Posted in Places, Review, Travel

Airport Transfer Ramah Koper (Paris, London, Tokyo)

Ada satu hal yang terlihat sepele tapi dalam prakteknya penting ketika traveling ke luar negeri bersama anak dan keluarga, setidaknya buat saya. Kenapa saya cetak tebal yang bersama anak dan keluarga? Ya karena kalo sendiri ngga ada masalah dan karena belum yang review tentang ini, mungkin bisa bantu yang punya rencana ke tiga kota ini sama keluarga.

Kalau milih Airbnb sudah lebih terstruktur karena ada aplikasi khususnya beserta review dari pengguna langsungnya. Tapi kalo airport transfer ini harus dicari satu-satu.

Asumsi tulisan ini adalah keluarga yang bepergian minimal tiga orang dengan anak kecil, pergi dengan minimal dua koper bagasi dan stroller masih ditambah dengan hand carry cabin. Yang terpenting : mau tetap nyaman walaupun budget pas-pasan😁.

Bepergian dengan Langit membuat saya jadi semakin control freak. Selain tingkat kesabaran yang tipis yang berbanding terbalik dengan tingkat kegelisahan yang tinggi, selalu buat saya nyiapin sampe ke printilan yang kadang ngga penting. Prinsipnya mendingan repot tapi secure.

Salah satu yang jadi perhatian saya adalah kenyamanan pulang pergi ke airport. Pertama dateng ke kota yang kita ngga kenal, ngga ada bayangan dimana letak Airbnbnya, dengan kondisi yang harus geret-geret koper dan barang lain, airport transfer yang nyaman itu membantu sekali. Yang akan saya bahas bukan moda transportasi online ya. Karena kalo dari bandara hampir ngga bisa pesen semacam grab atau uber karena hampir semua punya servis resmi angkutan bandara, seperti di sini aja.

Ini jadi penting karena buat turis rempong tapi duit pas-pasan kaya saya, nyaman penting, uangnya bisa menyesuaikan selama masih logis. Jadi, ini bukan ngebahas dari bandara naik metro/tube/subway/japan rail dan sejenisnya. Itu jelas ngga nyaman, sekali lagi, JIKA kita pergi dengan anak kecil plus stroller dan koper.

Saya akan bahas masing-masing sesuai pengalaman saya ke tiga kota ini.

PARIS

Airport transfer Paris adalah taksi yang berwarna hitam resmi bandara yang sudah menunggu ketika keluar bandara. Tempatnya dimana silahkan ikuti petunjuk atau tanya. Di antara tiga kota ini, buat saya Paris paling juara. Objektif ya, bukan karena saya team Paris garis keras, hehe.

Kenapa saya bilang paling juara? Tarif ke dan dari airport pake taksi apapun di Paris, tarifnya TETAP. Jadi, ngga ada tawar-menawar dan deg-degan melototin argo taksi. Informasi ini sudah saya dapatkan sebelum berangkat dari internet, jadi budgetnya sudah disiapkan dengan pasti.

Paris terbagi dan terbelah dua oleh Sungai Seine dan dikelompokan jadi 20 arrondisement. Inilah yang menentukan tarifnya. Kalo Airbnb yang dipesan ada di right bank atau bagian atas yaitu arrondisement 1,2,3,4,8,9,10,11,12,17,18,19,20 maka tarif ke dan dari bandara adalah 50€. Sedangkan jika kita tinggal di left bank atau bagian bawah antara arrondisement 5,6,7,13,14,15, maka tarifnya adalah 55€.

Saya pergi ke Paris tahun 2016 dan pada saat itu kursnya sekitar Rp 14.500. Jadi kalo dihitung dalam rupiah adalah sekitar 700 ribu lebih.

Mahal?

Ngga sama sekali kalo pergi dengan kondisi yang saya sebutkan di atas.

Saya bandingkan waktu itu dengan naik bus yang tersedia dan berhenti di beberapa titik pusat kota. Tarifnya adalah 17€ per orang. Dikali dua sudah 34€ dan kita masih harus nyambung lagi sampe ke airbnb yang dipesan, entah dengan taksi atau metro atau bus sambil gendong bayi dan koper. Harganya udah berapa tuh keringet dan repotnya, bagus kalo ngga nyasar. Biarpun saya bicara bahasanya, tetap bingung juga kalo ngga ngerti yang dijelaskan.

Tapi, cukup dengan bayar 50€ atau 55€, keluar bandara udah ditunggu, koper masuk bagasi, duduk tenang dan lega sambil senyum-senyum liat pemandangan kota dari balik jendela dan dianter sampe depan pintu Airbnb. Kalo naik kereta bawah tanah mana bisa.

Jadi, kalo pergi sekeluarga atau pun bareng temen yang minimal tiga orang dan tinggal di satu tempat, ngga usah mikir pilih taksi bandaranya Charles de Gaulle. Pulangnya pun dengan taksi biasa tarifnya sama. Ngga usah pusing.

Hidup Paris!

London

Buat London, sepert visanya yang bikin pusing, airport transfernya pun ternyata juga bikin pusing, buat saya. Kenapa? Ya karena budgetnya pas-pasan dan waktu UK trip saya pergi bukan hanya dengan anak kecil tapi juga orang tua. Jadi makin rempong. Apalagi ayah saya tipe yang selalu pergi dengan full service travel. Dari airport ke airbnb naik bis atau tube jelas dicoret.

Taksi hitam London ngga bisa dimasukin ke list karena mahal dan pake argo yang bikin jantungan. Ngga jelas bayarnya brapa sampai di tujuan. Saya suka yang pasti-pasti. Akhirnya hampir berminggu-minggu saya browsing tentang airport transfer dari dan ke Heathrow. Pilihan banyak, tapi lagi-lagi yang sesuai budget saya dikit, hehehe.

Setelah sekian lama akhirnya ketemu satu servis yang masuk ke budget saya dan bisa bayar pake kartu kredit untuk booking. Saya lebih suka pake CC jadi tidak nghabisin cash yang dibawa. Bawa cashnya pas-pasan juga😁.

Waktu itu saya memesan dari Unicorn Airport Transfer. Bisa pesan dari websitenya http://unicorntransfers.co.uk/mobile/. Semua form diisi online dan mudah banget. Kenapa akhirnya milih ini? Karena dapet PP dari dan ke airport kurang dari £100. Kurs waktu itu sekitar 16.500 rupiah. Saya bayar untuk PP £95.

Bayar sekitar Rp 1.500.000 pulang pergi, untuk 4 orang, 6 koper, buat saya murah. Inget ya, ini di eropa yang ngga bisa disamain dengan disini. Harganya kurang lebih sama kan kaya Paris.

Oya, waktu pemesanan kita harus nulis dengan lengkap untuk berapa penumpang dan mereka punya batesan koper yang bisa diangkut. Karena kita ngga bisa milih mobil paling murah kalo kita isi penumpangnya semakin mahal. Jadi mereka sudah menentukan mobil yang sesuai ketika kita mengisi jumlah penumpang. Buat kenyamanan juga ya.

Servisnya oke buat saya. Ketika jemput sudah ditunggu dan ketika mau pulang setengah jam sebelum waktu yamg ditentukan sudah nunggu. Hati-hati dengan waktu yang kita tetapkan. Sekali lagi, ini bukan Indonesia dimana nungguin penumpang beberapa menit adalah hal yang biasa. Buat mereka, ketika kita tulis jam 12.00, bukan jam 12.00 baru sampe, tapi jam 12.00 kurang sudah jalan. Iya, jam 12 kurang. Terserah kurang berapa.

Oya, masalah tipping : Paris dan London saya kasih tip ke supirnya. Paris karena bayar cash jadi saya lebihin, London karena dengan kartu kredit jadi hanya tipnya dengan cash. Semua diterima dengan senyuman.

Tokyo

Pengalaman dua kali ke Paris dan London bikin saya mikir Tokyo pasti gampang. Tapi, emang ya semua itu pasti ada kurang lebih. Jepang yang visanya super simpel ngga kaya UK dan Schengen yang ribet, ternyata airport transfernya jauh lebih ngga nyaman, untuk kondisi yang saya sebutin di atas.

Berminggu-minggu saya ubek-ubek ngga ketemu satu pun airport transfer yang sesuai dengan kantong dan akal saya. Paling murah yang saya temukan adalah 22.000¥. Kurs 1 yen : 130 rupiah, kalo ditotal jadi sekitar dua juta lebih. Hanya SEKALI JALAN.

Ngga sehat kan? Masa ngabisin 4 juta buat taksi. Yang bener aja.

Saya tau Jepang terkenal dengan Japan Railnya. Ada Narita Express juga. Tapi ya itu, ngga bisa berenti depan Airbnb kaya Paris dan London, jelas harus nyambung lagi pake taksi. Iya kalo udah deket, kalo jauh yah, mahal bener dan buang waktu.

Akhirnya karena ngga ada pilihan airport transfer pribadi, mau ga mau ya naik yang bareng. Airport Limousine Bus adalah pilihan yang paling baik buat saya yang nginep di daerah Tokyo Dome. Airport Limousine ini punya rute yang lengkap seluruh Tokyo. Tinggal cari yang paling deket sama penginapan. Bus ini bahkan berhenti di beberapa hotel besar seperti Le Meriden, Tokyo Dome Hotel, Grand Palace, dsb.

Bus ini punya berbagai jurusan, yang satu jurusan itu ada beberapa pemberhentian. Sebagai contoh, saya saya pilih yang ke Ikebukuro. Rute ini berhenti di 7 tempat diantaranya Tokyo Station, Le Meriden, Grand Palace Hotel, sisanya ngga hafal. Bisa refer ke websitenya Airport Limousine Bus. Ini menurut saya paling nyaman karena kalo naik bis koper disimpen di bawah dan ada petugas khusus yang nyusun berdasarkan tujuan tempat kita turun. Ngga perlu ada gotong-gotong koper naik turun tangga subway atau lewat lift.

Tarifnya flat : ¥3100 buat dewasa. Anak di bawah 5 taun gratis tapi dipangku. Kita pilih pangku Langit biar bisa duduk bareng karena formasinya 2-2. (Alesan dari supaya ngga kluar uang lebih). Kalo dikurs harga tiket bis buat 2 orang PP ngga jauh dari kita nyewa mobil di Paris dan London PP. Buat kantong saya, Tokyo ‘mahal’, hehe.

Karena Airbnb yang dipesan dekat dari Tokyo Dome, dan pemberhentian terdekat adalah Tokyo Dome Hotel, jadilah kita dari Tokyo Dome geret-geret koper sambil dorong stroller sampe ke Airbnb. Naik taksi bisa tapi kita ragu-ragu karena kalo naik taksi deket banget. Tinggal nyebrang. Kalo jalan kaki yaa lumayan juga. Tapi, ya sudah dijalanin juga.

Pulangnya kita naik Aiport Limousine Bus lagi dari Tokyo Dome Hotel, tapi dari Airbnbnya kita peseb uber. Untuk jarak sedeket itu kita bayar ¥800.

Di Tokyo, kita ngga kasih tip. Ragu sama baiknya orang Jepang, takut tersinggung dan ngga yakin brapa yang pantes. Selain itu, dari yang saya baca tipping emang ngga lazim di sana.

————————————

Mungkin itu yang bisa dijabarkan. Ngga perlu antipati naik taksi dari dan ke airport kalo bepergian dengan keluarga. Semoga bermanfaat!

Posted in Places, Review, Travel

Dua Hari di Yats Colony

Sepanjang tahun lalu hotel ini sering sekali terpapar di media sosial. Saking terlalu seringnya, sampe berhasil ngeracunin otak saya buat buktiin sendiri rating 8.8 di salah satu situs pemesanan hotel.

Saya pesan 2 kamar tipe RA dan KA. Untuk yang RA dipesan duluan untuk 2 malam sedangkan yg KA menyusul hanya 1 malam karena full booked.

Perbedaan 2 tipe ini adalah viewnya. Harga beda tipis cuma selisih 50 ribu. Untuk KA pemandangannya koridor, sedangkan kamar RA ada di lantai 2 dengan pemandangan kolam renang. Meskipun harga RA lebih mahal sedikit, menurut saya kamar KAnya kok lebih enak ya.

Kamar KA yang di dapet ada di lantai 1 gedung yang belakang, letaknya di pojokan, jendelanya menghadap taman kecil, kamar mandi yang lebih luas, jadi kaya paviliun sendiri. Sedangkan kamar RA ada di lantai 2, betul menghadap kolam renang tapi jarak pandang ya lantai 2 gedung sebelah. Kamar mandi agak sempit, wastafel di luar. Dua kamar yang saya pesan tidak ada kulkas dan pemanas air. Tapi di masing-masing koridornya tersedia dispenser dengan pantry kecil yang menyediakan teh, kopi, gula sachet dan gelasnya.

Kolam renang kecil tersedia, buat anak-anak juga bisa. Buat berenang santai cukup lah. Langit berenang dua hari berturut-turut dan hepi. Airnya ngga terlalu terlihat jernih, buat saya.

Semua kamar setau saya sudah termasuk sarapan. Dua hari sarapan di sini menurut saya cukup oke. Hari pertama dan kedua beda kecuali pastry dan minuman jusnya mirip.

Hari pertama saya cuma makan nasi pake ikan asam manis sama sup kimlonya. Enak. Ayah saya coba lempernya juga bilang enak. Hari kedua saya coba hampir semua dengan porsi mini. Nasi pake beef curry, pom pom yang rasanya kaya onion ring, bihun, nasi goreng, bubur ayam, dua danish pastry, dan orange jus. Mereka juga nyediain jamu lho. Ada beras kencur sama apa ya satu lagi lupa. Menurut oke semua sih. Langit juga makan dengan enak di dua hari sarapan.

Selain sarapan, dua malem di sana saya juga nyoba makanan room servicenya dan a la cartenya. Malem pertama saya coba rice bowl chicken salted egg dan tante sama sepupu saya pesen nasi goreng seafood. Saya suka rasanya dan porsinya pas banget. Harga standar untuk ukuran room servis. Buat saya sih sebanding antara harga, rasa dan porsi.

Hari kedua ada tante, om dan sepupu yang tinggal di Jogja main ke hotel dan diajak makan di restorannya. Makanan yang dipesan rice bowl dori sambel matah, chicken salted egg lagi, mie ayam jamur bakso, saya pesen ande-ande lumut kaya puding ager pandan gitu, ayah saya pesen affogato. Semuanya tandas.

Baru kali ini kayanya nginep di hotel yang tiap malemnya lebih milih makan di hotel daripada keluar. Jogja macet. Males juga keluar.

Secara keseluruhan, buat saya hotel ini oke. Di pusat kota, 15 menit dari stasiun, konsepnya artsy dan emang bagus ya pemilihan interiornya. Menarik. Ngga standar hotel-hotel biasa. Harga yang ngga semurah hotel jogja biasa menurut saya sesuatu yang dibayar untuk ide desain yang dinikmati tamu hotelnya.

Dari interior, eksterior dan pemilihan barang-barang dan material propertinya menurut saya apik dan detil. Setiap sudutnya baik di outdoor dan indoor emang instagramable. Dengan lahan yang ngga seluas itu, hotel ini nawarin suasana yang alam banget di tengah kota. Cuma ada 2 lantai di hotel ini dan ngga ada lift. Kalo dibandingin dengan hotel bintang lainnya, Yats Colony ini cocok disebut ‘down to earth’ menurut saya.

Saya ngga punya komplen apa-apa tapi kalo buat ayah saya dengan harga yang sama dia lebih milih Alana. Emang bukan selera hotel orang tua juga kali ya😁.

Kalo ada yang tanya, bakal nyaranin ngga orang buat nginep di sini? Kalo saya iya.

Kalo ditanya ke jogja lagi nginep sini lagi ngga? Bisa iya bisa ngga.

Kalo ditanya 1-10, dari saya kasih 8.2 buat hotel ini.

Mungkin bisa lebih karena kalo ngga nginep di sini, saya mungkin ngga akan tau kalo Langit bisa berenang seperti ini, tanpa pengawasan pelatihnya (papanya) setelah lima bulan absen dari kolam renang.

Enjoying adult pool like a boss.

Posted in Review, Travel

Japan Airlines to Tokyo with Toddler

The trip started when amazingly cheap ticket price offered by this airline.

I always start with some research with the question, “how cheap is cheap?”. For Jakarta-Tokyo, the normal price when you take FULL BOARD airlines is around 7-8 millions rupiahs. When the doctor talked to one of his Japanese colleague, he really surprised to hear the price we got for 3 pax of tickets while he had nearly such price for 1 ticket only.

I bold that full board airline because some low cost airline also offer the flight with very slight different compared to full board price yet with the facilities very less than the full board one. Going with full board airline is always a better choice for more than 5 hours destination.

As we had an early flight, we checked in safely without crowd, passed through immigration quickly and boarding on time. They were actually ready take off precisely at 6.45 am but it seemed they couldn’t avoid queuing for runway to take off. So, they just really took off at 7.10 am.

One of the perks of traveling with toddler : you beat the line even to those in bussiness class😀.

We had a very nice departure and return flight. Legroom was wide and I found out later that JAL won the best Economy Seat Award in 2017. Compared to Qatar Airways when we went to London last year, this one was surely more comfortable.

One of my best impressions was the non-stop service from the cabin crews. Along the 7 hours flights, they literally didn’t stop going back and forth offered something. Any kind of drinks or whatever it was. It was totally different than what we experienced with Turkish Airlines.

Their meals were pretty good for me. I rarely finished any on-board meals, but twice having those from this airline, I finished it clear and clean. They also had this snack that Langit really liked until I dropped my pride to ask for two other packs of the snack. They provided ice cream cup as dessert. Walls for departure flight and Haagen Daasz for return flight. Another indicator that the meal was quite good : Langit enjoyed it as well. Not only the ice cream.

For kids amenities, it’s just a standard one. Maybe because it was just a 7-hours flight. Langit get key-chain plane doll for departure flight and pensil case for return flight.

I was more than satisfied flying with this airline. I even considered to go with this again later, IF, we would take another long haul flight in the future.

JAL deserved at least 4.75 stars out of 5.

Why not 5 out of 5?

Their return cabin crews were not as impressive as the departure one.

Hope it helps!

 

 

Other flights with a toddler reviews :

Malindo Air&Qatar Airways Flights (with a toddler) to London 

 

Turkish Airlines with A Toddler

Posted in Review, Travel, Visa

Mengurus Visa Jepang 2018 Single Entry di VFS JVAC

Setelah mengurus visa Schengen di TLS Contact tahun 2016, mengurus visa UK di VFS Kuningan City tahun 2017, tahun 2018 ini alhamdulillah dapet pengalaman baru lagi buat mengurus visa Jepang, kali ini di VFS Lotte Avenue.

Kalo dibandingin dengan dua visa sebelumnya, visa Jepang ini jadi keliatan gampang banget (beuh,sombongg). Formulir isian cuma dua lembar, kelengkapan dokumen ngga ribet, bikin perjanjian ngga perlu jauh-jauh hari, sampe saya sedikit lengah juga. Bikin bank statement dan ‘ngisi’ rekeningnya juga agak mepet.

Buat yang belum tau, mengurus visa jepang sekarang bukan lagi di keduataan besar Jepang di jalan Thamrin. Sejak 15 September 2017, pengurusan visa Jepang dilakukan melalui agen VFS Japan Visa Application Centre (JVAC) di Lotte Avenue Kuningan lantai 4. Buat saya ini nilai plus banget. Lebih deket dan lebih ngga ribet.

Dokumen yang diperlukan kurang lebih sama dengan visa lainnya. Untuk visa single entry bisa disiapkan :

  1. Paspor yang masih berlaku minimal 6 bulan (bahkan mereka TIDAK minta fotokopinya!)
  2. Formulir aplikasi visa single entry (bisa diunduh dari website VFS)
  3. Bukti pemesanan tiket pulang-pergi
  4. Bukti pemesanan hotel
  5. Itinerary selama di Jepang (ada formulir khusus sendiri yang bisa diunduh)
  6. Fotokopi KTP
  7. Fotokopi Kartu Keluarga (karena kami pergi bertiga)
  8. Fotokopi akta kelahiran (kalo pergi sendiri, tapi saya sertain aja)
  9. Bukti keuangan 3 bulan terakhir yang mencantumkan nama dan nomer rekening yang bersangkutan

Gampang banget kan?😁

Ngga perlu terjemahan ini itu kaya visa UK.

Isian formulirnya pun sederhana sekali. Dua lembar yang sangat menyenangkan, hehe. Untuk perjanjian penyerahan dokumen, ada dua pilihan ; bisa dengan perjanjian atau walk-in. Saya sebelumnya ngga tau kalo bisa walk-in, tapi ternyata banyak juga yang walk-in.

Counter pengurusan visanya banyak, jadi ngga usah khawatir nunggu lama. Untuk pembayarannya, sampai saat saya ke sana hanya bisa TUNAI. Saya sempat keluar lagi buat ke ATM karena saya pikir bisa debit. Harga visanya pun ngga semahal UK dan Schengen. Kemarin saya bayar Rp 1.605.000 untuk tiga orang termasuk biaya pemberitahuan via sms Rp 30.000. Lama pemrosesan visanya menurut websitenya empat hari kerja, menurut petugasnya lima hari.

Di hari keempat saya mulai gelisah ngecek email dan sms. Hari kelima ngga ada email atau sms mulai insecure. Ternyata kita bisa cek status aplikasi kita di webnya VFS. Tinggal masukin nomer referensi yang terdapat di kertas putih untuk pengambilan paspor dan nama belakangnya. Nanti akan keluar statusnya.

Waktu saya cek, hasilnya ternyata sudah ‘ready for collection’. Saya beberapa kali cek lagi email dan sms tetep ngga ada notifikasi dari VFS JVAC.

Berhubung orangnya ngga sabaran dan penasaran, besoknya langsung nyamperin dan ternyata emang udah selesai. Di akhir sebelum saya ninggalin loket saya sampein kalo saya udah bayar tambahan sekian rupiah untuk dapat notifikasi dan itu ngga ada. Bahkan email pun ngga ada. Saya ngga perlu uangnya balik, tapi mereka ngga bisa anggep lalu hal penting seperti itu. Orang berhak dapat hal yang sudah dibayar.

Visa single entry sudah duduk manis. Tinggal siap-siapnya yang bikin meringis.

Selamat liburan!

 

Review Lain tentang Tokyo trip :

Japan Airlines to Tokyo with Toddler

Prayer Rooms in Tokyo

Eating in Tokyo

Airport Transfer Ramah Koper (Paris, London, Tokyo)

Posted in Places, Review, Travel

Siesta Legian dengan Keluarga Rosihan

Awal tahun lalu dimulai dengan menghabiskan banyak waktu dan energi untuk ngatur trip keluarga saya ke UK, tahun ini dimulai untuk ngatur trip keluarga suami ke Bali.

Bapak yang baru bener-bener pensiun akhir tahun kemarin pengen semua pergi bareng-bareng. Sebenernya maunya Lombok, tapi karena bawa dua anak kecil dan Bapak juga bukan tipe yang sering jalan makanya buat latihan awal coba Bali aja dulu.

Budget udah dikasih, tanggal udah ditetapkan. Masalah pesawat ngga terlalu susah ya karena pilihan banyak banget. Tinggal pilih sesuai kebutuhan dan kenyamanan.

Nah, untuk hotel buat saya yang agak tricky. Pak Dokter sempet bersikeras untuk nginep di Air Bnb karena pengalaman berapa kali pergi dan nyaman di Air Bnb. Saya juga seneng banget di Air BnB, tapii, buat yang kali ini saya lebih milih hotel.

Kenapa?

Traveling dengan banyak orang beda sama traveling dengan sedikit orang. Di Air BnB buat saya kita punya kewajiban buat ‘meninggalkan’ rumah dalam keadaan yang cukup baik. Jadi harus dibersihkan sendiri, dijaga jangan sampe barang-barangnya rusak dan sebagainya.

Dengan skuad travel dua anak kecil yang sukanya geratak, tiga laki-laki bersaudara yang jelas bersih-bersih dan beres-beres bukan hal yang pengen dikerjakan pada saat liburan, saya dengan tegas milih hotel adalah yang paling pas.

Beberapa sempet masuk kandidat dan semuanya jelas ambil deket pantai. Daerah Legian dan Seminyak yang dipilih. Beberapa hotel sempet masuk bursa calon sampe akhirnya saya milih yang emang pas yang sesuai budget dan kebutuhan.

Selama 3 hari 2 malem di Siesta Legian, buat saya harga yang dibayar sebanding dengan apa yang didapat. Saya nyusul di hari kedua, dan di hari pertama sebelum jam dua siang, sudah bisa cek-in. Saya pesan 1 kamar Interconnecting room yang terdiri dari dua kamar dan 1 kamar superior.

Untuk ukuran hotel bintang tiga, kamarnya cukup luas, kamar mandinya bersih, ada kulkas tanpa minibar, air mineral setiap hari dapat 2 botol, harga sudah termasuk sarapan. Sarapannya pun buat saya dan keluarga suami cukup enak. Bukan yang wah banget, tapi variasinya banyak, rasa pun bisa diterima.

Kolam renang ukuran kecil tersedia, buat anak ada kolam kecil yang lebih dangkal, ada trampolin dan playground sederhana dekat kolamnya.

Kalo mau sewa mobil, parkir tersedia gratis. Mereka juga punya basement kalo yang di atas penuh. Menurut saya, kami dateng di waktu yg pas. Hotelnya ngga terlalu penuh, jadi bisa sarapan dengan tenang. Ngga ada antri atau kehabisan. Hampir semua tamu yang saya ketemu waktu sarapan adalah rombongan keluarga kecil.

Untuk 3 hari 2 malam, kamar interconnecting yang bisa diisi empat orang dewasa dan satu anak (bapak, ibu, 2 adek ipar dan 1 anaknya) dan satu kamar superior buat keluarga saya, dengan fasilitas dan kondisi kamar yang ditawarkan, kasur yang nyaman, kamar mandi yang bersih, ada coffee tea maker dan kelengkapannya, kulkas, WIFI yang oke, lokasi yang cukup baik dan sesuai kebutuhan dan keinginan, harga tiga jutaan buat saya sangat sepadan.

Hari Senin kita pulang dengan pesawat pagi, saya konfirmasi ke resepsionisnya apa bisa minta sarapan awal. Sarapan baru siap pukul tujuh sedangkan pesawat kami jam 7.20. Solusinya mereka menawarkan disiapkan breakfast box. Bisa dipilih mau nasi goreng/mie goreng atau american breakfast yang terdiri dari roti, buah dan telor rebus. Air mineral dan buah juga termasuk.

Saya pesan lima pak nasi goreng dan satu american brekafast buat saya. Buat saya cukup oke ya. Bukan yang enak banget, tapi box sarapan saya sih habis. Nasi gorengnya menurut pak dokter juga oke. Langit ikut makan nasgor sama papanya di pesawat.

Dengan breakfast box ini, jatah sarapan yang sudah dibayar ngga hilang dan buat saya itu ide yang baik sekali.

Standar saya emang ngga tinggi sih. Permintaan dari Bapak sama Ibu yang penting semua ngumpul. Fokus saya gimana dengan budget yang dikasih bisa maksimal, tanpa ngorbanin kualitas, dan semua bisa happy.

Lokasi Siesta Legian bukan di pinggir jalan besar buat saya sih lebih oke ya. Lebih aman kalo bawa anak-anak. Dari masuk belokannya juga cuma sebentar. Ke pantai bisa jalan kaki sambil cuci mata di sepanjang jalan.

Pilihan makanan di sekitar hotel lumayan, kalo saya harus dipastikan ngga ada babi. Itu aja. Ngga akan ngebahas tempat makan karena emang ngga banyak yang kita coba.

Pergi sama anak dan orangtua ekspektasi harus rendah. Selama empat hari tiga malem, tempat yang dikunjungi bisa dibilang super dikit.

Hari pertama abis cek-in ke pantai sama makan yang saya ngga tau dimana karena belom sampe. Sabtu pagi ke Bali Zoo trus jempu saya ke bandara. Malemnya makan di Warung Indonesia di sekitar hotel. Hari Minggu ke Tanah Lot trus makan di Ayam Betutu Gilimanuk dan dilanjutkan ke Krisna. Malemnya saya usul ke Jimbaran dan usulan diterima. Makan malem terakhir berakhir di Menega Cafe.

Udah. Besok paginya udah cek out. Proses cek out juga ngga ribet, tinggal ngasih kunci selesai.

Buat saya hotel di Legian secara lokasi lebih baik ya dibandingkan hotel bintang tiga sejenis yang terletak di Sunset Road. Jadi dibandingkan dengan hotel-hotel bintang tiga atau empat yang lebih bernama di Sunset Road, Siesta Legian ini jelas lebih oke. Buat saya.

Bakal balik? Kalo dari harga dan fasilitas juga kebutuhan, bisa. Tapi kalo ada budget lebih dan mau experience lebih banyak, jelas akan lebih pilih tempat lain.

Foto-foto hotel ini banyak banget kalo dicari, jadi ngga perlu saya tambah lagi. Kondisi aktual sesuai kok dengan foto yang saya liat. Kecuali playgroundnya ya. Hanya kurang terawat aja. Tapi yang lainnya apa yang dilihat itu yang didapat.

Semoga bermanfaat!

PS : ngga ada hubungannya sama hotel ini tapi karena ngga ada postinga khusus jadi di sini aja. Ngga nyangka Langit bakal ngga suka pantai. Nangis minta pulang, kaki kena pasir minta tissue. Ckckck. Harus lebih sering.

Only few things could beat the beauty and serenity of Langit Senja

Posted in Langit Senja, Maternité, Review

Konsul Tumbuh Kembang di Brawijaya Clinic Kemang

Tulisan pertama di tahun ini.

Mau sedikit cerita tentang judul di atas, dianggep review juga boleh.

Perkembangan bahasa Langit agak lambat dibanding perkembangan lainnya dan kemampuan dia menyerap bahasa Inggris berapa kali lebih cepat dibanding bahasa Indonesianya. Lagu pertama yang bisa dihafal sampai selesai itu Moon Rivernya Frank Sinatra, karena orangtuanya juga suka banget.

Di umur yang sekarang ini, berhitung, nama benda, hewan, buah, dsb, hafalan surat pendek, doa sehari-hari, dia hafal dengan cepat. Kemampuan meniru katanya cukup bagus. Cara melafal dalam bahasa Inggris lebih mantep dibanding bahasa Indonesia. Soal perbendaharaan kata insya Allah aman. Yang jadi permasalahan adalah kemampuan dia merangkai kalimat dan ekspresif dalam berbicara.

Banyak hal yang bisa jadi penyebab dia agak sulit merangkai kata. Paling pertama adalah kita yang emang kasih gadget dimana tontonan yang dia liat sehari-hari emang kebanyakan bahasa Inggris. Walaupun komunikasi di rumah hampir seluruhnya dalam bahasa Indonesia, tapi mungkin banyak kata yang lebih mudah diucapkan dalam bahasa Inggris, yang biasanya hanya punya satu suku kata.

Faktor lain bisa jadi karena di rumah juga sepi dan Langit dikelilingi oleh orang-orang yang juga ngga banyak bicara.

Kita sempat ikutin sekolah bermain waktu dia umur 1,5 taun dan kurang berhasil buat dia dan kita sebagai orangtua. Anaknya belum siap,  begitupun orangtuanya. Tiap waktunya sekolah saya kaya punya hutang. Ngga nyaman sama sekali.

Usia 2 tahun kurang 2 bulan, kita mutusin untuk konsul ke dokter tumbuh kembang. Karena di Sam Marie belum ada, DSAnya merujuk ke salah satu dokter spesialis tumbuh kembang. Ketemu pertama kali dengan dr. Bernie langsung suka, kaya pertama kali ketemu dengan DSAnya Langit.  Waktu itu di klinik Brawijaya FX Sudirman yang sekarang ternyata sudah tutup dan pindah ke UOB Plaza.

Hasil konsul yang pertama dari dr. Bernie adalah kalo Langit masih dalam ambang batas wajar. Belom perlu terapi apapun, lebih banyak diekspos dengan kata-kata dan bicara dengan orang. Setelah dari dokter, perbendaharaan katanya memang naik drastis banget. Banyak banget kata-kata baru yang keluar dan itu melegakan sekali.

Ketika hampir tiga tahun dan kita udah mulai memikirkan masuk sekolah, dengan tau kemampuan Langit dalam merangkai kata dengan kasual belum terlihat, kita akhirnya mutusin untuk konsul sekali lagi. Langit bisa merangkai dua sampe tiga kata cuma dalam bahasa formal. Bukan bahasa percakapan. Kita ngerasa ini udah waktunya ditanyakan kembali. Setelah satu taun lebih, kita ketemu dengan dr Bernie lagi. Kali ini di Brawijaya Clinic Kemang.

Buat yang tinggal di Jakarta Timur, jaraknya cukup jauh kalo ngga mau bilang jauh banget. Kalimalang-kemang itu kalo bukan karena sesuatu yang penting dan krusial, ngga akan dijalanin.

Pertama kali dateng, langsung sreg. Karena : SEPI! Saya terus terang ngga pernah bisa nyaman sama apapun jenis RS atau klinik yang lobinya aja udah rame. Kaya RSIA yang di Menteng. Ke rumah sakit atau dokter aja udah bikin gelisah, tempat yang rame bikin saya makin ngga nyaman.

Lobbynya ada beberapa sofa dan disediakan snack dan minuman dingin yang bisa diambil buat yang nunggu. Kliniknya ngga besar, cuma ada lobi utama, turun ke bawah setengah tangga ada ruang konsul dan terapi, naik dari lobi utama setengah tangga juga ada ruang konsul lainnya. Karena ini klinik, jadi praktek dokternya pun juga terbatas. Selain dokter anak, ada dokter umum, obgyn, penyakit dalam, kulit, dan gigi. Kurang lebihnya sama menunya kaya di Sam Marie Basra. Cuma kalo Sam Marie jualannya lebih ke masalah kandungan dan fertilitas, di Brawijaya Klinik Kemang lebih lengkap di bagian pediatri.

Masuk ke ruangan konsulnya, ternyata kita langsung konsul ke dua dokter sekaligus. Dr Bernie untuk masalah tumbuh kembangnya, dr. Amandeni untuk bagian rehab medik yang menentukan terapi yang sesuai untuk anak atau justru tidak memerlukan terapi.

Ruang konsulnya lebih mirip playground kecil ya. Duduknya di matras, banyak mainan, dua dokternya juga megang papan jalan buat nulis. Sekitar setengah jam ngobrol ditanya ini itu sambil Langit diobservasi.

Hasil observasinya menyatakan kalo Langit disarankan untuk ikut terapi Sensori Integrasi II. Menurut dokter rehab medik, adaptasi bagus, koordinasi tangan mata oke,komunikasi cukup baik karena dia bisa jawab apa yang ditanya, ngerti instruksi, dsb, tapi kemampuan untuk fokusnya masih kurang dan harus dilatih. Kontak matanya juga masih terlalu sebentar. Jadi, disarankan untuk boleh mulai sekolah, ketemu banyak orang sambil terapi.

Kalo saran ini saya denger setahun lalu, saya mungkin akan resisten. Denger kata terapi seakan-akan kaya ada stempel yang sangat ngga nyaman. Tapi kemarin, perasaan beda banget. Saya ngerasa siap kalo memang ada kekurangan yang harus diperbaiki dan itu bukan masalah besar. Sempet ngeri juga sama biaya yang harus dikeluarkan buat konsul dan terapi, ternyata Alhamdulillah masih sangat masuk budget sesuai kemampuan.

Langit sudah ikut terapi pertama dan cukup berhasil bertahan selama sejam di satu ruangan dengan orang asing tanpa nangis dan minta keluar. Kita bilangnya juga kalo ini kaya main di playground aja dan ngga bohong juga karena ruang terapinya emang mirip playground, hehe.

Saya suka dengan tempat dan pelayanannya selama dua kali datang ke sini. Bersih, apik, tenang, semua staffnya ramah. Cuma satu kurangnya : ngga ada tempat solat. Jadi dua kali datang, kita disiapin ruangan praktek yang kosong buat solat, wudhunya di kamar mandi.

Semoga ke depannya kalo memang memungkinkan, manajemennya juga bisa menyediakan tempat solat khusus. Agak ngga enak juga sih soalnya ngerepotin staffnya tiap kali mau solat yang mana insya Allah akan ngerepotin lagi karena jam terapinya pas waktu solat.

Dr Bernie karena memang udah ketemu dan cocok makanya bela-belain ngejar sampe Kemang, buat kita nyaman buat konsul. Ngga judgmental secara frontal, santai, ngga buru-buru mendiagnosis sesuatu. Dr Amandeni lebih tua, sudah pensiun juga dari RSCM, bagusnya dengan dua dokter seperti ini mungkin jadi lebih objektif hasil konsultasinya.

Kita mutusin untuk ambil paket terapi 10 kali, seminggu dua kali. Biaya yang dibayar lumayan juga bedanya dengan kalo bayar per datang.  Selain itu supaya lebih komit juga. Karena udah bayar di awal ya mau ngga mau harus dateng atau pasti diusahain dateng.

Untuk biaya konsulnya karena kami bayar pribadi jadi udah minta ancer-ancer via WA setelah dikonfirmasi kalo kami dapat tempat untuk konsul, yang sebelumnya waiting list. Angka ancer-ancer yang dikasih cukup lumayan dan kita spare juga kemungkinannya bisa jadi lebih dari itu.

Berdiri di kasir RS nunggu tagihan keluar emang sensasinya beda ya. Di kepala udah seliweran angka ini itu sambil ngebayangin sisa saldo. Ikhlas, tapi meringis mah ngga bisa dihindarin. Ketika CSnya nyodorin kertas di meja sambil sebut angka, kembali diingetin lagi, kalo rejeki itu selalu ghoib. Cuma perlu percaya dan usaha buat selalu cari yang halal. Hasil akhirnya, yang bener-bener sampe ke kita, bukan pake matematika akal manusia.

Karena tagihan yang dibayar setengah dari yang kita siapkan, masih bisa dipake buat melipir sedikit ke Taman Kemang mampir ke restoran yang udah lama banget pengen saya datengin tapi karena jauh belom kesampean.

Sampe rumah jam setengah 10 malam, hati dan pikiran lega karena udah dapet solusi yang aplikatif buat masalah Langit, perut lega kerena terpenuhi sama gyutan don dan soto banjar yang enak banget di Akasya Express, keadaan rekening masih dalam kondisi aman setelah mengeluarkan yang memang harus keluar.

Tentang terapi SI  ada rencana untuk nulis di postingan terpisah setelah paling ngga sudah ikut setengahnya. Mungkin ada yang perlu referensi juga nantinya.

Semoga bermanfaat buat yang sedang cari dokter dan RS buat tumbuh kembang ya!

 

Terapi Wicara dan Sensori Integrasi di Brawijaya Klinik Kemang

Posted in Maternité, Past learning, Review, Thoughts

Parents’ Dream : A Piece of Lesson from Dangal

I know it’s quite late. Dangal was on the theatre few months ago. But, actually it wasn’t kind of movie which dominated all studios in every cinema like the one with superheros on it. If I am not mistaken, Dangal was only available in very few certain cinemas in South Jakarta.

I finished watching it yesterday with the doctor on Netflix and I have been repeating some of its scenes on my head. A great movie always stays longer on your head and probably forever in your heart. Dangal has those two possibilities.

It was one based on true story about Indian wrestling athlete who once fought for the country for Olympic and had to be satisfied with silver medal. The thirst for gold medal haunted him for a long time until he decided that one of his children should take the same path like him and accomplished what he’d been dreaming of.

It turned out that his first child was a girl. He tried again then the second turned to be a girl too. Until the fourth child, all he had were girls.

One certain conflict trigerred this father to start training his two oldest daughters to become a wrestler. He trained Geeta and Bambita hard. Started early in the morning, trained them like a professional wrestler. These girls, no matter how unhappy they were with their father doing, they kept going with the training. They tried to fail the plan sometimes and they failed miserably.

Although all of his family were against the idea, including the girls’ mother, he kept going. He asked his wife to give him a year to train the girls. If there were no result, then he would give up his dream forever.

I won’t tell a whole story here and of course, the movie goes like we expect. It’s truly worth your 2,5 hours of time watching it. Unlike my husband, I am rarely into a movie. Unlike dramas, movie often makes me sleep.

I survived Dangal from the first minute until its last credit title. Some tissues surely needed while watching it.

————————————————
One of the reasons why I survived Dangal until the very end, and more, even take some time to write a post about this, because it reminds me of some familiar moments.

I was once Geeta and Bambita with a mother like their father. Although the achievement is nothing compared to those girls and their father, I experienced similar things like those two girls went through until the very end. I felt like re-watching my thirteen years of life in the past while watching Dangal.

When the father unachieved dream was about Olympic gold medal, my mother’s was piano. She had been dreaming of being able to play piano for a long time. Until my father gave up one of his Vespas to buy her a decent upright piano. Right after marriage, she started learning privately at home. But, not for long, she was pregnant with me and her pregnancy wasn’t the easy one.

She stopped learning for some time until she had a chance to resume her lesson, after her second child was born. She waited that long. But, again, being a working mom with two little babies were surely not easy. She told me whenever she had her lesson when my sister was sleeping, this little baby suddenly woke up and refused to go back to sleep. Again, she finally had to give up her private lesson.

It wasn’t my mom if she gave up easily. Once we were older, she started searching for a music school to learn. She came to one of music schools in Manggarai, and asking some information to join a piano course. The administrator laughed at her and said they only had and allowed piano course for children age 5-12, maximum, if they hadn’t learned anything before. She came home with a blank form with her.

I was only five when this happened and on my third years in kindergarten due to unsufficient age to enroll primary school. For certain reason, my mother thought it might be boring to spent three years in kindergarten and it was better for me to have something other than school. Then, with such thought, she enrolled me to that music school.

She told me later, if she couldn’t manage to play piano at all, then at least she could see her daughter (and all her children actually. Three of us went to the music school) plays.

Similar to the father in Dangal, she too didn’t have the support from her husband, my father. My father was against the idea thinking it would be burdensome to pay for another bill while it wasn’t compulsory. There were three of us already. For an ordinary government employee, supporting five people was surely hard already.

But, again, it wasn’t my mum if she gave up easily. She stood firm to her decision, told my father that she wouldn’t ask a penny from him to pay the monthly tuition. Luckily, she was working and had her own money too. She even told him, she wouldn’t bother him about sending me to the school. She would take all the responsibilities about this.

She really meant what she said. I still remembered clearly, she sent me to the music school in a bright hot day, by public transport, while bringing her two other children along. My brother was only one at that time.

We walked from home to the nearest public transport stop, about fifteen minutes, put my brother’s stroller in a small warung, then got on a mikrolet until terminal and changed to bajaj to the music school. It went the same for the return trip. Bajaj until terminal, a mikrolet until the residence gate, took the stroller from the warung and walked home. She had been doing that for at least five or six years until my father started to take part in our music course.

I couldn’t imagine how she kept surviving all those hassles,bringing three little children in a hot bright day, by public transport,  twice a week, for a mere 20-minutes piano lesson. Yes, TWENTY MINUTES ONLY EACH LESSON TWICE A WEEK. For this part, I think my mother won a big time over Geeta and Bambita’s father.

She might not be able to train me like the Dangal father, but she never skipped any single lesson for whatever reason. If there were any, I couldn’t remember it at all. It was very similar to the father who never skipped a single morning and afternoon training for his daughters. Although she couldn’t play at all, she accompanied me practising at home. Made a practice schedule daily and sat right next to me.

Similar to Geeta and Bambita, I wasn’t too happy too with such training. It was hard and I came to tell my mother cried and said I wanted to quit. But, she kept telling me to go on and said to finish what I had started.

I won’t repeat the whole story about this since I have written an old post about this here. What I want to point is what my mother and this Dangal father did.

Unlike the recent parenting trend where parents are told better not to push the children to do something related to their ambitions, both parents were doing the opposite way.

I think, with the right nature and nurture, parents who push their ambition, as long as it is something good and worth fighting for, it could give the children something beyond what they could think of.

For many aspects in life, parents know better. They could see something beyond what the children could see. Sometimes, they have to drag the children to the roughest path for them to be able to find a great treasure. But, what some parents forget is they have to go through the same rough path as well and not letting the children go alone.

If it weren’t because of her father, Geeta and Bambita would never ever felt such great feeling standing on the highest podium, with a gold medal on their neck, while hearing (and singing) their national anthem played in a world sport event around the world. Not only for their own pride, but the gave the glory to their country.

Mine was surely very far from what they achieved. But, the feeling of accomplishing something well after long and hard years of trainings, litre of sweat and tears, days and weeks of lack of goodnight sleep, ton of patience, determination, and strong persevereance, I was lucky to be able to feel such feeling thanks to my mother. One of the best feeling I have ever felt in my life.

Dangal told you something about raising a (champion) child : There’s no easy way to avhieve good results in parenting. If you feel it’s easy and relaxing, then it’s almost certain that you are not doing it right.

The children might have hard times to keep up with such parents. But, what I came to understand after being a parent, it was the parents who have a harder and the hardest times. Watching the father massaged the girls feet while they were sleeping, cooking them chicken so they could have more protein to fight well, staying close to the national camp so he could train them early in the morning, booking a whole cinema to watch all Geeta’s matches so he could analyze where she failed, and many more.

My mother had been through the same thing and might be harder. When Geeta and Bambita were surely talented, it wasn’t the case for me. No matter how often harsh comments she received from the teacher about how untalented I was, she swallowed it all and kept going.

Whenever exam period came, she woke me up at 3 am and accompanied me to practice until subuh. Then, twice a week, she sent me to the music school at 7 pm for repclass and my father would pick me up at 12 am. Midnight. For a whole two months every year. She was with me to go through everything until the very end.

I surely have a big doubt if I will be able to keep up with such boldness to my own children. To fight myself to do something right over something easy is a hard work. Even if I feel I have already done and tried hard, sometimes it is just myself who wants to justify the less-effforts work I have done.

So, If you haven’t watched it, Dangal is a recommended one to spend 2,5 hours of quality time with your family. It’s absolutely on my a must watch list to watch it with Langit later insya Allah.

Happy watching!

Posted in Maternité, Past learning, Review, Thoughts

Puasa Ramadan, Menyusui, dan Olahraga

Sebelumnya saya pernah menulis tentang judul yang sama hanya saja tentang puasa sunnah di sini.

Alhamdulillah hari ini sudah (atau baru ya?) puasa hari ketujuh dan dalam minggu ini saya sempet dua kali olahraga dan masih menyusui. Kenapa mau nulis lagi, karena ternyata dari beberapa kata pencarian di sini banyak yang mau puasa waktu masih menyusui tapi ragu kuat atau ngga.

Puasa Ramadan itu puasa wajib, namun ada keringanan yang diberikan untuk yang ngga mampu menjalankannya karena fisik yang tidak memungkinkan. Ibu hamil dan menyusui (bisa) dimasukan dalam kategori ini, JIKA memang tidak memungkinkan.

Buat saya JIKA ya. Karena, kalau memang memungkinkan jelas puasa lebih baik. Ini tahun keempat saya puasa Ramadan ketika hamil dan menyusui.

 

2014

Tahun 2014, saya sedang hamil lima bulan dan saya berpuasa tiga puluh hari penuh dan lanjut ke enam hari puasa Syawal tanpa berurutan. Di tahun ini, pola buka puasa saya berubah setelah sekian lama. Dulu, saya ngga bisa buka langsung makan nasi. Sejak hamil ini, ketika buka minum teh sedikit, makan kurma, dan langsung makan nasi.

Biarpun ngga seberat itu, puasa dalam keadaan hamil juga bukan segampang itu karena ya lumayan juga bawa perut kemana-mana, kebetulan masih kerja juga di dua tempat seminggu lima kali, tiga hari diantaranya saya keluar rumah dua kali, pagi nyetir mobil, yang siang jalan kaki karena kebetulan tempat kerjanya dalam komplek rumah.

Energi yang keluar cukup besar buat saya, dan kalo buka dengan takjil dulu, nafsu makan saya keburu hilang dan malah bikin perut ngga enak. Makan nasinya jug bukan yang kalap ya, karena emang pas buka tu pas disirem teh anget aja udah terasa kenyang ngga sih? Saya iya😀.

Bisa puasa full 30 hari, saya lanjut puasa Syawal enam hari. Enaknya puasa pas hamil, ngga ada utang puasa! Saya dan keluarga menganut paham untuk puasa Syawal, hutang puasa wajib harus lunas dulu.

Perumpaan bayar hutang puasa Ramadan dulu baru puasa Syawal  seperti kita punya uang lima juta, antara mau sedekah tapi punya hutang juga. Jelas yang wajib dibayar hutang duluan, bukan sedekah. Setelah hutang lunas baru bisa dan boleh sedekah. Beberapa referensi yang saya baca juga menganjurkan seperti ini.

2015

Tahun 2015, saya puasa Ramadan ketika Langit masuk tujuh bulan dan baru awal-awal MPASI. Saya pikir hamil aja bisa tiga puluh plus enam, yang kali ini ngga akan lebih berat harusnya. Ternyata salah. Tujuh bulan memang sudah ngga ASI eksklusif ya, tapi frekuensi menyusui masih cukup intens. Makanan pendamping masih bersifat support ASI.

Puasa tahun ini buat saya yang paling berat. Awal MPASI masih sibuk cari-cari menu, kasih makan sehari tiga kali, nyiapin buka dan sahur untuk orang serumah, dan kerja. Saya lepas satu tempat kerja setelah melahirkan karena waktu yang ngga memungkinkan untuk tetap di dua tempat.

Lewat jam 12, rasa hausnya mulai dateng karena dari pagi sibuk ngurus semua, sambil menyusui langsung juga. Saat buka puasa, energinya hampir habis. Kenapa ngga batal? Menurut saya batal bukan solusi. Langitnya juga baik-baik aja. Alhamdulillah, saya dikasih istirahat seminggu ketika haid datang. Itu pertama kali saya haid setelah 1,5 tahun absen. Selama ASI eksklusif saya ngga haid sama sekali.

Masuk Syawal, saya mulai cicil bayar hutang. Tenyataaa, puasa di bulan Syawal lebih berat lagi dibanding puasa Ramadan. Mungkin entah karena suasana yang beda, dimana Ramadan lebih terasa santai, semua orang juga memang puasa, jadi ya biasa aja. Saya ngga bisa nyelesain puasa Ramadan saya di Syawal dan cuma bisa nyelesain tiga hari hutang puasa.

Saya sudah puasa sunnah senin kamis sejak tahun 2003. Berenti puasa ketika pas hamil 6 bulan keluar flek. Jadi sampe 6 bulan, saya masih sambil puasa sunnah ketika hamil. Rasanya biasa aja juga. Tapi, setelah melahirkan, lalu menyusui, saya ngga bisa balik puasa sunnah karena… ngga tahan laper karena menyusui😕. Niatnya mau puasa lagi abis Langit MPASI, tapi ternyata hati kurang kuat. Tunda lagi.

Akhirnya karena kesadaran yang sudah terus terganggu, berhasil juga balik puasa senin kamis di akhir tahun 2015. Selain mulai lagi puasa senin kamis, saya juga balik olahraga.
Enam bulan pertama MPASI, benar-benar menyita waktu dan energi. Saya vakum puasa dan olahraga selama enam bulan itu. Ngga heran badan saya kaya ikan paus dengan nafsu makan kaya kuda (karena babi ngga terdengar menyenangkan).

2016

Tahun 2016 Alhamduillah puasa sunnah udah balik normal lagi, olahraga rutin seminggu dua kali, masih terus nyusuin. Ketika Ramadan tahun 2016, saya tadinya mau tetap olahraga, tapi waktu itu saya belum keluar dari masa kegelapan ngasih makan. Langit masih makan diemut. Ngga ada energi sisa untuk olahraga juga, sementara puasa Ramadan wajib dan terus menerus selama sebulan. Jadi, break dulu olahraga sebulan.

 

2017

Tahun ini, Langit sudah 2,5 tahun dan saya masih menyusui. Iya, belum (berhasil) disapih. Saya lebih milih toilet training dulu, yang alhamdulillah sudah tercapai siang malam, tanpa kecelakaan. Menyusui memang ngga sesering dulu, tapi ya masih lumayan sering juga. Tapi, mungkin karena sudah biasa juga di puasa senin kamis, jadi puasa Ramadan sambil menyusui memang ngga terasa berat.

 

Selasa lalu saya pertama kali coba puasa, ikut kelas olahraga  dan tetap menyusui. Saya cuma ikut 45 menit karena saya ngga suka bagian latihan lantai. Kebetulan juga ada urusan lagi setelah itu. Sepanjang hari hingga buka, alhamdulillah ngga segitu haus kaya bayangan saya. Selain ngurangin waktu, saya juga sedikit ngerem di gerakan. Ketika high impact, saya sesuaikan aja.

Hari ini, saya olahraga lagi dan instruktur yang hari ini kebetulan puasa juga. Ternyata instruktur yang puasa lebih kejam dari yang ngga puasa. Saya sempet break dua kali. Terakhir dia pake lantai juga saya skip. Saya ngga suka lantai (sama sekali). Ngga papa de perutnya ngga rata.

Sepanjang hari rasa haus sih ngga seberapa, ngantuknya yang parah banget. Abis mandi langsung ketiduran tiga jam penuh😴😴😴.

Satu yang saya tanamkan di hati dan pikiran, puasa Ramadan yang paling penting dibanding olahraga dan untuk tahun ini, sudah lewat dua tahun, menyusui juga bukan wajib lagi (buat saya). Jadi, kalau tetap mau olahraga, harus tau diri juga.

Buat yang ragu, insya Allah puasa sambil hamil dan menyusui sangat mungkin dilakukan kok. Selain niat yang kuat, perlu juga atur kegiatan dan hal lain yang bisa meringankan puasa sambil ngurus bayi. Di hari saya olahraga dan puasa, makanan yang Langit suka wajib ada. Drama makan memang alhamdulillah udah lewat, tapi saya tetap cari aman.

Oya! Salah satu yang menurut saya wajib dilakukan adalah majukan waktu makan anak ketika puasa. Sesudah buka, energi sudah habis. Ngantuk pula. Belum mau solat tarawih juga. Kayanya ngga ada energi lagi kalo harus ngurus makanin anak. Karena saya dari awal Langit makan memang sudah menerapkan hal ini, jadi ketika puasa tinggal ikutin aja. Tiga kali makan besar, sudah harus selesai sebelum maghrib. Setelah maghrib, waktunya tidur untul Langit dan istirahat untuk saya.

Semua urusan yang berat saya selesaikan di pagi hari. Saya juga punya daftar menu makan untuk sahur,masak, takjil, dan makan malam yang saya buat per minggu. Jangan salah, perencanaan yang detil itu sangat menghemat energi lho. Apalagi selain ngurus bayi, saya juga harus ngurus tiga laki-laki lain. Alhamdulillah juga kerjaan rumah ada ART pulang pergi yang ngerjain.

 

 

Semoga yang berniat puasa selagi menyusui dan mau olahraga juga dimudahkan ya niat baiknya. Triple ibadah, insya Allah pasti dikasih jalan kalau memang benar-benar mau melakukan semua. Apalagi Ramadan yang cuma setaun sekali. Sayang kalo dilewatkan.

 

Sehar dan lancar semua puasa dan ibadah lainnya ya!

Posted in Places, Review, Travel

Virgin Trains to Manchester and Liverpool

During our 7 days in London, another two cities were added in itinerary. Liverpool was there from the very beginning, while Manchester was added in the last minutes, thanks to Virgin Trains.

I had been eyeing  train tickets to Liverpool since London tickets were bought. It costed around £ 100 for three persons return for 2 hours journey. For me, it was quite expensive. I proposed to the doctor for him to go alone, so he could enjoy his trip to the sacred place. He refused.

During the searching, the price once went up above £ 100 and I couldn’t help regretting my hesitation. But then, I decided to keep waiting. 

In the mean time, going to Manchester idea was popped up. My father seemed very keen of such idea. Another research had been done and it was even more expensive than Liverpool tickets.

My mother taught us one of the most important skills that we should have in life : ability to wait. If things don’t go your way, wait. Try harder, search better, pray louder. Waiting has been saving me from lots of harms in my life. It did once again about buying these tickets.

While the departure date was getting closer, none of those tickets had been bought. One morning, I checked once again the price then I saw the advertisement. 

Virgin Trains celebrated its 20th birthday and they were giving extremely cheap tickets promo for many destinations in UK. London-Birmingham was as cheap as £4 one way, and bien sur, £8 return. CRAZILY CHEAP.

When I checked the price for Manchester and Liverpool, I couldn’t be more happier than that time. An normal price for an adult London-Manchester return costs around £ 30-40 something. With this promo tickets from Virgin Trains, I paid, …wait for it…

£ 90 only!!!

For 4 ADULTS and 1 CHILDREN!!!





Less than £ 100 for five persons. We stayed one night in Manchester for the sake of old memories. Having longer time to recall the good memories from the past absolutely needed.
How about Liverpool?

For this city, the promo wasn’t as extraordinary as Manchester, but still very much cheaper than those numbers I had been eyeing for some time. For Liverpool tickets, we got £ 79.50 for 3 persons. 

The best thing and also the worse thing from these western countries, they are so punctual until the very last minute. The trains to Manchester departed at 13.00 and we were almost losing it. We ended up running from the bus stop until the platform to make it on time. We boarded the train at 12.54, the door closed two minutes before the schedule. Exactly at 13.00, the trains were moving. So did the trains to Liverpool at 7.07. Exactly at 7 minutes past seven, the trains were moving.

As expected, the trains were clean, spacious, and not full, so we could move to several empty seats to have window seats. The view along the journey was very beautiful. England suburban with huge farm, brick house, animals farm, spring flower, such an eye candy. We really enjoyed the journey.

Thank you for the kindness, Virgin Trains!

Dream catcher
Window view
Little house on the prairie
Posted in Review, Travel

Malindo Air&Qatar Airways Flights (with a toddler) to London

I didn’t really remember how the idea came up about departing from KL instead of Jakarta. But, maybe you tended to be more creative to find any way possible to achieve something when your resource is limited. Of course, money talked here.

After the first tickets from KL to London had beed purchased, the search moved to the ones from Jakarta to KL. The considerations were on the suitable schedule, duration of transit, maximum baggage allowance and price.

Flying from KL to London with Qatar Airways had been decided because it had more comfortable schedule than Emirates. Though lots of reviews still prefered the latter, but I’d been once flyng with them, so I’d like to know one thay I haven’t tried.

In the other hand, the search for JKT KL tickets was more intense. Flying with low cost airlines was surely out of option. We needed one who had the same baggage allowance with 30kgs that Qatar Airways did. I love one with generous baggage alowance, although I won’t use it all.

For such short two hours flight, most of direct flight airlines only give 20 kgs of baggage allowance. GA, MAS, KLM only allows economy class passenger to bring at the maximum of 20 kgs.

Once again, an answered pray was given. I found Malindo Air while browsing for these tickets.

Malindo Air is actually Batik Malaysia which is also the part of Lion Group. All management handled by Malaysian. It has low cost price with full board airlines features such as 30kgs baggage allowance and meal on-board. 

The prices for four tickets were beyond reasonable for me. Even with such price, I made a bussiness class ticket purchase for my father for the return flight from KL to JKT. Considering he would have been so tired after hours of flying and transits, sitting in a bussiness class might give some comfort to end the trip. 

I won’t reveal any numbers here since different standards applied of what we call reasonable. Just go visit the website and decide whether it’s truly reasonable.

Malindo flights were quite acceptable. The plane was clean, spacy leg room, and it was very much more comfortable than MAS. But, it has frequent delay histories for it JKT-KL flight which gave me a very severe stomach ache. On the day we flew, everything went smooth and on time until we boarded the plane. 

But then, it didn’t take off until an hour from the original schedule. It supposed to take off at 1.10 and it truly happened at 2.15. 

The flight was quite acceptable. They provided chicken sandwich pizza and sweet brownies as snacks along with a glass of mineral water. The cabin crews were not that nice, not too helpful unless they were asked, and in both flights, the pilots made such very very rough landings. So uncomfortable. But then, let’s forgive them for those faults and focus to the advantages.

Other than its baggage allowance, one of the reasons when choosing Malindo Air was because it departed from Main Terminal KLIA. So we didn’t have to move to and from the other low cost terminal KLIA 2.

An hour delay made the heart racing so fast since we had to catch another flight which has almost zero delay history.  With this kind of arrangement, we had to go through immigration and baggages handling then proceed to check in counter once again.

Although the next flight would be at 20.50, but Qatar Airways always board the passengers on the plan an hour before the schedule. We arrived at KL at 5.20 pm and the immigration line was very long. 

I put the title with those ‘with a toddler’  words in a bracket because here’s one of the main advantage about traveling with little children. They are the one who will beat the line for us. All queues we had in this trip, Langit Senja beat them all for us. Except in one place, her very own hometown, Jakarta. No exceptions given here. We suffer together with others😊.

As expected, flying with reputable middle east airline was very different. We enjoyed it quite much. We had very helpful staffs on the ground until those attentive cabin crews on the plane. The meals were satisfying, I could order water as often as I wanted, the child meals I ordered were above expectation. They were tasty, lots of snacks, and came with an exciting lunch box for kids. The flight entertainments were varied, from the very new ones until the old ones. Cabin temperatures were quite cold for me. 

However, few notes were also taken here. I booked four seats in the middle so we could have the hand-rest up for the baby to sleep more comfortable. But, we didn’t get it for the KL-Doha flight and vice versa. The arm rest couldn’t be fully lifted. Another one, instead of hot towel, they threw wet tissues for the early refreshment. I prefered hot towel like one I had when I flew with Turkish Airlines. Wet tissue wasn’t suitable for my dry skin.

Other than that, we were good. They were very punctual, we could choose our own seats and modify it as much as we can, very very helpful staff (I appreciate this one the most), smooth take off and landing, enjoyable in-flight entertainments, and of course, a very large, beautiful, and exciting transit airport in Hamad International Airport.

So, if I am being asked if these two airlines are recommended for traveling (with toddler), in spite of their own lacking, the answer would be yes.

Thank you for taking us to our destinations and flying us back home safely!

KLIA Boarding Room
The busy Hamad International Airport
The famous iconic giant doll in HIA