Posted in Life happens, Places, Thoughts, Travel

(Ngga) Enaknya Pindah ke London Bagian I

Hampir semua orang yang dipamitin dan bilang kalo kita akan pindah ke London, pasti bereaksi antara kaget dan excited. Cukup wajar kalo inget London memang terdengar menyenangkan dan keren (mungkin). Saya juga setengah excited awalnya, sisanya galau😀.

Proses pindah ini makan waktu hampir setahun. Ngga akan jabarin detil prosesnya, tapi mungkin gambaran besar tentang hal-hal yang dilalui (dan bikin sakit kepala) sebelum pindahan dan setelah berada di sini.

Seperti pengurusan visanya yang juga sama ribetnya, jauh sebelum visa, kami melewati banyak sekali tahapan yang kalo dipikir sekarang, subhanallah semua bener-bener emang dilewatin satu-satu.

Semuanya berawal dari pertama kali email Dr Wilson masuk akhir tahun lalu, setelah semua email penolakan atau tanpa respon dari berbagai universitas. Berlanjut ke awal Januari, Pak Dokter dapet jadwal interview via Whatsapp video call waktu masih di Tanah Bumbu. Ngga lama abis interview, satu email langsung masuk yang bilang kalo dia ditawarin posisi fellowship tersebut.

Agak tercengang juga waktu itu. Peta hidup langsung berubah dalam semalem karena satu wawancara sejam.

Hal yang bikin lebih ngga percaya lagi,setelah kirim dan coba kesana kemari, di berbagai universitas yang ngga terlalu familiar tapi punya program yang dimau, pada akhirnya kita diarahkan ke tempat yang begitu familiar di universitas yang ngga asing.

Tahun 2017 ke London buat nengok adik saya yang kuliah di UCL, tahun ini balik ke kota yang sama, buat kerja di universitas yang sama.

Setelah surat resmi keluar dan menyatakan kalo Pak Dokter ditawarkan posisi tersebut dengan gaji sekian mulai bulan Agustus tahun ini, dimulai lah semua proses panjang yang harus dipenuhi buat syarat layak kerja di Inggris.

Saya ngga tau dengan orang lain, tapi saya selalu punya pattern hidup yang sama dari dulu buat semua hal. Yang mana entah gimana kebawa juga sampe nikah. Atau mungkin Pak Dokter pun kayanya punya pattern yang sama, jadinya combo, yaitu, kami ngga pernah berhasil dalam hal apapun pada percobaan pertama, ngga peduli udah usaha kaya apa. Seperti kita selalu disuruh mikir lagi cara supaya bisa sampe ke tujuan.

Kabar baiknya, alhamdulillah setelah semua yang dilewatin, kita hampir selalu disampaikan ke tujuan.

Hal pertama yang harus dipenuhi adalah punya sertifikat kemampuan bahasa Inggris. Sebelum apply, Pak Dokter baru aja selesai tes IELTS yang skor totalnya telah memenuhi syarat. Tapi, pas udah mulai proses aplikasi, ternyata angka setinggi itu ngga bisa dipakai. Karena apa? Karena ada satu bagian yang angkanya kurang dari standar.

Jadi, buat kerja ini, IELTS minimal 7 dan setiap bagian dari 4 bagian yang ada juga TIDAK BOLEH kurang dari 7. Jadi, hasil IELTS sebelummya terpaksa disimpen lagi.

Pilihannya adalah ngulang IELTS atau ikut tes lain bernama OET (Occupational English Test). Ini adalah tes kemampuan bahasa Inggris buat kerja. Jadi akan ada sesuai bidang pekerjaan. Kabar baiknya, tes ini lebih gampang dari IELTS. Skor yang diminta minimal B. Lebih mudah ambil ini dibanding ulang IELTS. Harga jelas lebih mahal. Kalo IELTs sekitar $200, OET sekitar dua setengah kalinya.

Kabar kurang enaknya, tes ini HANYA ada di Medan. Iya, cuma di Medan dan tidak setiap minggu kaya IELTS. Jadi, dari tanggal wawancara, hanya ada sebulan buat belajar, dan atur jadwal cuti dari Tanah Bumbu.

Di hari tesnya, ternyata cuma satu orang yang ikut. Rejekinya lagi, dapet penguji yang baik. Liat Pak Dokter kurang dimana waktu IELTS, dia berbaik hati jadi sparring partner dan nyemangatin dengan kasih tips buat naikin skor. Pak Dokter kurang skor di speaking. Jadi itu yang didrill terus.

Tidak seperti IELTS, hasil OET hanya bisa dilihat online. Nantinya employer pun hanya kita kasih nomer peserta Mereka yang akan cek hasilnya sendiri.

Alhamdulillah hasilnya bisa sesuai target. Satu hal berhasil dilewati.

Proses-proses selanjutnya saya kurang hafal urutannya. Saya akan coba tulis yang bisa diinget tanpa berurutan.

Kalo ngga salah ada beberapa proses yang berjalan paralel. Untuk hal ini, karena akan bekerja di bidang kedokteran, maka yang diperlukan adalah surat sponsor dari General Medical Council (GMC) UK. Lalu, karena bagiannya adalah Anastesi, sebelum naik ke GMC, harus ada approval dari Royal College of Anasthesia.

Untuk dapet approval itu, Pak Dokter harus kirim semua ijazah dan dokumen-dokumen anastesi yang berkaitan yang semuanya harus dalam bahasa Inggris. Setelah semua dokumen tersebut dikasih, ngga cukup buat mereka. Rekues buku kurikulum dalam bahasa Inggris yang bikin dahi berkerut.

Tapi ya itu, selalu ada kabar baik alhamdulillahnya.

Kami cukup beruntung karena Pak Dokter adalah staf di rumah sakit pendidikan. Jadi, buat minta buku kurikulum, ngga terlalu susah. Tapi, buat translasi ke bahasa Inggris, itu harus dicari sendiri, termasuk bayar sendiri. Pak dokter mutusin akan bayar semua sendiri dulu buat seluruh prosesnya dan akan ajuin proposal ke departemennya ketika seluruh proses selesai dan jelas akan jadi berangkat. Alhamdulillah kita udah ada translator yang reliable dari segi waktu dan kerjaan. Harga cukup fair.

Selama proses dengan RCOA, beberapa proses paralel juga dilakukan seperti cek identitas. Jadi, ada satu badan yang ditunjuk buat identity check ini namanyaa FCMG kalo ngga salah. Jadi prosesnya seperti interview singkat via video call sesuai waktu yang ditentukan dimana kita akan diminta untuk nunjukin identitas seperti paspor. Kalo ngga salah ngga sampe 10 menit. Hasil identity check akan langsung diberikan ke lembaga yang minta. Jadi bukan ke kita. Bayar ngga ini? Tentunya.

Ada beberapa proses juga di RCOA yang mengharuskan kita bayar beberapa hal yang semuanya dalam kurs dollar. Saya ngga inget apa aja dan ngga berniat jabarin teknisnya di sini juga. Yang jelas sampai akhirnya surat layak kerja sebagai anastesi di UK dikeluarkan oleh RCOA, perlu waktu dari Januari-Juni.

Di bulan Juni, prosesnya sudah pindah ke GMC buat mengeluarkan surat sponsorship yang diperlukan buat urus visa. Kalo liat apa yang udah dikerjakan selama 6 bulan, kirain yang ini bisa lebih cepet karena ya apalagi. Semua sudah dipenuhi.

Seperti biasa, mottonya adalah, kalo gampang, berarti ada yang salah. Kaya besarin anak aja.

Diperlukan waktu 2 bulan sampai akhirnya surat sakti itu terbit. Adaaa aja hal-hal yang sebenernya sepele banget tapi tetep menghambat proses. Sesimpel adaa satu kolom yang isinya ngga sesuai prosedur dan minta diperbaiki. Kenapa sampe 2 bulan? Orang yang berwenang kepotong cuti, orang yang biasa diminta tolong juga cuti, ada aja lah pokoknya.

Setelah surat sakti akhirnya keluar hari Senin, tanggal 6 Agustus, pas saya lagi cek email di laptop jam 5 sore, itu seperti titik dimana akhirnya saya bisa yakin kalo kami memang betul-betul akan pindah.

Ada beberapa level ship dalam kedokteran : observership dan fellowship. Kalo observership sudah cukup umum dan prosesnya juga ngga seribet ini. Jangka waktunya pun hanya sekitar 3 bulan dan kegiatan yang dilakukan hanya observe, tidak pegang pasien atau praktek, dan tidak dibayar, justru harus bayar. Jadi seperti ikut short course aja. Bisa dianggep kaya jalan-jalan selama 3 bulan juga. Sedangkan buat fellowship ini statusnya adalah pekerja. Persis seperti praktek di RS Indonesia. Ada jadwal jaganya, ada gajinya, ada bayar pajaknya dsb. Jadi, buat dapet fellowship ini juga lebih sulit karena prosesnya panjang dan berlapis-lapis.

——————————————–

Hari-hari setelah visa dikabulkan terasa cepet banget. Non-stop packing sampe tengah malem berhari-hari. Hal yang nambah kerjaan adalah kami packing bukan cuma buat pindah ke London tapi juga pindahin barang-barang yang ngga dibawa dari apartemen ke rumah ayah saya. Berhari-hari nyicil bawa barang, gotong lemari sendiri dan masih banyak lagi. Apartemen udah kaya gudang sampah besar.

Kita baru bener-bener keluar apartemen di hari keberangkatan. Berangkat tengah malem, keluar dari apartemen kosong abis asar. Sambil nunggu keberangkatan, masih ada final packing yang paling ngga menyenangkan. Kami juga beli timbangan digital buat cek berat koper yang ternyata sangat overweight jauh dari jatah yang dipunya.

Terpaksa bongkar lagi.

Keluarin yang bisa dikeluarin.

Sampe azan isya masih belom berenti packing. Akhirnya jam 8 nyerah dan mutusin buat bawa aja dulu.

Sampe bandara, counter check in Qatar lumayan penuh. Biarpun yang udah web check in pun penuh. Sampe giliran kita, ditimbang di counter lebihnya sampe 30kg.

Lemes. Padahal di rumah nimbang lebihnya juga segitu dan udah ngeluarin banyak banget. Ngga mungkin kami bayar 30kg, akhirnya di bandara, buka lagi hampir semua koper kecuali satu yang udah masuk duluan.

Boarding jam 23.40, masih bongkar koper sampe jam 23.10. Alhamdulillah sekali kita dianter sama keluarga Pak Dokter dan adik saya. Ngga kebayang kalo ngga dianterin mau diapain barang-barang yang dikeluarin☹.

Akhirnya kami cek in dan berakhir dengan overbaggage 13kg.

Waktu boarding tinggal 20 menit, sudah lelah dan ngantuk.

Saya masuk ke imigrasi dan ruang boarding setengah sedih dan lega.

Semoga semua yang sudah dikeluarkan akan kembali bawa banyak keberkahan.

Posted in Life happens, Places, Travel

Hello (again) from London

It’s been four days since we set the foot in this gloomy and windy city. Four days spent by taking care major things here and there.

Been searching for permanent home and never imagined it would be this hard. Plenty available, contact several, yet, very few returned the call for viewing. In the end, we ended up with almost zero choices. We even extend our stay at the airbnb since the process took some time. Luckily the house didn’t have next booking yet. Unless, we really had no idea where we should stay and move with all these luggages.

It still feels like a tourist mode these days. Breakfast at home, lunch outside and dinner at home. Visited places were mostly for the doctor’s registration, but it’s nice enough visiting some places I haven’t seen during my previous visit.

England’s weather is still the same as always. Although it’s still considered last summer, but it’s been cold, windy, and rainy. I couldn’t imagine how this old body would survive colder weather later. Even we didn’t have AC back at home in Jakarta.

Hopefully, things will get better by next week. What I mean by get better is we could start having a normal life, keep these luggages out of sight, more clear daily routine and stop playing tourist.

Some pictures from the neighbourhood we lived in and eye candies from the city central.

Finsbury Park
Finsbury Park Playground
Arsenal Store
Sunset from the window
Accidentally meet this spot
Euston Road sunbathing spot while waiting for the doctor
Posted in Places, Review, Travel

Tiga Restoran Halal (yang dicoba) di Seoul

Dari beberapa kali pergi, nyusun itinerary itu buat saya paling enak berdasarkan tempat di mana kita akan makan, termasuk di Seoul. Dari lima hari, kita sempet makan di tiga restoran halal. Sebenernya rencananya empat, tapi yang terakhir pas kita kesana tutup. Padahal udah jalan jauh-jauh.

Di Seoul perlu diperhatikan juga bahwa masing2 restoran punya jam buka dan hari tutup yang berbeda. Ada yang tutup hari Senin, Selasa, Rabu atau Minggu. Ada yang baru buka jam 12, jam 11 atau bahkan jam 4 sore. Selain waktu, perlu diketahui juga, restoran korea itu ngga suka kalo kita pesen buat bareng-bareng, meskipun emang porsinya gede banget. Seperti kami, dimanapun harus pesen buat dua orang. Anak ngga dihitung tentu. Tapi ngga bisa tuh sekeluarga mesen satu doang dibagi rame-rame. Akibatnya, budget yang harus disiapin buat makan ini juga perlu diperhatikan. Karena di resto halal ini harga yang dipatok ya cukup mahal. Buat kita.

Oya, dari awal Paris sampe Seoul, kita hanya makan di luar untuk makan siang. Sarapan dan makan malem pasti di airbnb.

1. Halal Kitchen

Kalo mau ke Gyeongbokgung Palace, maka bisa sekalian ke Bukchon Hanok Village. Pas banget abis cape nanjak di Bukchon Hanok Village, bisa mampir makan siang di Halal Kitchen. Jalan di sepanjang Halal Kitchen ini suasananya enak banget. Samcheong-dong ni mirip di eropa. Banyak toko-toko, cafe dan restoran yang menarik.

Kalo berdasarkan baca-baca sebelumnya, di sini nyediain pilihan makanan khas korea kaya japchae, tteoboki, dsb. Tapi pas kita dateng, di Halal Kitchen cuma ada 2 pilihan makanan yang harganya persis sama. Bulgogi set sama samgetyang. Satu set bulgogi harganya 17.000 KRW, sedangkan samgetyang satu ekor ayam harganya 34.000 KRW.

Kenapa saya bilang sama?

Karena kalo samgetyang bisa pesen 1 porsi karena besar sedangkan kalo bulgogi set minimal 2 porsi. Jadi intinya sama aja. Di sini kita pesen bulgogi set 2 porsi. Itu besar sekali dan dimasak langsung di kompor portable di meja.

Karena kemana2 saya selalu bawa snack dalam tupperware, pasnya makan di resto gini, sisanya bisa dibawa di tempat roti langsung. Bisa buat makan malem atau sarapan. Porsi bulgoginya banyak banget. Alhamdulillah enak. (Iyalahh, mahal).

Satu porsi kalikan dua

2. Busan Jib

Restoran kedua ini letaknya di Myeongdong. Di salah satu lorong-lorong kecilnya. Yang ini terlihat lebih sederhana dan banyak pilihan mulai dari harga 8000 KRW. Tapi, yang sejenis nasi gorengnya. Berhubung udah jalan dan dateng jauh-jauh, kita selalu pilih yang bener aja. Di sini kita pilih samgetyang dan japchae.

Harganya agak aneh. Samgetyang ayam seekor dikasih harga 15.000KRW, japchae yang kaya bihun doang harganya 20.000KRW. Tetep dibeli sih, karena susah nyari japchae yang ngga sebelahan sama babi di sana. Jatohnya harga yang kita bayar sama kaya di Halal Kitchen, bahkan lebih mahal. Tapi ya sudah, yang penting berkah (dan kenyang trus bisa dibawa pulang).

Enak? Alhamdulillah enak.

3. Eid

Nah, ini salah satu yang paling populer kalo cari resto halal. Tempatnya di Itaewon. Itaewon ini pusat Islamnya di Seoul. Seoul central mosque ada di sini. Cari makanan halal di sini banyak sekali. Jadi bisa dijadiin salah satu alternatif daerah nginep. Kami ngga pilih di sini. Karena prioritas bukan gampangnya cari makan tapi fleksibilitas check in dan fasilitas.

Eid secara harga di bawah dua sebelummya, begitupun dengan rasa. Bulgoginya kalah sama Halal Kitchen. Tapi ayam yang kita pesen enak. Tersedia dalam set juga. Dapet miso soup dan side dish seperti biasa. Di sini kami bayar 23.000KRW buat semua. Masih ada sisa buat bawa pulang juga. Porsinya gede-gede buat perut kecil (saya).

Porsi nasi di ketiga tempat ini terlalu kecil buat Pak dokter tapi cukup buat saya. Selalu nambah satu porsi nasi lagi. Harga seporsi nasi juga beda-beda. Dari 1000-3000 KRW.

Hal lain yang kami perhatiin juga, di semua resto halal ini yang makan selalu orang Malaysia. Selalu ada. Di eid bahkan dari lima meja, empatnya semua orang Malaysia. Kalo di Jepang kaya ayam-ya masih banyak ketemu orang indo. Tapi di Seoul ini, hampir ngga pernah ketemu. Mungkin karena terlalu mahal? Hehe.

Di satu sisi, halal travel ini memang menjual ya. Pasarnya ada dan saya rasa akan selalu ada. Harga yang di atas rata-rata pun akan tetap bisa jualan. Jadi, tinggal rasa makanannya dan servis yang oke aja yang perlu terus dipertahankan.

Kami juga beli gimpab segitiga di sevel dan GS 25. Enak buat ganjel dengan ukuran yang pas. Biasanya pilih tuna mayo yang paling aman. Harganya antara 1000-1200 KRW.

Ternyata di Seoul kita lebih cocok sama makanannya dibanding orang-orangnya.

Posted in Places, Thoughts, Travel

Tentang Seoul : (Tidak) Seramah Senyum Oppa di Drama

Sedikit uneg-uneg tentang Seoul.

Membandingkan Seoul dengan kota besar lain yang dikunjungi tahun-tahun sebelumnya adalah sesuatu hal yang tidak bisa dihindari. Dan hasilnya seperti empat buku tetralogi Ilana Tan yang menjadi tema trip ini, Summer in Seoul resmi menjadi buku dan trip yang paling kurang disukai dibandingkan yang lain.

Banyak kenyataan di lapangan selama 6 hari ini yang buat kami merasa sedikit tidak nyaman, tapi wajar. Lagi bertamu ke rumah orang lain. Tapi lagi-lagi, karena punya pembanding, jadi tolak ukur kenyamanannya seperti yang dirasakan di kota lain.

Soal makanan ngga seburuk itu tapi juga ngga semudah itu. Tiga tempat halal yang kami coba enak semua meskipun dengan harga yang buat kita yaa mahal. Soal tiga restoran akan dibahas lain kali.

Uneg-uneg ini lebih ke tentang orang-orangnya.

Baru di Seoul ini, bawa Langit ngga berdampak signifikan dalam hal-hal sederhana seperti dapet duduk di bis atau jadi ice breaker with stranger. Hampir tiap kali kami naik bis, jarang sekali ada yang menawarkan tempat duduk seperti di Paris, London, apalagi Tokyo. Ini bukannya maksudnya minta juga ya, tapi membandingkan tingkat ‘kepedulian’. Awal-awal agak kaget juga tapi lama-lama ya udah. Berdiri pun ga papa.

Bukan sekedar tentang menawarkan tempat duduk, tapi orang-orangnya jauh dari ramah. Kami yang biasanya semangat banget naik bis, di Seoul ini jadi insecure. Cara orang-orang ngeliat itu entah apa ya definisinya, tapi jauh dari kata ramah dan nerima. Bahkan di bis kalo ada tempat duduk dua dan saya milih duduk di satu yang kosong sambil pangku Langit, mereka ngga terlihat suka dan terganggu. Agak bingung sih. Entah apa karena saya pake jilbab atau memang terganggu dengan anak kecil.

Hal ini bukan cuma di anak mudanya, orangtuanya pun seperti itu. Cara mereka melihat kita itu bukan seperti yang pengen nyapa tapi kaya lagi mengamati aja dan itu kadang ngga nyaman sekali. Ngga tau dengan pengalaman orang lain gimana ya.

Bahkan Paris yang saya pikir lebih tidak ramah, karena banyaknya orang yang bilang gitu, sangat jauh lebih ramah dibandingkan Seoul. Nenek-neneknya yang selalu ajak main cilukba, petugas yang cukup ramah dsb. Setidaknya gini deh, liat saya tatapan mungkin agak mendelik, tapi begitu liat Langit, senyum hampir selalu cair. Sesuatu yang di Seoul jarang sekali kita rasain. Beberapa kali bahkan suka nengok ke dalem strollernya Langit kaya buat ngecek ni apaan. Trus ngeliatin saya/Pak Dokter lagi. Tanpa ekspresi yang berniat senyum atau apa. It feels like we annoy them quite much.

Penjual-penjualnya pun juga sebagian besar jauh dari ramah. Bahkan ada sekali yang kita pengen banget beli karena barangnya bagus dan harganya masuk akal, ahgassi penjualnya dengan terang-terangan nunjukin gesture kalo dia ngga mau kita beli apapun. Biarpun ada label harganya. Agak aneh memang.

Di playgroundnya pun anak-anaknya pun ngga setertib anak-anak Jepang. Kalo di playground Tokyo anak-anaknya malah nyuruh Langit maju duluan, di Seoul Forest misalnya, justru dia kebanyakan diselak. Bahkan sama orangtuanya. Waktu itu kami biarin Langit antri sendiri.

Tapi lagi, untuk bilang sepenuhnya ngga ramah pun juga ngga adil. Waktu pertama kali dateng, kita bayar tiga tiket buat naik airport transfer. Waktu dicek sama petugasnya di bis mereka marah kenapa Langit juga disuruh bayar. Tanpa basa basi, supirnya langsung ngeluarin uang 8000 won dari dompetnya sendiri buat ganti harga tiket Langit. Kita udah tolak tapi dia tetep maksa ngasih. Jadi kita ambil. (Alhamdulillah..).

Beberapa ahjumma dan ahjussi di Insadong, Gwangjang Market, dan rumah makan halal juga nunjukin kebaikan dengan Langit yang selalu dapet sesuatu. Tempat pinsil gratis, crackers, sampe es krim setelah makan. We’re grateful for them. Tapi memang levelnya cukup jauh dibandingkan kota lain. Jauh sekali dari Tokyo yang saya sampe binggung kok bisa ya satu negara orang-orangnya (yang kita temuin dan ada kontak) sebaik itu sama orang asing. Ketika nolong tuh beneran sampe tuntas. Bahkan ketika mereka pun ngga ngerti bahasa Inggris.

Lorong-lorong kecil Seoul pun tidak semenyenangkan dan seteratur Tokyo. Efek bagusnya, lebih aman buat dompet. Tokyo dengan toko di jalan-jalan kecil yang bahkan di tempat yang bukan buat turis itu bahaya sekali. Barang yang kita pikir ngga perlu bisa mereka buat jadi perlu dan harus beli saking lucunya.

Balik ke Seoul.

Soal bersihnya pun masih kalah ya. Masih banyak orang ngeludah juga biarpun jarang. WC pun ngga sekering, sewangi dan sebersih Tokyo. Selain itu yang paling penting, wcnya persis wc eropa aja. Ngga ada tombol-tombol canggih yang bisa pakai air kaya di Tokyo. Saya selalu bawa botol Aqua kosong.

Jelas pendapat ini sangat subyektif. Mungkin kasus saya hanya sebagian kecil aja. Kaya kasus saya dan Paris yang menyenangkan. Mungkin sebenarnya memang kami aja yang kurang cocok dengan Seoul. Hal lain juga mungkin karena faktor bahasa. Tapi, secara keseluruhan memang ramah dan menyenangkan bukan kata yang tepat untuk menggambarkan orang korea secara general.

Keputusan untuk tinggal hanya lima hari di Seoul ternyata tepat sekali. Ternyata oppa tidak seramah di drama.

Posted in Places, Travel

The Loveliest Day in Seoul

After four days, yesterday was the most enjoyable day in this city. We got off early to go to Namsan Tower and it turned a visit with hiking which I disliked. But, after arrived at top, it paid off. Enjoyed the view of Seoul from above.

We continued to Itaewon. This is a moslem friendly area where almost restaurants put halal sign on their banner. We stopped by at one of the most reviewed one then went to Seoul Central Mosque for prayer.

Gangnam was the next destination. There’s nothing much to see there but we stopped by Starfield Coex Library. At the end of the day, we visited Seoul Forest. It is truly large forest between those big and tall buildings. I am so envy with these cities☹.

It was the first time we stayed late. It was a lovely day for those beautiful sceneries and good food with reasonable price.

Posted in Places, Travel

Another Day in Seoul

It took us longer to feel excited about this city. Other than few ‘less than Tokyo’ mentioned before, two that we miss the most are playground and ice cream.

Until the third day, the number of ice cream Langit finished is zero. So does playground session.

We decided to put Seoul Children’s Grand Park earlier because of this. So, after a visit to Namdaemun Market and Myeongdong, we went there.

It was quite nice one. Better because it’s free entry. Large park with picnic spots, proper playground, mini zoo, and small theme park with major ridings in small size like carousel and its friends.

Food court, mini market restaurant, and some small stallz like cotton candy and ice coffee are available. Doing some walk would be nice too while watching colorful beautiful spring colors.

So far, it’s one of the best spots in our itinerary. Or maybe because it’s one that suits us the most.

Posted in Places, Travel

Hello From Seoul

How’s Seoul so far?

Hm, slightly less than Tokyo in everything except their excellent bus service. No subway hassles.

The people are less friendly and helpful.

The attractions are less interesting and well-maintained.

The rare playground.

The map navigation is quite bad.

The food is less mouth-watering (for us).

It feels like having a less mature Tokyo.

And if I may say, Seoul is so girly. When it is a gender, it’s obviously a girl.

Cheonggyechong Stream
Insadong

Changdeokdung Palace
Gyeongbukdong Palace (view from the bus)

We also visited Bukchon Hanok Village but no proper pictures available because we were busy climbing and finding the way to the only halal food in that area.

Below are : The famous Yeuido Hangang Park

But still, been playing in dramaland for nineteen years, it’s nice to finally able to live a little part of the life from those characters on screen such as able to say ‘Anneyong Haseyo’ and ‘Khamsa Hamnida’ with the right tone to its people.

Posted in Life happens, Places, Travel

The Last Ilana Tan’s Trip : (Early) Summer in Seoul

At first, I didn’t have any intention to have trips based on Ilana Tan’s tetralogy. I started reading Ilana Tan’s tetralogy in 2009 and Summer in Seoul was the first one, the first one to be published too. I was captivated by the book. The plot is clear, enjoyable light reading and it’s something that you can repeat even after so many times. Summer in Seoul followed by Autumn in Paris, Winter in Tokyo and last one was Spring in London.

When Autumn in Paris took place in October 2016, I had no idea, I would do this four season trip. But then, life has been kind and full of surprises (good and bad) after all these times. Six months from Autumn in Paris, Spring in London granted in April 2017. It was quite surreal when I looked back how we made it to the second trip within six months. Then, after having those two, the idea of having all four came. Winter in Tokyo accomplished in early March 2018. And finally, Summer in Seoul in late April 2019.

I have been a kdrama fan for nineteen years. Surprisingly, my first time dramas were seasons related too. Autumn in My Heart (2000), Winter Sonata (2002), and Summer Scent (2003), were three of my first memorable shows from dramaland. Although it’s been a long time playing in dramaland, but visiting Seoul has never crossed my mind. The want has never been there.

Until Ilana Tan’s three previous trips accomplished. The only one left is this one and I think it would be nice having the last one as a closing. Also, following the golden rule that my late mom told me, “Finish what you have started”. Although this one sounds more like an excuse to go on another trip, but, yeah, Summer in Seoul trip planning began.

As usual, it commenced from ticket searching. Ticket searching is one of my most favorite parts in traveling. It feels like activating all my brain part and its been always testing the patience. My benchmark of ticket price is quite low. The standard from Winter in Tokyo ticket price made me set the same standard for Seoul. It should be a full board airline too.

Thus, whenever I am doing ticket searching, waiting is compulsory. The right time with the right price came eight months ago. So far, it’s the longest interval between ticket purchasing and the real trip. But, based on destination criteria, trip duration, and budget allowed, the price found was reasonable.

Summer in Seoul is indeed the lowest expectation compared to other three previous trips. For the first time too I only chose to stay for five days, while usually it’s been always seven full days. The main reason is : we tried Korean Food few times and it hasn’t suited our taste yet. Rarely fit to our liking. So, five days would be enough. Hopefully.

To dramaland to meet oppa and ahjussi we go!

Posted in Langit Senja, Places, Travel

Pulau Padar dan Langit Senja di Kanawa

Hari ketiga ketika bangun pagi, kapal sudah berlabuh di Pulau Padar. Alhamdulillah sampe sana cukup pagi dan belum terlalu rame. Karena lumayan banget naik ke atasnya. Untung kita berdua sama pendek nafasnya. Jadi ya emang banyak berentinya. Sambil foto, minum, ngobrol. Sementara Langit udah naik dengan cepat berkat bantuan Mas Ardi dan Mas Fauzi. Pemandangan dari atas Pulau Padar ini emang terkenal sekali dan subhanallah bagusnya. Cuma untuk sampe ke atasnya juga effortnya besar.

Setelah dari Pulau Padar, kita lanjut ke destinasi terakhir ke Pulau Kanawa. Di sini kita snorkeling ringan aja. Kayanya masih lebih bagus Pink Beach koralnya. Langit menikmati berenang dan main pasir sampe gosong di sini. Bayangin berenang jam dua siang!

Kalo ngomongin Langit selama trip ini, senyum saya terlalu lebar. Anak ini benar-benar asik kalo diajak pergi. Ngga rewel, makan apa aja, tidur dengan baik, berenang dengan hepi bahkan sangat di luar ekspektasi. Tidur di kapal dengan ombak tetep santai, naik perahu kecil ngga ada takutnya, snorkeling liat ikan di tengah laut lepas hepi banget, bahkan yang terakhir di Kanawa, udah selesai snorkeling bertiga, mau balik ke kapal pake perahu kecil, dia nyebur lagi sendiri sambil kasih makan ikan pake roti yang dibawa Mas Fauzi.

Gongnya adalah dia berenang sampe ke kapal sama Mas Ardi sementara saya naik perahu. Pak Dokter yang awalnya udah naik perahu, jadi nyebur lagi karena liat Langit beneran berenang dari dermaga sampe ke kapal. Entah disini yang gila kita orangtuanya atau gimana. Saya yang selalu main aman juga absurdnya ngebiarin. Cuma karena menurut saya cukup aman dan yah, kapan lagi bisa kaya gini, bismillah dibiarin. Ngeliat dia sampe kapal dengan muka hepi, rasanya cape tiap jumat sore nganterin dia les renang terbayar. Agak bias emang muji anak sendiri, dan bukan tentang skill berenangnya yang penting buat saya, keberanian dan percaya dirinya itu yang mahal.

Seneng juga jadi tau dia ternyata bisa menikmati matahari, gunung, pasir, dan laut kaya menikmati udara dingin dan playground bagus di Paris, London, Tokyo. Malah trip ini lebih kerasa buat dia dibanding yang sebelumnya. Snorkeling kedua dan ketiga udah ngga mau pake ban dan maunya berenang sendiri kemana-mana. Dia pikir ni kaya kolam renang sekolah kali ya. Dia juga bawa semua peralatan dan mainannya sendiri. Tas memang saya siapkan, tapi semua dia bawa dan urus sendiri. Untuk anak umur 4 tahun, dalam hal kedewasaan dan kemandirian Langit jelas di atas rata-rata. Mungkin hasil dari terbiasa traveling sejak awal juga.

Semoga masih ada rejeki buat dateng ke tempat-tempat seperti ini lagi nanti. Libur sudah selesai.

Alhamdulillah.

Berenang dari dermaga ke kapal. Beyond cool, Langit Senja!

“Anggep aja kaya naikin rumah tangga kehidupan. Berat, tapi pasti sampe,” kalimat sok bijaksana Pak Dokter yang ngga terlalu banyak bantu juga

Posted in Places, Travel

LBJ Trip : Manta, Komodo, dan Senja di Hari Kedua

Kalo dihitung dari tripnya ini adalah hari ketiga, tapi jika dihitung dari Live on Board itinerary ini adalah hari kedua.

Hari pertama dihabiskan dengan santai dan menyenangkan buat yang suka cari aman kaya saya. Tracking sedang, snorkeling ringan and menyenangkan dan sibuk foto sana sini. Apalagi pas langit senja.

Hari kedua dimulai dengan sedikit perubahan itinerary. Tadinya kami akan ke Pulau Padar dan Kanawa tapi karena ada sedikit masalah dengan kapalnya, maka itinerary hari kedua disimpan buat hari ketiga.

Tujuan pertama adalah Manta Point. Di kepala saya ini seperti nonton pertunjukkan lumba-lumba dari atas kapal, cuma bedanya ini manta. Ternyata, maksudnya adalah snorkeling di daerah rumah manta. Saya pikir, snorkeling biasa seperti kemarin, asik lah santai, ternyata lagi, kali ini di tengah laut dengan ombak yang cukup kuat dimana saya ngga bisa liat daratan dan penampakan kapal kami. Sepanjang snorkeling cuma pengen satu hal : cepet selesai.

Di tengah laut dengan ombak yang lumayan kuat, berenang pun berat, betul-betul minta dalam hati semoga semua aman. Alhamdulillah, sebuah keluarga manta dengan anggota tiga orang datang nemenin berenang beberapa waktu. Paling ngga rasa cemas dan khawatirnya dibayar lunas. Langit tetep hepi seperti biasa karena dia pikir ya ini kaya berenang biasa sambil ketemu ikan. Jadi orang dewasa emang banyak takutnya ya.

Dari Manta Point, kita menuju Taka Makasar. Ngga ada apa2 disini selain ini adalah hamparan pasir di tengah laut. Jadi cuma main pasir sebentar sambil basah2in kaki. Tapi, tetep cantiknya di atas rata-rata.

Setelah dua destinasi ini harusnya dari rute ke Pink Beach dulu, tapi kita minta Taman Nasional Komodo dulu karena ya biar ga siang bolong ke pantai lagi. Keuntungan dari privat trip yang bisa ubah itineraty senyaman mungkin. Setelah makan siang, kita lanjut ke Pulau Komodo. Lagi-lagi, ekspektasi saya rendah. Ketemu ya udah ngga ketemu alhamdulillah. Saya cukup seneng bisa liat kaya apa tempat tinggalnya, cantiknya pemandangam gunung dan lautnya, ketemu penghuninya bonus aja.

Jalan di hutan liar kami pilih medium track. Menurut rangernya, kemungkinan ketemu komodo cukup kecil dan kita berkali2 bilang ngga apa2. Cuma ranger2nya ini seperti merasa bersalah kalo kita udah sampe sini tapi ngga berhasil ketemu. Sampe mereka split jalan supaya kalo yang satu nemu di track lain bisa ngabarin.

Keliling hutan liat yang sempet diliat itu babi hutan, ayam dan rusa. Sampe di jalan pulang, eh ternyata rejekinya ada. Satu ekor komodo lagi jalan-jalan sore. Ukurannya sedang aja atau mungkin kecil ya kalo dibandingkan yang lain. Komodo yang lebih besar bisa ditemui Pulau Rinca yang mana kami ngga ambil ke sana.

Sementara rangernya terlihat bersemangat dan seneng sekali karena akhirnya ketemu, saya terutama lebih milih hati-hati karena ya tetep aja itu binatang makan daging, bukan? Sampe-sampe rangernya keliatan gemes banget karena saya ragu-ragu banget deket2 sementara dia malah sibu nyuruh maju dan bilang, ” lebih dekat lagi,bu!”.

Foto jarak dekat sama komodo bisa dicoret.

Di Pink Beach, saya ngga berenang karena badan sakit semua abis berenang pagi. Ternyata sayang ga sayang, karena Pink Beach ini ternyata asik. Dangkal, bersih, koral udah keliatan dari dekat. Tapi kalo inget badan remuk, ya udah ga papa ngga berenang. Pasir pinknya pun cantik sekali. Labuan Bajo ini cantiknya emang di atas rata-rata.

Selesai dari Pink Beach kami berlayar lagi sampe ke dekat kampung komodo dan bermalam di sana. Buang jangkar maksudnya. Tetap tidur di kapal.

Kalo tadi saya bilang Labuan Bajo cantiknya di atas rata-rata, setelah liat sunset hari ini kayanya di atas rata-rata terlalu rendah. Dari seluruh tempat, sunset hari kedua ini juaranya.