama
Posted in Langit Senja, Maternité, Thoughts

5th : (School) Life in the Time of Corona

According to Howard Gardner, there are 7 types of intelligences that human could be categorized to. Howard Gardner initially formulated a list of seven intelligences. The first two have been typically valued in schools; the next three are usually associated with the arts; and the final two are what Howard Gardner called ‘personal intelligences.

1. Linguistic intelligence

2. Logical-mathematical intelligence

3. Musical intelligence

4. Bodily-kinesthetic intelligence

5. Spatial intelligence

6. Interpersonal intelligence

7. Intrapersonal intelligence

In Frames of Mind Howard Gardner treated the personal intelligences ‘as a piece’. Because of their close association in most cultures, they are often linked together. However, he still argues that it makes sense to think of two forms of personal intelligence. Gardner claimed that the seven intelligences rarely operate independently. They are used at the same time and tend to complement each other as people develop skills or solve problems.

As a person, I have known even before I knew about this theory, my biggest strength goes to the 7th intelligence. The ability to know my self very well. I mostly know what I want, what I should do, the persistent and determination to achieve it, the ability to stand up no matter how many times I fall, and the resilience to finish what I have started no matter how long it will take.

As it is said above that one intelligence rarely stand alone, the other one that I could be quite comfortable to claim is number 1. While I might have some bit number 3 and 4, have a little of 2, and the very least of 5 and 6.

In some researches, intelligence of a child is inherited more of it from the mother than the father as written in this article.

Research has confirmed that a child’s intelligence is in fact determined by their mother’s genes.

That is because intelligence is carried on the X chromosome and while kids can inherit an X chromosome from their dad also, mums carry two X chromosomes so are more likely to pass theirs on.

Researchers at the University of Washington found that a secure emotional bond between a mother and child is crucial for the growth of some parts of the brain. After analysing the way a group of mothers related to their children for seven years, the researchers found children who were supported emotionally and had their intellectual needs fulfilled had a 10 per cent larger hippocampus at 13 on average than children whose mothers were emotionally distant. The hippocampus is an area of the brain associated with memory, learning and stress response.

A strong bond with the mother is thought to give a child a sense of security which allows them to explore the world, and the confidence to solve problems. In addition, devoted, attentive mothers tend to help children solve problems, further helping them to reach their potential.

As a mother, one thing that I know I have done right so far is having fixed schedule at home from the very beginning of my child life. It’s so important for my sanity and turns out it is also supported by experts about how important daily routine for children.

As a baby, Langit’s day starts from subuh at the latest at 6 am and always end at the very late at 8 pm. My two non-negotiable principles are :

1. Bed time is at 8 pm.

2. Eating what is served.

No questions and debate on those two.

As years go by, I keep enjoying the results of applying those two things. Wherever we go, she sleeps on time. Weekend or weekdays, home or holiday, the eyes closed at 8pm. She grows to be a non picky eater, wherever we go, she eats what is served on the table. After seven months here, no dependency to rice is one of the advantages of living here.

In spite of all the hardships, all the energy and resources spent, moving to London is one of the best things happened to us, as a family and individually. I wont elaborate about that, but only focus to things that related to the title.

Heading to the end of her first seven years leg, having fixed routines brings even more advantages. Combination of having fixed routines since early years and moving here turn out to be something that helps a lot during this unprecedented time.

It’s been few months since she started having compulsory fixed schedules as followed from morning till evening :

Morning
-Subuh
-Quran
-Small breakfast
-Piano
-Big Breakfast

– Bath time

School from 8.30-16.00

Evening :
– after school watching
-Maghrib
-Iqro&Islamic
-Reading books and phonics

She literally wakes up for Subuh together with us on the exact prayer time. It’s getting harder recently since in spring and summer, subuh is getting earlier while maghrib is getting longer.
But, as many thing before, we will figure it out and find some way. After subuh, it’s time for reading Quran. It’s when she recites and memorize Juz amma. Every two weeks, we add another surah without leaving the old ones that have been memorized before.

Done with those two, she will have a light breakfast with a cup of milk and bread/pancake/donut then proceed to her most favorite schedule : piano practice.

It’s been only four months, but unexpectedly, her progress is quite good. Talking from a piano teacher point of view, I am surprisingly satisfied with her, as she has an underlying condition (will elaborate this later as I have also written in few previous post back). I see how powerful it could be to practice and repetition done daily to the whole skill. It’s still a long way to go, but having the basic skill and attitude right, it’s something that should be celebrated.

Done with piano, she can choose either to take a bath or have her next breakfast first. This time is main course breakfast with rice. She doesn’t have rice for lunch. I usually pack her bread and jam or samdwich burger, yoghurt and fruit, and some other light snack.

After six hours in school, she could have her me time of watching youtube, games, or whatever she wants while waiting for dinner. Maghrib is the cut off of her me time. After maghrib, she is having Iqro and short Islamic lesson and reading books before 8pm sleep.

That’s what the normal days look like.

Those compulsory schedules are all on me.

________________________________

This Friday is the third week of UK lockdown but the fourth one for us.

After four weeks at home, additional options during lockdown (choose or leave as we/she want) :
+ Zuhur, Asr and Isya (the silver lining)
+ Morning walk and exercise
+ Painting

+ An hour of bathtub playing
+ Scary Math with Daddy (no daddy no math)
+Nap time
+ Two sessions of watching youtube
+ Writing
+ Helping with dinner, laundry, and cleaning, baking or washing the dishes.

While the compulsory ones are all on me, these optional ones are divided with her dad. Since it’s optional, we can have it or leave it. No pressure.

The only thing that slowly move from optional to compulsory is the first item. The best thing of this staying at home period is the chance to have her doing all five prayers. What could be better than that?

This might sounds a bit uncomfortable, but I somehow feel grateful to be here during this hard time. Having the doctor working with proper shift schedule, although the risk is no joke, but at least, he has proper rest time.

Having the little girl schooled in a place which only focused in three big areas is a blessed. I saw a lot of parents throwing tantrum to their child school because of the unrealistic school works given during staying at home. This is a hard time for everyone. Not only for the adults, but also for the kids. There’s no need to make it harder of doing what’s not too urgent and important.

As her school only focus in three things : Reading, Math, and Writing, they make it easier too for us to be focused.

They have the same book to read for a whole week with different tasks given daily based on that.

They do the same math theme to repeat until they master it.

All down to the same thing : repetition.

Based on this post opening, she tends to learn faster in language than in math. She loves phonics, reading fast, and love to playing with words into song. That helps her to play piano easier too. She can play while singing and reading the notes at the same time. She can answer questions without a single mistake when playing in the language app. It’s the irony or the funny side since she has an underlying condition.

Meanwhile in math, judging from the high pitch of her father’s tone from many of math lessons, guess the researches above is true. But, not to take all the credit, both of her parents love books and reading too, so it’s more combination of nature and nurture to be fair.

What the schools here have differently is the resources to learn about that. They have bulks of website and apps to learn. It’s paid by the school and free to use. It’s currently Easter break for two weeks so basically there’s no lesson schedule from the school, but we still keep practising as usual.

More than before, it’s proven having daily schedules in whatever situation, turns to be a great help for the parents and the child. So they know what to do each day, even when school is cancelled.

More than before, it shows that the child first school is at home, and the parents is their first and main teacher.

It’s important to choose what really matters the most for us what kind of lesson we want to teach them. We can’t pick all the fight, make those SWOT analysis on you and the child, and choose our own battle and stick with it until a long time. Do it daily with no excuse. This lockdown period gives proper chance to build tiny habits at home that becomes the main ingredient for characters. Something that will go with our child for a long time.

We dont spent too much time doing the lessons. Just average amount and adequate time. Instead, she found new love for cooking with her dad, taking care laundry, and doing any other non-related school things.

We do morning walk to the forest, climbing the hill, riding the scooter, and stopping by to Sainsbury to buy some things.

These kind of lessons that we do during school in the time of corona.

School is greatly missed indeed and we’re really looking forward to going back there. But being at home for a long time is not a bad idea. After all, it’s the only place where we could return to.

Posted in Langit Senja, Maternité, Thoughts

This Cool School

Sunset in The School Yard

If there’s one place in London which I could pour all my gratitude, it would be this ‘small’ public school in the south east London.

Normally, the school registration in London (or UK) should be done through the council website where you live. But,right after we found a place,we spent a whole Friday to visit all nearby schools asking if there was a place. Two out of three said they had no place for Langit’s age, one said they had but would still have to confirm it first.The school wasn’t that interesting and pretty far from our place.

We found another one by maps and decided to give it a try on the next Monday. It was only me and the little girl that day since the doctor had started his new work.

It felt like coming to a nice place from the beginning. The reception staffs were so kind. They confirmed instantly a place for her. Set up an appointment with school enrollment staff on that afternoon, told us she could start school the next Wednesday.

We happened to be not only coming to a nice place, but it turns out to be the right one too. Not only the teachers, Langit meets great friends too.

I observed how the kids were nicer. I couldn’t help making comparison when I remembered about what happened to her first day at school 2 years ago. It was on the school playground when she rode a tricycle and another bigger girl was aiming at her by continiously bumping her bike with hers.

It’s really nice to see that she has friends who call her name when they see her at the street and shout, “HI LENJIT!” ,friends who say goodbye to her when the school is over, “GOODBYE, LENJIT!”,friends who are giggling with her while waiting their name called on school pick up. Small things that were absence in her previous place,due to many reasons, other than herself.

I attended a workshop in the school last week when one of the staffs approached me and said,

“Are you perhaps, Langit’s mom?”

Yes, I am.

“Hi, nice to meet you! I am Hannah, I am working with Langit in speech and language session”.


“Ah, really? Nice to meet you too and thanks a lot for helping her. Is she doing okay?”

“Yes, she is doing great! We’re really happy with her progress”.

“Thank you. It’s really nice to hear that”.

“She’s doing well and, you know, she is so nice and lovely”.

It warmed my heart hearing the last words said by a very kind stranger.

I really love this school’s kindness. Almost all the staff I encountered with, they work as if they owe me something, ask us to take as many as we can from them. It’s not the best school with sophisticated facilities, but few months going to this school, my little girl has been so happy more than 1,5 years she spent in her previous school. Not that the previous was not good, it was a decent one as I wrote in School is (finally) Cool.

In Jakarta, she only went to school three times a week from 8.30-11.00. Here, she stays at school from 8.50-15.20 Monday to Friday. In spite such long hours and whole week of school, the fact that she has to ride her scooter in cold weather every morning, she seems so happy to go every day and being in as happy mood too whenever we pick her up in the afternoon.

On the way to school

The support given from the staff (been talking to some), the kindness, the knowledge they share, all little help that really matter for Langit and us make me pray for them to be granted in heaven.

How I wish to have this kind of school when we return later.

Posted in Langit Senja, Maternité

Midnight Rant

Woke up an hour before midnight, finished the cold spaghetti in the kitchen and one full circle of donut, without second thought. Brave woman, I know.

There’s always something about December that makes you want to reflect back about what life has brought to you for the whole year. Time when you can either feel everything runs too fast or such a great year it has been.

Everything related to raising Langit, it seems running too fast. I love rewatching her old pictures and videos and couldn’t help having that sudden anxiety feeling that she has grown up a lot. I have very little regret in raising her the way I do, at least until now. For the first time in five years of motherhood, this year might be the best report card I have ever received in this jungle.

To say such statement from my own point of view sounds so subjective, right? How can you measure such statement? What evidence to support such thing?

Among many other things I am clueless and incapable about, one thing that I know for sure is I want to give all my effort, time, and energy to raise my child by my own hand. Although I am lack in many things, but at least I am her mother. The least role model she could get and see at home are only from me and her father. Up until five years, she lives by the examples of her parents. Not strangers.

Saying I have received the best report card this year because some things I have seen in her daily life that seems to be already being part of her. Nothing like prizes, measurable achievements like winning a race or anything.

They are some intangible things like the way she apologizes when she feels doing something wrong, taking care and dealing with her own school stuff in the morning and knowing that we have to be hurry or we can be late, the way she tries to make the bed before going to school, sleeping by 8 pm every day without exception, go pee and brush her teeth by herself before sleeping, offer herself to wash her own lunch boxes.

The way she is coping up with the long hours of school five days a week, scootering to school in unfriendly weather happily, the way she loves reading and writing, keep practising often on her own, the way she hold herself from something that she is not allowed to, like eating chips other than weekend and always ask permission when she wants to do that, the way she always says thank you to the bus driver after getting off from the bus, the way she deals with a long day trip by scootering in freezing weather, which surely was totally uncomfortable, the way she eats properly with any kind of food served on her plate. We had Thai food for lunch and Libanais for the dinner on our Oxford trip, and she did them all without any signs of dislike. Raising a non-picky eater is one of my motherhood highlight so far.

It seems like a long list of small unimportant things right? But, it matters a lot for me because those are things that I consider important and want my child to master in her early age. Small things that mean a lot for the future years to come.

I believe we could never master big things when we never be able to accomplish the small ones. It’s the small habits in daily life that become our character. It’s those things you get from home since the very beginning. Things that can only be nurtured by the primary caregiver on early years of life at home. You can pay others to teach reading, writing, counting or any other skills by having twice a week lesson. But, no amount of money could do and any places to be to plant and grow such small habits other than at home.

Like the content in my bussiness development subject, to produce the product that you desire to have and to be, it’s strongly suggested that you go through all the process on your own. You decide the raw materials, the tools needed, the way to make it, and production timeline. Like four POAC steps in management, from planning, organizing, actuating and controlling, it’s you that should be fully in charged. You can outsource some parts, it’s unavoidable, no bussiness can survive alone, but, make sure you follow through the whole process. Even by doing all of that, it doesnt mean your product would be accepted by the market right away. It takes error and trial also a long journey to finally make a succesful product. You can define the characteristics of your own succesful product.

I guess that goes the same in raising a child.