Posted in Review, Travel, Visa

(Pusingnya) Mengurus Visa UK-Inggris Kunjungan (Sekeluarga) Bagian II

Lanjutan dari bagian I.

Sambil menyiapkan dokumen-dokumen yang diperlukan, bisa dimulai pembuatan akun untuk mendaftar visa Inggris di visa4uk.fco.gov.uk.

Untuk apply visa sekeluarga, hanya perlu satu akun. Akun tersebut dapat digunakan untuk mendaftarkan anggota keluarga lain ataupun orang lain. Setelah akun dibuat, log in, nanti ada pilihannya ‘apply for myself’ dan ‘apply for someone else’. Pilih yang ‘apply for myself’ untuk daftar diri sendiri, pilih yang kedua untuk mendaftarkan orang lain.

Visa Inggris memiliki kategori-kategori pertanyaan yang jauh lebih banyak dibanding visa Schengen. Perlu kesabaran dan ketelitian waktu ngisinya. Saya menyiapkan dan mengisi seluruh aplikasi online sendiri untuk saya, ayah, suami, dan anak.

Tidak perlu terburu-buru karena jawaban yang telah kita masukan bisa disimpan dan dilanjutkan lagi di lain waktu. Jawaban pun masih bisa diubah atau dihapus selama kita belum menekan pilihan ‘submit application’.

Bagian tersulit adalah diperhitungan ‘income dan expenses’. Baiknya sediakan kalkulator supaya angka yang dimasukan tepat dan logis. Selain itu, kita juga diminta memasukan angka ke dalam GBP untuk pengeluaran dan pemasukan. Misal gaji sebulan 10 juta, kita diminta untuk mengkonversi angka tersebut ke dalam GBP. Meskipun kurs berubah-ubah, saya pakai kurs tetap yang ngga terlalu tinggi dan terlalu rendah. Waktu isi saya pakai dan asumsikan kurs 1 GBP =Rp 16.500,00.

Bagian lainnya ngga ada yang terlalu sulit, hanya perlu kesabaran. Saya memeriksa satu persatu aplikasi masing-masing sampai berkali-kali, dan selalu menemukan kesalahan. Ada aja yang salah. Tanggal lahir anak pake tangga lahir saya, nama depannya anak pake nama depan saya, nomor paspor anak pake nomer paspor suami, dan masih banyak lagi. Mungkin karena siwer juga ngisi semua kolom untuk empat aplikasi. Bahkan sebelum ‘submit application’ pun, masih saya ulang lagi baca satu persatu.

Tidak seperti visa Schengen yang pembayarannya tunai di loket pada saat kita datang, visa Inggris pembayarannya online dengan kartu kredit berlogo Visa/Mastercard. Harganya pun berbeda-beda tergantung visa yang kita apply.

Saya memilih tipe visa short stay- 6months- single entry harganya USD 110. Umumnya orang memilih visa multiple entry, tapi karena kami ngga berencana kemana-mana, jadi pilih yang single entry aja. Sayang juga bayar lebih lagi, hanya berlaku enam bulan, kalo memang dikabulkan.

Satu hal yang agak buat saya sedih, Langit pun bayarnya sama. Beda sekali sama yang visa Schengen yang GRATIS untuk anak di bawah enam tahun.

Selesai dengan pembayaran, kita bisa pilih waktu penyerahan dokumen. Ada tanggal dan jam yang bisa kita pilih. Setelah itu, nanti kita akan terima email konfirmasi mengenai pembayaran dan waktu perjanjian.

Setelah semuanya sudah lengkap, tinggal diprint aplikasi dan bukti perjanjiannya. Untuk visa Schengen, satu aplikasi hanya berjumlah sekitar lima (5) lembar. Sedangkan visa UK, satu aplikasi berjumlah tiga belas (13) lembar.

Hari H penyerahan dokumen, Alhamdulillah, semua lancar dan cepat. Kami pilih di hari Jumat jam 9 pagi. Kebetulan kosong banget. Waktu masih dicek dokumen, sudah dipanggil ke counter. Prosesnya juga cepat. Petugas VFSnya pun cukup kooperatif dengan saya yang bawa anak kecil.

Oya, tidak seperti Schengen yang aplikasi satu keluarga itu bisa jadi satu bundelan yang diperiksa di satu loket bersamaan, untuk visa Inggris, satu aplikasi tetap satu loket. Bahkan punya Langit pun diperiksa di loket sendiri. Jadi, kemarin kami dapat empat nomer antrian untuk empat loket yang berbeda.

Setelah selesai dengan pengecekan dokumen di loket, kita harus menunggu untuk dipanggil ke ruang biometric untuk pengambilan sidik jari dan foto. Setelah itu selesai.

Bersyukur sekali waktu kami datang antrian cukup sepi, karena Langit susah sekali untuk difoto. Nangis keras udah kaya mau disuntik. Padahal cuma disuruh duduk buat foto. Kami sampai keluar dua kali supaya orang lain ngga nunggu lama. Akhirnya foto Langit bisa diambil dengan cara digendong di atas pundak papanya, dimana papanya dalam keadaan setengah jongkok. Sedangkan saya, dibantu oleh satu petugas lain, berdiri di depan sebelah kamera sambil mengacungkan mainan-mainan supaya dia liat ke kamera. Leganya bukan main waktu petugasnya bilang sudah dapat foto yang bisa diambil.

Visa Inggris ini jenis-jenis biayanya detil banget. Pas pembayaran jangan sampai salah pilih jenis visa yang kita mau, karena harganya juga beda. Ngga cuma jenis visa, layanannya pun juga banyak sekali.

Misal, ayah saya sudah bayar online permohonan standar USD 110. Karena akan pergi ke negara lain dalam berapa minggu, akhirnya pake layanan prioritas dan tambah bayar 2,6 juta. Jadi, kalo untuk visa standar yang selesai dalam 15 jari kerja seperti saya dikenakan biaya Rp 1.430.000, untuk ayah saya yang dijanjikan selesai dalam 3-5 hari kerja, harga visanya tambah lagi sekitar 2,5 juta. Jadi total biaya untuk visa UK prioritas sekitar 4 juta.

Selain layanan prioritas, juga ada layanan premium lounge. Jika menggunakan layanan ini, ada ruang khusus sendiri, ga perlu antri loket, juga tersedia sofa yang empuk dan makanan ringan. Kalo berkenan membayar lagi tambahan 1 juta, bisa dipilih layanan ini.

Selain layanan prioritas dan premium lounge, ad juga layanan late appointment. Jadi bisa masukin berkas di luar jam kerja. Saya lupa jamnya. Kalo ngga salah antara jam 17.00-19.00 atau 18.00-20.00. Biayanya juga kurang tau. Ini pasti akan sangat membantu kalo ada yang perlu buru-buru.

Paspor ayah saya sudah dapat diambil dalam tiga hari kerja setelah penyerahan berkas, berikut cap visa UK di halaman paspornya. Benar-benar 3 hari kerja lho. Masuk hari Jumat, Rabu sudah bisa diambil. Selasa malam sudah dapat notifikasinya. Tapi, ya memang ada harga yang cukup tinggi bukan?Sedangkan tiga paspor lainnya masih harus menunggu lebih lama lagi.

Tapi, ternyata ngga selama yang diperkirakan. 7 (tujuh) hari kerja setelah berkas masuk, (weekend tidak termasuk), email yang ditunggu pun masuk. Visa dinyatakan sudah selesai diproses dan sudah dapat diambil di VFS Global.

Hasilnya? Alhamdulillah, waktu paspornya dibuka visa uk MULTIPLE ENTRY untuk 180 hari ada di dua halaman setelah visa Schengen. Entah kenapa dikasih multiple sedangkan saya hanya piloh dan bayar untuk single entry. Seinget saya ada perbedaan beberapa dolar kalo kita pilih single dan multiple. Tapi ya sudah, Alhamdulillah juga, hehe.

Setelah dua kali mengurus dua visa eropa sendiri, menurut saya kemungkinan visa ditolak itu cukup kecil seharusnya JIKA dokumen-dokumen kita cukup jelas. Jelas pulang pergi, nginep dimana dan berapa hari. Jelas bukti keuangannya, meskipun statusnya bukan karyawan tetap. Dua kali apply untuk visa UK dan Schengen, saya ngga melampirkan slip gaji sama sekali.

Menurut saya, punya tabungan khusus yang jumlahnya cukup memadai membantu juga. Memadai disini cukup untuk biaya hidup selama liburan di negara yang akan kita apply visanya (disesuaikan juga dengan banyaknya anggota keluarga yang ikut).

Dua kali apply visa eropa, saya pakai tabungan dana darurat saya, yang alirannya lebih banyak masuk dan sedikit keluar. Aliran keluar masuk uangnya tetap terlihat wajar tiap bulan. Jadi, ketika akan apply visa, ngga terlalu repot harus pinjem dana dengan jumlah besar.

Lepas dari segala keribetan dan kerepotan (juga kemahalannya), saya ngga (akan) kapok kayanya kalo harus mengurus segala dokumen selama masih bisa diberikan kelapangan rejeki, umur, dan sehat buat jalan-jalan.

Saya selalu percaya, uang dan waktu yang dihabiskan dengan senang hati dan buat hati senang manfaatnya akan lebih besar dari apa yang dikeluarkan. Semoga ya.

Selamat pusing sebelum liburan!

Review lain tentang UK trip

Malindo Air&Qatar Airways Flights (with a toddler) to London

Virgin Trains to Manchester and Liverpool

Airport Transfer Ramah Koper (Paris, London, Tokyo)

(Frustasinya) Mengurus Visa UK Tier 5 Government Exchange (PBS Partner+Child)

Posted in Review, Travel, Visa

(Pusingnya) Mengurus Visa UK-Inggris Kunjungan (Sekeluarga) Bagian I

Banyak ya kata dalam kurungnya.

Itu kata kunci yang selalu saya cari selama berhadapan dengan pengurusan visa Inggris ini dan ngga ketemu satu pun. Seperti review-review sebelumnya dan seperti biasa, karena ngga ketemu apa yang saya cari, makanya saya tulis.

Pengurusan visa Inggris ini sudah banyak sekali yang tulis. Tetapi, umumnya adalah individu, pelajar, atau pelajar yang akan bawa keluarga. Saya perlu yang hanya untuk kunjungan jangka pendek (6 bulan), dan untuk keluarga.
Sebenernya memang hampir ngga jauh beda dari segi dokumen yang disiapkan jika pergi sendiri. Tapi, beberapa artikel saya baca, ada di dalam satu keluarga, yang lain visa dikabulkan sementara ada satu anggota yang tidak.

Hampir semua entri tentang visa Inggris yang ada di halaman pencarian, saya baca satu per satu. Beberapa entri bahkan saya baca lebih dari sekali. Saya cari dengan berbagai kata kunci. Garis besar informasinya sama, tapi banyak hal-hal kecil yang berbeda dan buat saya ini sangat membantu. Semakin banyak baca, paling ngga keyakinan saya jadi lebih kuat.

Visa ini hal kedua paling ribet setelah pencarian tiket. Berbekal pengalaman (dan kesuksesan) mengurus visa Schengen sendiri, saya (awalnya) merasa kalo Visa Inggris ini ngga jauh berbeda.

Ternyata salah.

Visa Inggris, buat saya, dua ato bahkan beberapa kalinya mengurus visa Schengen dalam berbagai hal, dalam konteks yang kurang menyenangkan. Pengalaman mengurus visa Schengen sudah pernah saya tulis di sini.

Itulah kenapa kata dalam kurung pertama itu ‘pusing’ bukan ‘gampang’.

Untuk dokumen kurang lebih yang disiapkan sama seperti Schengen. Saya akan tambahkan perbedaan dengan Schengen per dokumen dengan cetak tebal.

1.Paspor yang masih berlaku dan Fotokopinya

Paling aman itu masih berlaku 8 bulan. Halaman yang difotokopi adalah halaman depan dan yang sudah terisi dengan stempel visa lain atau cap imigrasi.

Tidak seperti Schengen, visa Inggris mempunyai layanan prioritas yang artinya paspor dapat kembali lebih cepat dari waktu standar (visa belum tentu dikabukan). Jika ingin menggunakan layanan prioritas, fotokopi paspor HARUS SEMUA HALAMAN, biarpun tidak ada isinya.

2. Paspor lama dan Fotokopi

Sertakan paspor lama dan fotokopi halaman yang ada isinya, jika memang punya paspor lama.

Pada saat penyerahan berkas, paspor lama dan paspor baru ditahan.

3. Surat Keterangan Kerja/Sekolah

Saya dan ayah saya menggunakan surat keterangan kerja. Suami saya yang masih dalam pendidikan spesialis agak sedikit berbeda.

Tidak seperti visa Schengen yang lalu, untuk visa Inggris ini, suami saya yang saat ini masih mengikuti pendidikan dokter spesialis, tidak melampirkan surat keterangan sekolah dari departemennya. Sebagai gantinya, suami saya melampirkan tiga dokumen lain :

Surat Tanda Registrasi yang berlaku selama pendidikan spesialis (fotokopi).

– Surat Izin Praktek selama mengikuti pendidikan spesialis (fotokopi dan terjemahan).

– Surat penerimaan pendidikan spesialis (fotokopi dan terjemahan).

Kenapa malah lebih banyak? Ini sama sekali bukan persyaratan. Ini lebih dikarenakan minta surat keterangan dan tanda tangan kepala departemennya lebih ‘repot’ dibandingkan dengan menyiapkan tiga dokumen tersebut. Menurut saya sih, ya lebih gampang minta surat ya. Ngga perlu ribet terjemahin juga. Tapi, Alhamdulilah ngga ada masalah dengan dokumen yang dilampirkan.

4. Bukti Keuangan

Untuk dokumen ini, seperti visa Schengen yang lalu, saya hanya melampirkan surat referensi bank dan print out rekening koran.

Karena kami pergi dengan ayah saya, dan di aplikasi ini dicantumkan bahwa ayah saya adalah sponsor utama, maka surat referensi bank dan fotokopi rekening koran sponsor utama ada di setiap aplikasi anggota keluarga. Cukup fotokopinya dan aslinya ada di dokumen sponsor utama.

Saya tadinya ngga mau mencantumkan referensi bank saya. Cuma, karena saya pikir saya pergi sekeluarga, masa ngga ada satupun bukti keuangan keluarga saya. Meskipun memang di aplikasi kami bertiga saya cantumkan bahwa ayah saya yang menanggung hampir seluruh biaya perjalanan. Saya mencantumkan satu surat referensi dan bukti rekening koran.
Untuk jumlahnya, memang ngga ada jumlah wajib. Tapi memang sebaiknya dipikirkan jumlah yang pas untuk bepergian sekeluarga selama hari yang dihabiskan disana.

Jangan sampai total biaya yang dihabiskan untuk sekeluarga lebih besar dari jumlah yang tertera di rekening koran.

Seperti halnya pada saat visa Schengen, saya (dan ayah saya) tidak melampirkan slip gaji.

5. Bukti pemesanan tiket

Ini sama seperti Schengen, tinggal print bukti jadwal penerbangan pulang pergi. Untuk ini, semua tiket sudah dibeli.

6. Bukti pemesanan akomodasi

Seperti saran-saran lain pada umumnya, untuk pengurusan visa yang membutuhkan alamat jelas dan lengkap untuk dicantumkan pada aplikasi, lebih mudah jika melakukan pemesanan terlebih dahulu di situs situs seperti booking.com atau agoda yang memiliki kebijakan free cancelation.

Yang harus diperhatikan adalah, selain kebijakan FREE CANCELATION, pastikan juga di sebelahnya juga tercantum NO PREPAYMENT NEEDED.

Belajar dari kesalahan saya, saya memilih hotel dengan kebijakan free cancelation, tapi tidak memperhatikan kalau yang saya pilih mencantumkan prepayment needed.

Jadi, ketika tagihan kartu kredit datang, ada charge berapa persen dari tarif malam pertama yang dikenakan. Seperti DP. Melayang sudah berapa ratus ribu yg berharga.

Kata Pak dokter, harga belajar buka travel😢.

Jadi sekali lagi, jangan lupa perhatikan ya. FREE CANCELATION yang NO PREPAYMENT NEEDED.

7. Dokumen pelengkap lain dengan terjemahan, jika dibutuhkan terjemahan.

Berbeda dengan Schengen yang tidak meminta terjemahan (saya urus di TLS Contact), visa Inggris menyatakan dokumen yang tidak dalam bahasa Inggris harus diterjemahkan, lebih spesifik lagi, dengan penerjemah tersumpah. Saya melampirkan :

a. Fotokopi KTP yang masih berlaku dengan terjemahan

b. Fotokopi Kartu Keluarga dengan terjemahan

c. Fotokopi Akte Kelahiran dengan terjemahan

d. Fotokopi surat nikah tanpa terjemahan karena sudah bilingual.

Buat saya, dokumen-dokumen di nomer tujuh ini yang paling menyita waktu, biaya dan drama.

Sedikit cerita (biarpun emang udah panjang), dua minggu sebelum berkas visa masuk, ayah saya bilang kalo mau pergi bulan februari dan tanya apa bisa visa Inggris diurus sebelum atau sesudah dia pergi.

Saya setengah bete dan setengah panik karena kalo sebelum pergi, mepet, sesudah pergi terlalu lama. Visa Inggris dengan layanan standar perlu waktu 15 hari kerja. Kalo sesudahnya memang masih ada waktu, tapi terlalu lama buat saya. Bikin jadi ngga bisa mastiin apa-apa.

Akhirnya diputuskan diurus sebelum pergi yang akibatnya dokumen-dokumen harus disiapkan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.

Penerjemah tersumpah yang kami hubungi pertama adalah karena alasan tarifnya jauh lebih murah dari yang lainnya. Dengan dokumen sebanyak ini, sangat membantu sekali. Meskipun murah, saya juga ngga asal pilih. Penerjemah ini ada di daftar penerjemah tersumpah yang dikeluarkan visa4uk.

Saya kirim semua dokumen yang akan diterjemahkan via email pada hari Juma’at dan disanggupi akan selesai pada hari Rabu depannya setelah jam makan siang.Pada hari dan waktu yang sudah ditentukan, saya hubungi beliau dan tidak ada respon. Bukan hanya saya, Pak dokter pun juga ikut menghubungi. Email, telpon, sms, semua tidak ada yang dibalas.

Perjanjian visa kami pada hari Jum’at sedangkan itu sudah rabu sore. Sangat mustahil untuk bisa mendapatkan penerjemah lain yang bisa menyelesaikan dokumen sebanyak itu selama satu hari. Selain itu, biayanya pasti ngga murah dan juga kalau tiba-tiba yang pertama muncul dan bilang sudah selesai, malah nanti jadi bayar double yang ngga perlu.

Kamis pagi kami coba terus hubungi, tetap ngga ada kabar. Saya sambil terus cari info apa mungkin visa ditolak karena ngga melampirkan terjemahan ktp, kk, dan akte. Saya ngga bilang kalo diterjemahin pasti dapat yaa, tapi setidaknya dengan melengkapi selengkap-lengkapnya paling ngga menghilangkan kekhwatiran akan ditolak hanya karena ngga melampirkan dokumen terjemahan. Setengah frustasi karena hal sederhana seperti ini.

Saya ngga masalah kalo memang belum selesai, cuma minta paling tidak kasih kabar.

Akhirnya, pada Kamis pagi saya menghubungi penerjemah lain yang sangat responsif dengan harga normal hampir tiga kali yang pertama. Saya memilih satu dokumen terpenting untuk diterjemahkan dan selesai pada hari itu juga, yaitu surat penerimaan spesialis.

Selain responsif, harga penerjemah kedua ini juga progresif. Karena saya minta selesai pada hari itu juga, saya dikenakan tarif ekspress. Harga normal sudah tiga kali penerjemah pertama. Harga tarif ekspress adalah dua kali tarif normalnya.

Karena ngga punya pilihan dan ngga mau ambil resiko, saya iyakan. Dijanjikan akan selesai sekitar jam 4 atau 5 sore.

Jam 14.45, satu email masuk ke inbox suami saya.

Penerjemah pertama menyampaikan bahwa semua dokumen telah selesai dan bisa diambil.

Selang lima menit, sebuah email masuk ke inbox saya.

Penerjemah kedua menyampaikan dia sudah selesai dengan dokumen

Kesimpulannya : ada harga, ada hasil kerja dan cara kerja. Terjemahan penerjemah kedua jelas lebih bagus. Kalo penerjemah pertama minta dibayar sebelum bekerja, penerjemah kedua minta dibayar setelah selesai bekerja.

Kalo boleh milih, saya pilih ketentuan harga yang pertama dengan hasil kerja dan kecepatan yang kedua.

Alhamdulillah, pada waktunya, semua dokumen yang perlu diterjemahkan didampingi terjemahannya pada saat penyerahan berkas.

8. Pasfoto 3,5×4,5 cm

Kami cetak masing-masing dua lembar, tidak satupun foto diambil dan terpakai oleh petugas VFS Global untuk aplikasi visa. Patah hati udah cape-cape cetak foto (lumayan mahal).

Kira-kira itu dokumen yang perlu disiapkan dari pihak pemohon. Sebenernya ngga seribet itu sih, cuma emang perlu waktu. Jadi, memang akan baik sekali kalo ngurusnya ngga mepet. Kecuali memang mau ambil layanan prioritas.

Saya akan bagi dua bagian karena sudah terlalu panjang. Lanjut di bagian dua untuk aplikasi.

Posted in Books, Maternité, Review

Review Buku : Bringing Up Bébé by Pamela Druckerman

Ini pertama kalinya saya mereview buku. Buku parenting yang udah cukup lama saya baca sinopsisnya tapi belum baca lengkap. Dua hari ini internet rumah bermasalah jadi ngga bisa nonton korea. Tumbennya, saya ngga terlalu grasa grusu minta dibenerin kaya biasa. Malah sibuk cari bacaan dan inget ini.

Buku ini menceritakan Pamela, seorang ibu Amerika yang tinggal di Paris melihat bahwa orangtua dan anak-anak Prancis itu berbeda dengan anak-anak dan orangtua di Amerika. Pamela mengamati bahwa anak-anak Prancis sudah tidur sepanjang malam di tiga bulan usia mereka, makan dengan baik, makan segala jenis sayuran, jarang tantrum, bisa menikmati waktu mereka sendiri tanpa harus ditemani orangtua terus menerus dan masih banyak lagi.

Di buku ini dijelaskan bahwa orang Prancis itu punya standar yang SAMA tentang cara mereka mengasuh bayi. Seperti kurikulum yang terstandarisasi secara nasional, dipakai satu negara. Ngga ada yang namanya parenting expert atau aliran-aliran yang berbeda, semua menjalani hal yang sama. Ngga ada beda pola asuh sama mertua karena ya semua menjalani hal yang sama.

Perkenalan di buku ini dimulai dari pengamatan Pamela tentang bagaimana anak-anak Prancis bersikap ketika makan di restoran. Dia membandingkannya dengan anaknya sendiri. Dia melihat anak-anak Prancis duduk tenang di high chairnya, ,menunggu makanannya, dan menghabiskan makanan mereka dengan tenang. Hal ini dia amati bukan pada satu dua orang. Dari cara makan ini, Pamela mulai memperhatikan hal-hal lain dan menyadari, orangtua Prancis ini melakukan sesuatu yang berbeda dari orangtua Amerika yang dia tau.

Pertanyaan pertanyaan seperti bagaimana anak Prancis bisa makan sayur tanpa paksaan, mereka hanya makan pada saat waktu makan dan tidak ada atau hampir tidak ada jam snack, anak-anak terlihat gembira dan orangtua mereka sangat atentif, bayi sudah tidur sepanjang malam sejak usia tiga bulan, anak-anak Prancis tidak tantrum sedangkan anaknya adalah satu-satunya yang melakukan itu ketika di taman, dan masih banyak lagi.

Semakin menggali dan bertanya, Pamela menemukan bahwa orangtua Prancis tersebut tidak merasa melakukan sesuatu yang istimewa dan hampir semua orangtua yang dia temui pun melakukan hal yang sama. Para orangtua di Prancis dapat mengatur bagaimana mereka terlibat tanpa jadi terobsesi terhadap anak mereka. Mereka sangat menyadari bahwa orangtua tidak harus selalu menjadi ‘pelayan’ anak, bahkan sedari mereka kecil.

Saya sudah 2 tahun jadi ibu dan mempraktekan duluan isi buku ini bukan karena lebih tau dari penulisnya, tapi karena dibesarkan dengan cara yang sama oleh ibu yang menghabiskan lebih dari 35th hidupnya dengan budaya Prancis yang kuat. Termasuk cara mendidik anak.

Ini terdengar ngga meyakinkan karena ketika saya jadi ibu, ibu saya sudah ngga ada. Saya menjalani hal yang sama dengan bekal semua ingatan tentang banyaknya obrolan dengan ibu saya. Makin ngga meyakinkan karena seberapa banyak sih bisa ingat buat praktekin semua?

Jawabannya : banyak, karena cuma sedikit.

Ide besar french parenting ini cuma dua. Ada DUA hal utama yang dijalankan oleh seluruh orangtua di Prancis yang mana dua hal tersebut merupakan dua hal dasar yang harus dikuasai anak sejak bayi. Dua hal paling penting yang sangat berpengaruh ke banyak hal dalam hidup, hingga dewasa.

Makan dan tidur.

Dua hal utama ini juga hal saya terapkan :

1. Jadwal waktu dan tempat tidur.

Bayi diajarkan untuk tidur sendiri sejak dia pulang ke rumah dan setelah tiga bulan mereka sudah bisa tidur semalaman tanpa terbangun.

Seperti yang ada di buku, anak saya tidur di kamar sendiri dan di tempat tidur sendiri sejak dia pulang ke rumah. Kalau kamar sendiri agak sulit, seminimal-minimalnya adalah tempat tidur sendiri.

Buat saya, tiga trimester pertama ngga ada apa2nya dibanding trimester ke 4 alias tiga bulan pertama. Dengan bantuan yang waktu itu cukup minim, hal yang paling logis dilakulan adalah memudahkan diri sendiri dan cara ini salah satunya.

Dengan tidur sendiri di kamar sendiri, sangat membantu buat saya yang menganggap tidur malam cukup itu adalah separuh dari kesehatan jiwa. Kalo waktu dan tempat tidur ini ngga saya terapkan dari awal, mungkin trimester lima dan seterusnya akan sama ngerinya.

Setelah tiga bulan, jarang sekali saya bangun tengah malam. Seperti yang ditulis di buku ini, kalo nangis biasanya saya ngga langsung dateng. Tunggu dulu. Kalo masih nangis baru diliat, bukan diangkat. Di puk2 dulu. Biasanya berenti tidur lagi. Kalo ngga berenti juga baru dicek popoknya basah atau ngga. Kalo basah ganti. Kalo ngga puk-puk lagi sampai tidur.

Sekali lagi, ini adalah dalam kondisi normal bayi sehat ya. Karena ada masanya bayi mengalami growth spurt atau memang lagi sakit.

Belajar tidur sepanjang malam ini dilakukan secara bertahap Bayi menyusu tengah malem wajar di beberapa minggu sampai bulan pertama. Tapi bisa dilatih dengan mulai kasih interval. Awal-awal dua jam sekali, pelan-pelan naikin jadi tiga-empat jam sekali. Lalu jadi lima-enam jam sekali. Lama-lama akan tidur sepanjang malam setelah tiga bulan.

Ini agak sulit karena pasti resah denger bayi nangis dan orang Indonesia itu ngga tegaan. Di sini baik bayi dan orangtuanya sama-sama belajar. Si bayi belajar untuk menidurkan dirinya sendiri, orangtuanya belajar mengenali jenis tangisan bayinya. Dua-duanya belajar menahan diri buat menghadapi PR masing-masing. Kalo tiap nangis diangkat, orangtua merusak proses belajar bayinya.

Apa sih kok bayi disuruh belajar menahan diri?

Proses belajar tidur yang ngga tuntas ini efeknya akan terlihat di jangka panjang. Anak-anak yang kurang bisa mengendalikan emosi, cepat menyerah dan berhenti ketika mengalami kesulitan, ngga sabar melakukan sesuatu sampai selesai, dan ini akan terbawa hingga dewasa.

Setelah tiga bulan, semua lebih mudah karena jadwal dan jam biologisnya sudah terbentuk. Shift saya selalu mulai di jam 4 pagi dan berakhir di jam 8 malam maksimal. Di atas jam 8 waktunya saya istirahat. Ini berlaku di manapun, termasuk liburan. Juga sangat memudahkan sekali ketika sudah masuk usia sekolah. Ngga pernah ada cerita saya nungguin begadang.

2. Makan

Banyak sekali di post sebelumnya saya menjelaskan bahwa makan adalah satu hal paling penting yang tidak bisa ditawar. Sejak Langit mulai makan, apapun keadaannya, kata tidak mau makan ngga ada di kamus saya. Ngga suka satu, saya akan ganti yang lain. Makannya lama, saya tunggu (sambil marah-marah). Selain itu, Langit harus makan apa yang disediakan. Di usia 10 bulan saya mulai mengenalkan merica, ,di 11 bulan Langit mulai makan cabe merah, dan makan seperti yang orang dewasa makan. Langit tau dimana dia harus duduk ketika makan, dan tau makan hanya selesai ketika piringnya kosong. Sampai hari ini, saya belum pernah mengalami gerakan tutup mulut yang terkenal itu.

Bukan karena sekedar persisten, tapi juga karena rasa. Seperti yang dijelaskan di buku ini, anak-anak Prancis telah terbiasa sedari awal terpapar dengan banyak macam rasa. Sayur, buah ,karbohidrat, protein. Itu juga yang saya lakukan. Buat saya, bayi itu seperti orang dewasa, apa enaknya makan makanan hambar bukan? Garam bukan satu-satunya penambah rasa. Ada banyak pengganti garam, yang alami. Langit terbiasa dengan rasa yang kuat. Makanan gorontalo seperti kua bugis, garo, bilandango, iloni, atau apapun itu punya rasa yang kuat.

Tapi, bukan berarti tidak makan yang hambar. Langit makan segala jenis sayur, dari yang di tumis seperti toge, sawi, atau sayur kukus seperti labu dan kacang panjang, atau yang berbumbu balado seperti pare dan terong. Langit juga tidak punya snack time khusus. Makan umumnya dilakukan pada jam makan.

Sejalan dengan hal ini, di salah satu keluarga yang Pamela wawancarai, ibu Prancis ini menganut prinsip makan adalah tentang mencoba berbagai rasa yang disediakan. Tidak masalah seberapa banyak yang anak-anaknya habiskan, tapi yang wajib adalah mencoba semua yang disediakan. Tidak ada istilah menu anak. Anak makan sesuai dengan yang orang dewasa makan, hanya tekstur disesuaikan. Tidak heran anak-anak Prancis tersebut sudah dapat membedakan berbagai jenis rasa keju, yang merupakan salah satu makan wajib di Prancis.

Ketika ada satu jenis makanan yang anak tidak suka, bukannya di stop tapi diberikan kembali dalam tekstur yang berbeda. Salah satu hal yang membuat saya tertawa adalah cerita Pamela tentang suaminya yang menghadiri acara dengan teman-teman kantornya. Suaminya memceritakan bahwa teman-teman lakinya tidak membicarakan wanita sama sekali. Mereka hanya membahas satu hal : makanan.😁

Selain tidur dan makan, ada satu hal penting lain yang harus diajarkan sejak dini oleh orangtua kepada anak-anak : menyapa Bonjour.

Satu bab di buku ini menceritakan tentang bagaimana menyapa dengan Bonjour adalah hal yang sangat krusial di Prancis. Hal ini bukan sekedar norma sosial, tetapi juga merupakan program nasional. Anak-anak Prancis bisa dimaafkan jika mereka belum bisa mengatakan tolong dan terima kasih, tapi tidak jika mereka lupa/sengaja tidak menyapa ‘Bonjour’. Mereka akan dicap sebagai anak yang tidak terdidik dengan baik.

Bab lainnya juga menceritakan betapa pasangan Prancis ini mengutamakan hubungan antara suami istri, dan mereka sebagai individu di atas anak-anak mereka. Sejak usia awal, anak-anak Prancis sudah masukan creche atau day care dan ibu mereka kembali bekerja. Adalah hal yang normal orangtua menitipkan anaknya ketika weekend,bisa kepada kakek neneknya atau baby sitter sementara mereka akan bepergian. Salah satu orangtua menerapkan ketik weekend, anak-anaknya tidak diizinkan untuk membuka pintu kamar orangtua mereka sampai orangtuanya sendiri yang membuka pintu kamarnya.

Salah satu pengamatan Pamela tentang orangtua Amerika yang menurut saya juga mirip sekali dengan banyak kasus di Indonesia adalah over-stimulating. Ia menjelaskan bagaimana seorang anak sudah dijejali dengan berbagai kursus olahraga,seni, dan skill kognitif lainnya sejak usai dini. Sedangkan orangtua Prancis sama sekali tidak melakukan hal tersebut. Satu kalimat yang paling saya ingat dan suka, “toddler job is clear, they’re toddling around,”.

Baca sampai bab 13, ngga berenti-berenti saya heran, kagum, seneng, dengan semua yang ditulis buku ini. Kenapa? Buku ini menjelaskan, menceritakan dan menjabarkan dengan detil hampir semua hal yang saya lakukan selama dua tahun jadi ibu yang ternyata sudah dijalankan oleh satu negara yang entah sejak kapan dan semua hal ini dijalankan berdasarkan riset. Bukan sekedar budaya yang ngga jelas akarnya.

Secara subyektif, saya jelas sangat menyukai buku ini karena hampir di seluruh babnya sangat relatable dengan yang saya alami, terapkan, dan puas dengan hasilnya. Metode ini berjalan baik untuk saya dan Langit. Meskipun saya kerja part-time dan kebanyakan nemenin Langit di rumah,saya punya waktu sendiri yang tidak terganggu. Saya menyediakan play yard supaya dia bisa bermain sendiri dan tidak mengganggu ketika saya di dapur misalnya. Saat ini, meskipun jarang main di play yard, kalo saya ingin istirahat saya biarkan dia main sendiri sementara saya tidur siang. Dan dia sangat ngerti untuk tidak ganggu. Kalo sudah cape,dia akan tidur sendiri di kasurnya.

Secara objektif, cover di buku ini menjelaskan bahwa bukan hanya saya yang bilang bagus. Ini merupakan salah satu New York Times best seller untuk buku parenting.

Kalo What To Expect saya anggap seperti buku petunjuk parenting dan perkembangan bayi di setiap bulan, Bringing Up Bébé ini seperti baca novel yang sangat enak dibaca, lebih lagi, karena sudah diterapkan, jadi sangat menikmati😊

Kalo mau baca sinopsis yang bahasa Inggris bisa ke link ini.

Semoga tertarik membaca ya buat (calon) orangtua😀!

My other Parenting Pensieve :

Go back

Your message has been sent

Warning
Warning
Warning
Warning

Warning.

Parenting Around the World

Lazy Parenting

Flash Back Parenting

Introverted Parenting

Parenting : a learning from the past

Posted in Places, Review, Travel

Turkish Airlines with A Toddler

The first intention is about writing a (good) review. However, since the service was not satisfying enough, so it will be just another story. More or less, it could be a review as well.

This trip was a bulk of reading one. The top three were about Visa, Air BnB, and … flying with a toddler. It scared me a lot whenever I thought about this bunny would spent eleven hours straight plus another four hours one being trapped up in the sky, without a proper bed.

We have never been anywhere outside Jakarta for a long period before. Being in a car for hours, I didn’t have any experiences with that. So, this trip was just like one big jump to the ocean without any proper training. So, all I could do was learnt the theories as much as I could.

Departure Flights

It was … disaster. A crazy like hell one. Ah, no, they were disasters. Both Jakarta-Istanbul Istanbul-Paris were pretty nightmare. Judging from the transit, it’s easy to guess which airline I flew with.

On the first flight, there were several babies on board. It was quite soothing. It took of on-time and for the first few minutes, it was okay. We got the bulk head seats, with configuration of 2-4-2. We got the two on the left. We had booked a bassinet, just in case, although the baby had exceeded the maximum height. We didn’t use it at all.

The baby was really restless although she was still sleeping. She cried with her eyes closed, then stopped, slept quietly, and then, it repeated again. We had been taking turn to soothe her. I breastfed her until I felt so exhausted.

While in the other hand, another problem of mine whenever flying, my skin around the mouth was irritated. It was so painful. I kept asking for water continously.

We tried any possible ways to soothe her, even by letting her slept on the plane floor since at home she always do that before we moved her to the bed. But, almost none worked. When she finally really woke up, it was quite better. At least, we could distract her to any other entertainments.

We watched some in-flight entertainments, not for long, we read books, magazines, singing, and of course, lots of breastfeeding session. At times, she was whining again and again. As far as I remembered, she didn’t sleep again until we arrived at Istanbul.

We were so relieved when the plane finally landed. We only had two hours before our connecting flight to Paris. It turned out two hours wasn’t that long. We went to the food court first. Burger King and orange juice were chosen to charge the body. We were heading to the gate right after that. When it was time to fly, I prayed so much it would end sooner.

It turned out that my pray wasn’t hard enough. The second flight was even a bigger torture for three of us. We flew with smaller plane which had 3-3 seat configurations, we didn’t get the front row ones, but the second, almost no space to move easily. Meal time was even more disastrous since we had to open the table with such small space while having a baby on our lap.

Above those all, the baby kept being so cranky and cried outloud. Worse, no other baby was on the plane. Another worse thing, we were stuck inside the plane before take off for almost more than an hour. I really wanted to cry so much and cursed this damn big bird for trapping us inside that long.

In my calculation, it would be only three hours flight since the schedule of arriving in Paris at 9.30. I really forgot about time differences between Istanbul and Paris where Paris was two hours behind Istanbul. So, it was actually five hours flight. Trust me, another two hours could have felt like the longest time of your life.

We were provided by two jars of baby food this time. The fruity one was safely landed in the baby’s tummy happily. We almost hadn’t had any sleep for another five hours. Just another shift taking turn to soothe and play with the baby. She wasn’t continously being cranky, there were sone intervals. Whenever the cry was on, those passenger eyes were fixed upon us and made us suffering more.

I couldn’t describe how grateful I was when we finally landed at Charles de Gaulle. Went through immigration and baggage pick up smoothly and safely, then finally sat in the comfortable taxi seat.

Watching the autumn scenery for the first time along the taxi riding, made me almost forget what I had just been going through for hours. We really survived first two long haul flights (disasters) and it was such achievements to be proud of.

Return Flights

Right after we settled in our apartment, we cleaned ourselves, took a bath, prayed, then did our first strolled around the neighbourhood. We did some groceries for tomorrow breakfast and bought the t-tickets for bus and metro. When we went around, I almost totally forgot and forgave everything that happened in those two flights. Things I saw by my own eyes might deserve such pain beforehand.

Fot the return flights, we chose evening flight from Paris which departed at 18.35 and it turned out a bit delayed. We learned better than the departure. We reduced our cabin carry, put the stroller to baggage, we brought spare food, chocolate, and snacks. Food was one of my baby’s soother. Food that she could eat by herself. Unlike the departure flight, I left rice behind. I brought indian curry chicken sandwich, cheese stick, small portion of rice, grapes which the baby loved a lot, almond chocolate, and cheese sticks.

When we took off, the baby was already quite sleepy. Thankfully, this time the plane was a big one with 3-3-3 seats configurations and it was quite empty. So the man next to us moved to the back where he enjoyed all three seats for himself.

When meal was distributed, the baby joined us. I didn’t know what happened, not for long after meal, she slept restlessly again and this time she felt somehow itchy because she kept rubbing her body. Some red spots were there and finally I agreed to let the husband gave the allergic medecine.

It wasa very right decision. Thanks to that, we all three had a quite good rest and sleep for some times. Until we arrived at Istanbul, the baby was still sleeping. We waited at one of the empty boarding room, where few people also had some rest. We put the baby on the chair where she could sleep as comfortable as we could afford. Until we took off again for Istanbul Jakarta flight, she was still asleep.

Didn’t really remember when she woke up. Since she had quite enough sleep, she woke up with a good mood. She ate the baby food, watched Secret Life of Pets almost a whole of it, playing here and there, snacking several times, and babling slash singing sometimes. We also changed her diaper.

The eleven hours return flight was much more bearable than the departure. The only dissapointing thing was about the interval of the meal. We were given a meal right after take off, then hot drink of ur own choices, and almond nut plus mineral water for snack. Then, it was actually sleeping time.

The sleeping time felt quite long for me and really made me hungry. When others starting to wake up, they looked quite anxious too and seemed looking if the food cart would come in short time. Le husband even proposed that we just bought it if they still didn’t give us any.

When we finally asked the FA, he said it will be given one and half an hour later. It was almost landing time and we had been starving for almost seven to eight hours. Sigh.

The baby also showed sign of hunger several times. But she still played happily. When finally the food came, they said it was breakfast and the main course was just scrambled egg. Second big sigh.

We safely arrived at Jakarta as scheduled happily, yet so tiredly.
————————-

If I compared my readings than the actual practice, toys didn’t really give much help but just a mess for me. Video songs and games were quite helpful. But, food was the most helpful ones. The baby enjoyed food a lot, so whether during the stay in Paris and during the flight, food really calmed her.

Survived those four departure and return flights were really something for me. While we’re still dealing with the jetlag until today, I have been thinking when I will be ready again to have another experience flying with a bigger baby.

Of course not within the short time. Let’s work hard once more until the next adventure.

Ah, flying with the one that we chose was not really recommended for long haul flights. Average food, average services, not much baby friendly. Teddy bear was given once and that was it. The FAs were not that charming too. In-flight entertainment was also not extraordinary.

Before I bought the tickets, I did make comparisons to other similar airlines. But yeah, money talked. To the closest price compared to this, the difference was about more than four millions, too much to be ignored for me. We could use those four millions for something else.

So, if the budget didn’t really strict, go with Emirates or Qatar. People said Etihad is quite good too.

But, whatever I had experienced, it was the one who brought me to my dream place in the end. Couldn’t be more grateful than that.

Thank you for having and sending me, guys. Improve your service better in the future!

Posted in Places, Review, Travel

Review : Air BnB 42 Boulevard Saint Germain, Paris

https://www.airbnb.fr/rooms/6903920
Air BnB adalah hal kedua setelah visa yang saya baca, baca, baca ( tiga kali biar mantep seperti perintah Al-Qur’an) dengan sangat intense. Setelah tiket dipesan, pencarian Air BnB langsung dimulai.

Sebelumnya, mungkin perlu sedikit digambarkan tentang Paris. Paris terbagi dalam dua daerah besar, right bank dan left bank yang mana keduanya ini dipisahkan oleh Sungai Seine. Daerah right bank lebih banyak turis dibanding left bank. Menurut bacaan saya, biaya hidup juga sedikit lebih mahal. Banyak atraksi dan tempat terkenal Paris letaknya di right bank seperti Eiffel Tower, Louvre, Arc de Triomphe, Bastille, Musée d’Orsay, dan masih banyak lagi.

Selain dibagi ke dua area besar, Paris juga terbagi ke dalam 20 area kecil yang disebut arrondisement. Pembagiannya adalah sebagai berikut : 1,2,3,4, 8,9,10,11,12, 16,17,18,19,20 arrondissement yang terletak di right bank, sedangkan 5,6,7, 13,14,15 arrondissement terletak di left bank.

Ada beberapa arrondissement yang lebih dikenal dengan nama khusus seperti Le Marais (4th arr), Batignolle ( 17th arr), Belleville (20th arr), Bastille (10th arr).

Awal pencarian Air BnB dimulai dari harga. Cari yang ngga terlalu mahal dan yang keluar di daftar kamar Air BnBnya adalah penginapan rumah atau apartemen yang letaknya cukup jauh dari pusat kota, seperti di 17,18,19,20 arr.

Liat ada beberapa yang menarik, sempet hubungin tuan rumahnya dan diberi pra persetujuan permohonan, tapi akhirnya ngga jadi diambil setelah baca lagi kalau tinggal di daerah yang cukup jauh dari pusat kota tidak terlalu menguntungkan. Banyak waktu terbuang hanya untuk nunggu bis atau metro.

Pencarian tahap kedua terus dilakukan dengan memfilter arrondisement yang dituju. Pilihan kedua ini adalah antara di 9,10,11,12, masih di right bank. Sengaja ngga cari diantara 1-4 supaya ngga terlalu turis banget ngga rame, dan ngga mahal. Ketemu beberapa, masuk wishlists, tapi ngga banyak yang saya hubungi hostnya.

Satu yang pasti saya jelaskan ke semua tuan rumah yang saya hubungi adalah bahwa saya akan bepergian dengan anak kecil dua tahun. Tidak semua menerima anak-anak. Di peraturan rumah kadang ada yang sudah mencantumkan tidak sesuai untuk anak usia 2-12 tahun. Jadi, selain area, filter utama yang saya gunakan di pencarian adalah terbuka bagi keluarga dan anak.

Selain filter, jumlah foto yang tersedia juga menentukan. Ada tuan rumah yang hanya mencantumkan tiga foto. Saya ngga tertarik biarpun harganya mungkin oke. Ada juga yang sampe 20an foto, bahkan 45! Semakin detil semakin enak. Jadi kita tau apa yang akan didapat.

Setelah beberapa lama, dan sampai akhirnya fix dipesan, pencarian Air BnB saya disempitkan di daerah 5,6,7, dan 15 arr. Kenapa? Karena dekat Grande Mosque de Paris yg terletak di 6 arr. Pikiran saya adalah akan lebih mudah cari makanan halal (yang ternyata setelah mengunjungi Grande Mosque, ngga terlalu bener juga).

5,6,7 juga terletak dekat Sungai Seine dan Notre Dame. Cita-cita saya pengen nongkrong dan bengong dekat Sungai Seine sambil liat Notre Dame. Alhamdulillah kesampaian.

Kalau 15 kenapa? Nah, saya pernah baca satu artikel, di 15 ini ada salah satu jalan yang namanya Rue de Commerce yang merupakan jalan penuh pertokoan kecil dengan harga yang ngga semahal kalo belanjanya di Champ Éllysées. Makanya saya agak ngotot cari disini. Ketemu beberapa tapi ternyata belum rejeki.

Setelah visa disetujui, beberapa hari kemudian akhirnya satu apartemen di Rue Cardinal Lemoine dipesan. Dari fotonya cukup oke, lantai dua, dekat jalan besar, banyak pertokoan, dekat stasiun metro, cukup oke dengan harga 650rb/ malem.

Setelah fix dipesan, saya mulai baca secara intensif tentang area ini. Ada satu yang saya kurang sreg dari Apartemen ini, hostnya ngga ada review. Sama sekali. Jadi agak khawatir juga sebenernya. Waktu juga udah makin dekat. Daftar wishlists semakin banyak yang tidak tersedia, sedangkan harga makin mahal juga.

Beberapa kali saya coba cari alternatif. Tapi ngga ada yang terlalu sreg banget. Ntah kenapa persaaan ada yang ganjel aja sama yang udah dipesan.

Dan, benar aja.

Seminggu sebelum tanggal keberangkatan, hostnya bilang ngga bisa nerima kita karena dia lagi bermasalah sama pemilik apartemennya. Ini pun kita tau karena kebetulan pocket wifi yang kita pesan harus dianter ke rumah. Jadi, perlu nomer kotak suratnya.

Waktu kita tau ini sudah jam 9 malem dan betul-betul panik. Rasanya ngga bisa mikir. Semua yang tersisa udah diluar kemampuan. Saya sambil komat-kamit baca doa terus ngga berenti nyari sampe jam satu pagi.

Hampir semua yang keluar di list harganya di atas sejuta dan itu bener-bener di luar budget dan kemampuan banget. Bisa sih ngutang pake kartu kredit, tapi saya ngga suka banget ngutang buat hal kaya gini. Abis pergi bayar tagihannya bikin ngga semangat.

Mungkin Allah itu ngambil sesuatu dari kita karena mau ganti yang lebih baik. Setelah ntah berapa puluh iklan diklik, tiba-tiba saya liat satu yang harganya masih masuk akal, di area yang saya mau, dan punya sekitar 8-10 review yang semunya bagus.

Langsung hubungin hostnya, langsung disetujui dan ngga sampe setengah jam, tempat baru terpesan. Baru bisa tidur.
——————

Pertama kali sampe di Boulevard Saint Germain, super happy. Liat cafe-cafe berjejeran, supermarket buat grocery, toko-toko kecil, apartemen cantik, bangunan-bangunan tua, ngga berenti senyum sendiri.

Sampe apartemen, bangunanya oke. Pintu masuknya berlapis. Tempat yang kita pesan di lantai enam. Satu kekurangan kecilnya adalah lift yang super kecil. Maksimal muat tiga orang dan cuma bisa berdiri lurus. Jadi, waktu bawa koper, saya dan Pak dokter ngga bareng. Karena ngga muat bawa koper gede sama orang. Biarpun kecil, tapi liftnya berfungsi dengan baik.

Masuk ke dalam kamar, semua terlihat rapi dan persis kaya di semua fotonya. Kalau menurut orang (sangat) kecil, menurut saya pas banget. Semua yang kita perlu ada disini. Terutama kita perlu ruang yang ngga banyak barang dan bikin kita beres-beres karena bayi yang suka geratak;)).

Di dalam kamar ini ada dua tempat tidur, satu double, satu single, dan yang okenya bukan sofa bed. Tapi tempat tidur beneran. Umumnya, sepanjang kita cari apartemen, kebanyakan pakenya sofa bed, bukan tempat tidur.

Ada lemari yang cukup besar, dapur kecil dengan dua gas listrik, pemanas air, coffee maker, tempat cuci piring, kulkas kecil dan peralatan masak lengkap. Meja makan lipat dan kursi tersedia juga. Kamar mandinya kecil dan bersih. WC, shower, wastafel, tentu semua dengan air panas.

Lampu tersedia hanya di tempat tertentu. Dua lampu neon di atas kompor listrik, dua lampu baca di masing-masing tempat tidur. Tidak ada lampu utama yang di tengah. Tapi, ternyata sangat menguntungkan. Jadi, kita hanya pake yang kita perlu. Karena ruangannya juga kecil, jadi ngga terlalu ngaruh ada lampu tengah atau ngga.

Laurent, orangnya yang mengurus apartemen ini, sangat oke (ganteng), respon cepat, dan sangat membantu. Kalo ada yang bilang Paris ngga ramah turis, Laurent orang pertama yang matahin itu. Kenapa pertama? Karena setelahnya saya ketemu berpuluh-puluh orang yang matahin pernyataan itu.

Secara keseluruhan, saya puas sekali tinggal disini. Cocok buat keluarga dengan satu anak kecil. Kalo dua anak, bisa juga mungkin, tapi ruang geraknya makin terbatas.

Jadi, kesimpulannya 42 Boulevard Saint Germain ini cocok buat yang ngga suka daerah terlalu turis (turis ada disini tapi ngga banyak), dekat beberapa stasiun metro, dilewatin banyak bis ke atraksi utama Paris, kalo malem tenang dan ngga berisik (sama orang mabuk, seperti waktu saya di Inggris), dan menyediakan semua yang dibutuhkan. Ngga lebih dan ngga kurang.

Kalo untuk foto, boleh liat di link paling atas. Karena kalo yang aktual, whoa, bikin ngga nafsu karena berantakan.
Semoga membantu (kalo ada yang membutuhkan).

Posted in Review, Travel, Visa

Mengurus Visa Schengen 2016 di TLS Contact

Hari ini adalah hari yang paling melegakan selama tiga bulan terakhir sejak kenekatan saya di bulan puasa lalu.

Hari ini adalah jadwal yang saya pilih untuk memasukan berkas permohonan visa saya di TLS Contact. Setelah tiga bulan berkutat dengan pengurusan berbagai dokumen yang menjadi syarat mengajukan visa Schengen, akhirnya insya Allah malam ini saya bisa tidur lega.

Lho? Emang udah pasti diberikan visanya? Ya jelas belum. Saya lega karena semua usaha yang bisa saya lakukan untuk sampai ke mimpi saya, sudah saya lakukan. Hasilnya diterima atau ditolak, selalu, untuk hal apapun, termasuk ini, saya selalu percayakan ke Yang Punya Segala Urusan.

Bisa sampai tahap ini, setelah bertahun-tahun, sudah kaya setengah mimpi jadi kenyataan untuk saya.

Okey, kembali ke topik.

Jadi, sebenarnya, dokumen persyaratan visa Schengen ini mau dibilang susah ngga, tapi memang untuk saya yang mulai semuanya dari awal, bahkan dari pembuatan paspor, rasanya jadi sangat panjang.

Dokumen yang dibutuhkan untuk mengajukan aplikasi visa Schengen turis adalah :

1. Formulir aplikasi visa

Formulir ini bisa diunduh lalu isi tulis tangan ATAU kalau sudah mengisi pendaftaran online, formulir ini akan otomatis terisi dengan data yang kita masukan, dan tinggal dicetak. Saya pakai yang kedua. Lebih rapi dan praktis.

2. Bukti print tiket pulang pergi

Negara tujuan saya pulang pergi sama.

3. Bukti pemesanan penginapan selama di wilayah Schengen.

Saya hanya melampirkan satu bookingan hotel di satu negara. Saya anggap saya hanya akan memgunjungi satu negara. Entah nanti ternyata berubah, biar jadi urusan belakangan. Supaya ngga ribet juga. Toh tiket saya pergi pulang dari negara yang sama.

Saya pesan salah satu hotel di booking.com yang ada tanda pembatalan gratis. Waktu pembatalan gratisnya sampai H-2 waktu check-in. Jika insya Allah visa dikabulkan, akan langsung saya batalkan.

4. Surat pernyatan Bekerja/Sekolah

Surat ini dikeluarkan dari institusi tempat kita bekerja atau bersekolah. Saya dengan surat keterangan bekerja, suami surat keterangan sekolah.

Untuk formatnya sudah kami buat sendiri dulu dalam bahasa Inggris, berdasarkan referensi dari berbagai artikel. Seandainya ada yang perlu boleh tinggalkan email di sini ya.

5. Surat referensi bank

Untuk bagian ini saya memberikan dua surat dari bank yang berbeda, yaitu BCA dan BNI. Sebenarnya satu aja cukup, tapi saya punya pertimbangan lain.

Banyak saya baca, salah satu penyebab kemungkinan visa ditolak ini umumnya karena keuangan yang ngga meyakinkan. Jadi saya mau antisipasi supaya lebih mantep. Repot sedikit biar deh.

Saya sangat merekomendasikan untuk buat surat referensi ini dari BCA. Sebelumnya, saya sudah baca-baca kalo ini membutuhkan proses 2-3 hari kerja dengan biaya 50.000.

Kenyataannya?

Dengan waktu kedatangan di tanggal tua dimana bank ngga terlalu ramai, di kantor cabang yang cukup besar dengan jumlah staf yang memadai, proses yang dibutuhkan dari saya parkir sampai masuk lagi ke mobil dengan surat referensi plus rekening koran tersimpan rapi dalam amplop adalah…. 20 menit.

Iya, 20 menit saja.

Saya super terkesan sekali dengan cara kerja bank ini. Efektif, efisien, dan semua terlihat bekerja sepenuh hati.

Untuk BNI, prosesnya agak sedikit lebih ribet jika dibanding bank di atas. Kita harus membuat surat permohonan dulu kepada pimpinan cabang bahwa kita memohon untuk pembuatan surat referensi bank yang akan diajukan untuk pembuatan visa apa, ke kedutaan apa dan untuk tujuan apa.

Suratnya boleh ditulis tangan, bisa dibuat langsung di depan customer servicenya juga. Waktu pemrosesan surat ini sekitar 3-5 hari kerja dengan biaya 150.000. Tiga kali lipat yang di atas.

Saya tetap memilih melampirkan surat dari BNI bukan karena kebanyakan uang juga. BNI sudah jadi tabungan utama saya sejak kuliah. Aliran rekening keluar masuk tiga bulan terakhirnya pun lebih meyakinkan BNI. Jadi, saya memilih buat dua surat.

Dana di masing-masing rekening ngga banyak-banyak banget. Total keduanya kurang lebih 60 juta dengan rasio di BNI sedikit lebih banyak. Dana di BCA saya itu dana titipan yang saya pinjam dari Ayah saya.

6. Rekening koran tiga bulan terakhir

Ini adalah catatan keluar masuk uang kita selama tiga bulan terakhir. Untuk BCA biaya print perlembar Rp 2500 sedangkan BNI Rp 1000/lembar.

7. Asuransi perjalanan

Saya membeli asuransi dar AXA Mandiri. Datang langsung ke AXA Tower di Kuningan City lantai 18. Biayanya 59 USD untuk asuransi keluarga selama 9-10 hari perjalanan. Waktu hari saya datang jika dikurskan dalam rupiah Rp 764.000.

8. Pas Foto 3,5×4,5 sebanyak 2 buah

Kami buat foto ini di Mata Foto Matraman. Biaya cetak dan sebagainya plus CD untuk tiga foto adalah Rp 180.000.

9. Paspor baru yang masih berlaku minimal 8 bulan

10. Paspor lama, jika ada.

11. Kartu keluarga

12. Slip gaji 3 bulan terakhir (optional)

Slip gaji ini sifatnya optional. Tidak semua yang pergi adalah karyawan yang punya slip gaji setiap bulan, bukan? Termasuk saya. Jadi, waktu pendaftaran online saya pilih di kolom pekerjaan adalah freelancer. Meskipun saya bukan benar-benar freelancer juga. Di ringkasan data diri setelah selesai mengisi semua item pendaftaran online akan tercantum di bagian pekerjaan ‘liberal profession’.

Menurut petugas TLS Contactnya pun ini tidak terlalu diperlukan selama ada rekening koran. Tapi, seandainya memang ada, akan lebih baik lagi. Di lembar dokumen ceklis saya dicantumkan bahwa slip gaji tiga bulan terakhir ‘Not available’ agar tidak dianggap dokumen yang kurang.

Untuk anak dibawah umur seperti Langit juga harus ditambahkan :

Akte kelahiran dalam bahasa Inggris. (Sekarang akte sudah ada bahasa Inggris di bawahnya, jadi ngga perlu repot cari penerjemah)

– Surat nikah kedua orang tua.
Semua dokumen ini perlu disiapkan asli dan fotokopinya. Yang berbentuk surat-surat seperti referensi bank dan rekening koran hanya satu aplikasi saja yang perlu asli, sedangkan anggota pemohon lain tinggal lampirkan fotokopinya saja, tentu kalau mendaftar sebagai satu keluarga ya dalam pendaftaran online.

Hampir ngga ada yang sulit sebenarnya kalau melihat dari daftar dokumen yang diminta. Cuma mungkin cukup memakan waktu persiapannya. Terutama kalau untuk saya tentang uang yang akan tercetak di rekening koran.

Saya membuat janji untuk memasukan berkas setelah semua dokumen saya lengkap kecuali surat referensi bank. Ketika mendaftar online, paling tidak paspor, tiket, penginapan, dan asuransi perjalanan sudah ada, baru prosesnya dinyatakan selesai.

Dokumen hanya bisa dimasukkan ketika kita sudah mendaftar online. Setelah semua sudah kita isi, untuk semua anggota keluarga yang akan berangkat, baru muncul pilihan kedatangan untuk pengumpulan berkas.

Pilihan tanggal ini hanya akan keluar jika sudah mencapai 90 hari dari tanggal kedatangan kita di negara Schengen. 90 hari persis ya. Bukan berdaasarkan tanggal yang sama, seperti mau berangakat tanggal 1 Oktober berarti sudah bisa pilih tanggal 1 Agustus.

Saya memilih tanggal 30 Agustus jam 9.00 pagi. Memilih pagi dikarenakan seandainya ada dokumen saya yang kurang, saya masih punya waktu melengkapi atau memeperbaiki di hari yang sama agar tidak harus membuat janji lagi.

Saya datang bertiga dengan waktu yang agak mepet. Sampai sana jam 8.45, setelah disuruh tunggu sebentar kemudian masuk lalu diarahkan ke sebuah loket. Tulisan di loketnya ‘Pengambilan Paspor’ tapi disana juga sekaligus tempat kita meminta kunci loker untuk menyimpan semua gadget yang kita bawa. Hp, tablet, ipad, tidak boleh masuk.

Setelah selesai, ada gerbang kecil dimana kita diminta paspor untuk verifikasi tanggal kedatangan. Setelah itu kita menunggu di ruang tunggu, sampai nama kita muncul di layar TV untuk masuk ke counter mana. Layar TV ini hanya menampilkan tanpa suara. Jadi harus diperhatikan.

Pada hari saya mengurus visa, keadaannya cukup penuh tapi ngga sesak. Kebanyakan orang mengurus melalui agen. Ketika nama kita muncul di layar, jika kita mengurus melalui agen, hanya agennya yang maju ke counter. Karena saya mengurus pribadi, saya maju dan duduk, sementara Pak Dokter berdiri gendong Langit.

Saya ngga banyak ditanya oleh petugas counter yang saya dapat. Pengecekan dilakukan cepat dan teliti. Setelah ketiga bundel berkas selesai diberi tanda bintang ungu, lalu diberikan cetakan bahwa dokumen kami semua lengkap. Keluar dari counter, dada saya ringan sekali.

Setelah itu kami menuju kasir untuk melakukan pembayaran. Total untuk dua orang berdasarkan kurs hari itu adalah Rp 2.592.000. Anak di bawah umur 6 tahun masih gratis.

Setelah loket kasir lanjut untuk pengambilan data biometrik yaitu foto dan sidik jari. Prosesnya hanya sekitar lima menit. Setelah itu selesai deh semua.

Semua petugas dari sekuriti sampai agen-agennya semua ramah. Sangat membantu dan jauh dari bikin takut.

Saya sampai di kantor TLS Contact Menara Anugrah lantai 3 jam 8.45, saya keluar dari basemen parkiran mobil jam 10.20. Jadi kurang lebih semua prosesnya 1,5 jam termasuk waktu nunggu. Bisa lebih cepat tentunya.

Review ini sebenarnya cukup banyak, cuma rata-tata di tahun 2013-2014. Selama beberapa bulan ini saya baca satu per satu.

Tidak seperti review lainnya, saya ngga menyebutkan ke negara mana saya akan pergi. TLS Contact adalah agen visa untuk beberapa negara Schengen. Untuk jelasnya negara mana aja, boleh dibuka websitenya.

Masih belum boleh disebut karena buat saya ini lebih dari sekedar pergi atau berlibur. Ada cerita panjang sampai akhirnya saya bisa ada dan melakukan yang saya lakukan hari ini.

Mungkin setelah visa ditempel di paspor saya, baru insya Allah mungkin ada cerita lain.

Semoga cukup membantu bagi yang mau mengurus visa di TLS Contact dalam waktu dekat ya.

Keputusan visa bisa dibaca di sini

Review lain tentang Paris trip :

Review : Air BnB 42 Boulevard Saint Germain, Paris

First Long Haul Flights with A Toddler by Turkish Airlines

Airport Transfer Ramah Koper (Paris, London, Tokyo)

Posted in Favorite things, Review, Travel

Flights to and From Kuala Lumpur

I had this question quite often from close relatives who would like to go to Malaysia for the first time. Most of them think about Air Asia when it comes to cheap price, which is something I don’t (really) agree.

During 1,5 years of master study there, I went back and forth from both Jakarta and Kuala Lumpur 10 times. The very first thing I did once I had the fix schedule of all lectures was searching for the cheapest flight back home. All tabs in my laptop were about all airlines websites. Did I buy it straightly?

Of course, NOT! 

I brought those fare comparison to my dream first. Even for days. I rechecked them every day for few times because the fares changed depends the time you checked it. For a stingy student like me, it was sensitive. Being hesitate whether to buy now or later. Imagining it wherever I went. Then, cursed myself when I saw the second time the price was higher. Such a true masochist.

After so many times doing like that,  I really found that some airlines were truly cheaper than Air Asia. In fact, Air Asia became my very last choice among other airlines. The ticket price only was maybe cheap, but, once you continued your booking, other cost kept piling up and at the end of your booking, voila! That will be very far from cheap.

So, here’s my preference from the most to the least :

1. Lion Air

SURPRISE!! When domestically Lion Air is known to be the master of delay, I didn’t find it for several times I fIew with them. I found Lion Air had a flight to Kuala Lumpur ( or Jakarta) accidentally. It had been a hard battle inside my mind when two airlines which I regularly used gave me an expensive total fares for my pocket. Even after several days, it didn’t change much. 
I just read a tweet several days ago saying ‘Price is the only tool that is able to make people realize they have another choice or they have to find one’. It is very true. Those airlines fares which I think too expensive made me search for other options. Then, instead of one, I found two other options. Lion air is one of them.

The best thing about Lion Air, it shows you directly the total price and with that price comes 20 kg of baggage allowance. No need to pay additional cost. It was very agreeable for me. Even more, they were truly good value for your money. I often got as cheap as IDR 350.000 one way from Jakarta to Kuala Lumpur. It costs the same like you fly to some cities in Java.

The second best thing about Lion Air is they depart from KLIA, not LCCT. It has the price of Low Cost airline, but they depart from high cost airline airport. 

Recently, as far as I know, LCCT does no longer exist. They replaced it with KLIA 2.

Third and the last, few times flying with them, I never once experienced any delays. It was very punctual and more, the aircraft was big and clean. Guess it was new.

So, for all those three reasons, Lion Air is on my top of list.

2. Malaysian Airlines

This one is one of the regular that I often use. Before knowing how much cheap the fare between two cities, I used to think MAS was very cheap. When we first went there with my mum and sister, I found IDR 750.000 was a very good deal. Only after that I found out, it became the most expensive fare I paid among all my trips.

But, surprisingly, if you are persistent enough to regulary check their website, you can find a very shocking price like I once had. I once got the ticket price from Jakarta to Kuala Lumpur at IDR 75.000. YEP, three zeros only. Not even reach 10 USD. As for the total fares, it became IDR 239.000. See, it was a very very good deal. 

Of course, MAS departs from KLIA and it has a lot of check in counters.  The aircraft might not as big as Lion as far as I remembered, the leg room was quite narrow too. One thing is an advantage from MAS, they have lots of schedules in a day. My mum once was late for check in  for 7 am departure and she couldn’t fly with her originally booked flight. Then, the check in staff simply changed it to the next flight schedule at 9 am. No additional charge, no grumpy face scolding us for being late. A very good service. Overall, it’s good.

3. Air Asia

Here’s the cheap airline which often turns out to be not cheap at all. Even start from the ticket price only, it wasn’t that cheap. You have to pay more for baggage according how many kilos that suitable for your belongings. After that, you pay for your seat, which is something that I think it’s a bit ridiculous. Do they expect us to stand up during the flight?

The aircraft is far from spacious, the seat is not really comfortable, and they depart from LCCT. Unlike KLIA, LCCT was an airport who looks like a bus terminal. Not my preference. Well, overall, it was just fair. 

4. Tiger Airways

I found this when I found Lion Air. It was pretty similar with Air Asia. You pay for your baggage and seat. The price was slightly cheaper. I only tried this once or twice maybe. I didn’t feel too comfortable with this although there was no problem at all during the flight. It also departed from LCCT.

Actually, there were other two airlines at that time, Garuda Indonesia and KLM. But, both were out of my league. Hence, I left them.

So, if anyone ever ask me which one to choose, you surely know the answer.

Posted in Review, Travel

(Kantor) Imigrasi Ramah Bayi

Tempat review kali ini mungkin kurang umum. Bukan tempat makan, sekolah, tempat bermain, atau rumah sakit. Saya ingin sekali memberi kredit untuk tempat yang pelayanannya layak ditulis dalam satu tulisan sendiri yang siapa tau bisa bermanfaat untuk yang lain.

Namanya Imigrasi. Nama lengkapnya Imigrasi Jakarta Timur. Dari namanya sudah jelas apa tujuan saya datang kesini. Dua kali kamis ini saya menghabiskan hampir seharian di tempat ini. Kamis lalu untuk urus paspor saya, Kamis ini untuk Langit. Pak Dokter minggu lalu di hari Jumat.

Kenapa beda-beda? Karena saya punya pertimbangan sendiri. Saya sengaja bikin janji duluan supaya tau medan. Berurusan dengan Imigrasi terakhir tahun 2008, terus terang bikin takut. Waktu itu masih sama ibu. Sekarang sendiri. Jadi, saya pikir akan lebih baik kalo saya liat dulu. Pak Dokter ngga bisa juga ijin sembarangan, kalo ada dokumen yang kurang atau salah, agak sulit untuk bolak balik.

Saya sudah daftar online dulu sebelumnya, untuk kami berdua. Setelah daftar lalu bayar ke BNI. Oya, banyak yang ga tau kalo pembayaran imigrasi ini BISA LEWAT ATM. Jadi, ngga perlu antri. Cuma harus pastikan struknya keluar ya. Tinggal pilih menu pembayaran, pilih imigrasi, masukan kode bank yang didapat dari registrasi online nanti nama kita akan keluar. Beres.

Nanti setelah bayar, balik ke pendaftaran online tersebut, masukan kode pembayaran, lalu pilih tanggal kedatangan. Setelah itu kita akan dikirimi email yang harus diprint sebagai bukti pada saat tanggal kedatangan.

Sebelum datang ke imigrasi, pastikan semua dokumen yang diperlukan sudah difotokopi A4 TANPA DIPOTONG dan bawa semua dokumen asli. Cuma perlu tiga, KTP, Kartu Keluarga, dan Akte Kelahiran. Akte bisa diganti dengan Ijazah. Oya, jangan lupa bukti pembayaran bank. Fotokopi ukuran A4 juga ya.

Untuk anak dibawah umur seperti Langit, yang harus disiapkan agak lebih banyak. Kartu Keluarga, KTP ayah ibu, surat nikah, dan akte kelahiran, dan bukti pembayaran. Semua beserta fotokopinya. Langit pun saya daftarkan online. Supaya saya ngga ribet nulis-nulis disana.

Di tanggal kedatangan yang kita pilih, datang antara jam 8-10 untuk nomer antrian. Di Imigrasi Jaktim begitu masuk, jalan menuju belakang gedung, disana ada pembagian formulir. Antrian terbagi tiga : manual, online, prioritas. Kamis lalu saya masuk antrian online, kamis ini saya masuk antrian prioritas. Prioritas diperuntukkan bagi yang mengurus paspor anak-anak dan lansia.

Kamis lalu, saya bolak-balik tiga kali. Iya, tiga kali dalam satu hari. Saya datang pagi sampai sana jam 8.20. Antri untuk foto, lalu pengecekan berkas, lalu wawancara dan sidik jari. Antrian paling lama ada di yang ketiga. Nomor antrian saya terpotong waktu istirahat. Jadi, saya pulang dulu untuk kasih makan Langit dan kembali ke imigrasi bawa bayi. Paginya saya nyetir sendiri, siang saya naik taksi.

Antrian ketiga memang paling lama karena ada dua, pengecekan berkas dan wawancara serta sidik jari. Jadi, ada dua lapis, yang kursi depan berkas-berkas kita akan dicek. Beneran dicek, bukan asal lewat. Lalu duduk lagi nanti dipanggil untuk wawancara dan sidik jari. Oya, juga foto untuk paspor kita.

Kalau datang pagi sekitar jam 7, kemungkinan selesai setengah hari sangat besar. Pak Dokter di hari jumat jam 6 sudah disana. Jam 10 sudah selesai semua. Khusus hari Selasa dan Jumat, Imigrasi Jakarta Timur punya Early Morning Service yang dimulai dari jam 6 pagi.

Dibandingkan tahun 2008 saya ke imigrasi, pelayanan dan fasilitas imigrasi benar-benar berubah 180 derajat. Bahkan pendaftaran online antara tahun 2013 dan tahun 2016 sudah jauh lebih mudah. Ngga perlu scan dokumen apapun.

Kantornya pun jauh lebih besar, bersih, bagus, dan dingin. Ruang tunggu wawancara dan sidik jari adalah yang paling besar. Kursi yang tersedia banyak, dan yang paling menguntungkan buat saya ada playground anak-anak. Bukan playground asal, tapi cukup luas. Ada ayunan, perosotan kecil dan besar, lebarnya dua kali yang ada di Sam Marie Basra. Kamis lalu, Langit puas sekali main sendirian karena siang relatif lebih sepi.

Bukan cuma playground, tapi di ruangan yang sama juga terdapat Ruang menyusui. Saya ngga sempat masuk karena kalau takut ngga terdengar kali dipanggil sementara saya cuma datang sendiri. Kalo seandainya ada yang nemenin, saya pasti lebih milih menyusui di ruang tertutup dibandingkan dengan pakai penutup di ruang terbuka.

Satu hal lagi yang sangat saya apresiasi adalah kecepatan dan keramahan petugasnya kepada anak-anak. Terutama yang masih agak bayi kaya Langit. Mereka menyapa, sambil ajak ngobrol dan jelas sangat mempermudah. Minggu lalu saya datang tiga kali karena ada kesalahan pada formulir pendaftaran saya. Saya harusnya daftar perpanjang, bukan bikin baru. Waktu itu rasanya pengen nangis waktu dibilang harus ulang dari awal. Kebayang sia-sianya waktu yang udah dihabiskan setengah hari antri sana sini.

Entah kesian ato gimana ngeliat saya yang sambil gendong Langit, pucet, capek, mbak yang di bagian pemeriksaan berkas bilang kalau dia akan bantu asal saya bisa kembali sebelum jam 3 dengan bawa paspor lama saya. Waktu itu jam 13.50 dan saya langsung iyakan. Saya cegat bajaj, pulang ke rumah, saya suruh tunggu dan minta dianter balik. Jam 14.30 saya sudah sampai lagi di imigrasi.

Ternyata paspor lama pun harus difotokopi, dan saya belum punya. Sekali lagi, dibantu kembali. Setelah itu saya masuk bilik wawancara, harus sendiri. Petugas yang tadi pun menawarkan untuk jaga Langit. Tapi, Langitnya lebih milih duduk sendiri di kursi sambil main kartu kartu saya.

Alhamdulillah hari ini, saya selesai mengurus paspor Langit sekaligus mengambil paspor saya dan Pak Dokter. Antrian di loket pengambilan lebih sedikit dan tetap teratur. Saya antri jam 10.40, jam 11.30 paspor sudah di tangan.

Saya sangat berterima kasih sekali dengan pelayanan yang begitu baik, rapi, dan memudahkan.

Oya, ngga ada foto sama sekali karena tangan dan pikiran saya udah abis buat fokus ke bayi dan jaga dokumen supaya ngga tercecer.

Semoga bisa membantu ya.

Posted in Review

Aston Marina Ancol

Selalu bingung kalo mau mulai nulis dalam bahasa Indonesia. Oke, ini bukan detail review yang mungkin pada umumnya orang lakukan. Saya cuma mau kasih gambaran dan pendapat saya tentang hotel ini. Untuk gambar boleh liat langsung di webnya Aston Marina. Disini cuma ada ‘kenyataan’ di balik gambar.

Kamar

Kamar yang dipesan dua jenis kamar tipe apartemen. Satu kamar yang isinya dua kamar tidur dan satu kamar satu kamar tidur. Atau mungkin lebih gampangnya satu kaya apartemen studio sedangkan satunya lagi kaya apartemen dua kamar tidur. Tipe apartemen punya keuntungan dengan adanya dapur. Ini jelas untung ketika pergi dengan anak-anak. Apalagi yang masih bayi yang belum bisa bebas makan apa aja.

Kamarnya cukup luas. Area dapur dan kamar tidur ada pembatas tembok. Tempat tidur bisa pilih antara single atau twin bed. Kamar mandi dengan shower, cukup bersih. Buat saya yang agak ‘jijik’an, kalo kemana-mana pasti yang diliat kamar mandi dulu. Waktu buka kamar mandinya agak lega. Setidaknya itu cukup bersih buat saya. Untuk peralatan mandi semua yang standar ada.

Peralatan dapurnya cukup lengkap. Ada dua piring, dua mangkok, dan dua gelas. Sendok, garpu, pisau roti juga ada. Kompornya pakai kompor listrik dua tungku dan juga ada panci stainless steel dua buah. Selain kompor juga ada microwave. Tempat cuci piring juga ada biarpun kecil. Meja makan dua kursi juga ada di dapur. Dapur ini jelas bagian yang paling saya suka.

Hal lain yang ada di kamar ini yaitu ruang tamu kecil di depan dapur. Ada sofa dengan bantal, meja kotak pendek dan satu kursi kecil lainnya. Kamar ini ditulisnya untuk dua orang dewasa. Menurut saya, dua orang dewasa plus satu atau dua anak kecil pun masih oke. Ruang tidurnya luas dan ruang untuk anak bergerak pun cukup.

Interiornya standar dengan beberapa kekurangan sana sini. Seperti lemari di kamar mandi yang ada di bawah wastafel, kayunya udah mengelupas. Tapi, dibanding tempat shower yang jorok, atau wc yang kotor, tempat tidur yang bau apek, lemari kayu ngelupas masih bisa saya tolerir.

Kolam Renang

Ini alesan kedua setelah dapur saya pilih hotel ini. Kolam renang di Aston Marina ini bukan yang luas banget, tapi banyak yang kecil-kecil untuk anak-anak. Ngga ada mainannya atau apa, hanya kolam biasa. Untuk berenang ini, dari awal sebelum pergi saya udah set untuk berenang jam 6. Abis Langit selesai sarapan. Dingin? Ya ngga apa2. Sedikit. Toh ga mau berenang dua jam juga. Saya lebih milih dingin pagi dibanding berenang di kolam yang penuh.

Kenyataannya kita baru mulai masuk air jam 6.30. Tetep masih sepi. Cuma ada kita bertiga sama satu ibu dan anaknya. Kebanyakan yang pegangin Langit papanya. Sedangkan mami sibuk berenang sendiri sambil sesekali liat-liat. Minusnya, kolam renangnya ngga sebersih yang di foto. Makanya saya juga ngga mau lama-lama. Ini pertama kalinya Langit berenang di kolam betulan. Ngga bisa dibilang seneng juga, seringnya nangis, haha.

Sarapan

Sarapan ada di beberapa tempat di lobi. Ini menurut saya ide bagus karena emang tamunya banyak banget. Menu standar aja. Ada buffet nasi putih dan nasi goreng beserta lauk, bubur ayam, roti, aneka jus, dan ada sarapan western. Bagian sarapan western ini yang paling banyak antriannya. Saya ngga ikut karena males. Yg saya makan nasi goreng, bubur ayam sama roti. Baked potatonya enak dan Langit suka. Saran saya, kalo berniat kesini pas musim libur baiknya turun sarapan jam 8.30-9.00. Sebelum itu suasanya serasa di acara kawinan kebanyakan tamu.

Service

Saya cukup suka sama cara pegawai hotel ini nanggepin komplain. Kaya pas kamar yang satu agak lama belom siap juga kita nelpon berkali-kali setidaknya ngga ada nada nyebelin dari resepsionisnya. Nunggu agak lama sebenernya ngga menyenangkan, tapi akan lebih ngga menyenangkan kalo denger nada yang ngga enak karena kita cukup cerewet nanya kapan kamarnya siap. Dan buat saya wajar sih nanya nanya terus. Emang harusnya sudah masuk kamar setelah check-in. Kalo check out oh ngga boleh juga dilambat-lambatin. Housekeepernya juga ramah dan kita cukup ngerti mereka pasti lagi sibuk banget dengan tamu sebanyak itu. Jadi ya uda lah ya. Satu yang agak ngga nyaman adalah soal lift. Karena hotel ini lantainya cukup banyak, nunggu liftnya lamaa banget. Apalagi kalo mau turun. Sekalinya kebuka, eh penuh.

Kesimpulan

Mungkin itu gambarannya. Kalo ada yang tanya, sesuai ngga sama harganya? Well, itu relatif ya. Kalo buat saya pribadi untuk semalem harga sekitar 750-850, di musim liburan, dengan fasilitas kaya di atas, masih bisa diterima. Tapi, kalo untuk ditanya mau balik lagi ngga, musim liburan atau bukan, saya lebih milih nginep di tempat lain.

Okey, semoga kalo ada yang baca ini bisa bantu buat keputusan buat klik ‘pesan sekarang’ atau ‘batal’ di website pemesanan hotel kalo berniat nginep di sini.

Selamat liburan!

Posted in Langit Senja, Review

Cerita DSA (di Sam Marie Basra)

Entah kenapa kok lebih susah ya nulis pake bahasa Indonesia daripada bahasa Inggris. Dari tadi bolak-balik ketik-hapus karena ngerasa aneh sendiri bacanya-__-.

Mau sedikit cerita tentang DSAnya Langit. Di Sam Marie Basra (SMB), selain dokter obgyn dan fetomaternal, ada beberapa spesialis lain seperti anak, penyakit dalam, kulit kelamin, andrologi, dan gigi. Nah, uniknya, lagi-lagi, selain Obgyn, spesialis lain di SMB itu jumlahnya maksimal dua, sepengetahuan saya terakhir kesana. Mungkin karena memang pasien yang tidak terlalu banyak jadi kebutuhannya pun juga ngga banyak.

Dokter spesialis anak di SMB pun juga hanya dua : dr. R. Lia Mulyani, SpA dan dr. Cut Badriah SpA. Dokternya Langit yang mana?

Dua-duanya:)

Waktu lahir, Langit dibantu sama dr Lia sampai kira-kira empat bulan. Beliau cukup komunikatif dan ngga buat saya takut atau males nanya, dan yang saya suka ngga cepat memutuskan untuk kasih obat, sufor atau opname.

Waktu pulang melahirkan, bilirubin Langit dalam keadaan normal, tapi ketika kontrol seminggu kemudian naik jadi 16. Liat ambil darah dan hasil tes darah itu ngga pernah menyenangkan ya.

Saya tau kalo bilirubin tinggi itu bayi harus disinar. Tapi, yang saya ngga tau adalah kalo disinar itu harus diopname, bayinya. Ibunya pulang. Liat angka segitu saya masih berpikir ‘ooh mungkin bisa disinar sebentar aja ditungguin’.

Waktu hasil tes darah menunjukan angka 16, dokter Lia bilang ini masih bisa diusahain tanpa sinar. Jemur tiap pagi, susuin sesering mungkin. Nanti beberapa hari kita liat lagi. Denger itu lega bukan main.

Di rumah, Pak dokter tiba-tiba bilang, ” Alhamdulillah ya ngga harus opname”.

Saya pun heran dan nanya balik,    ” Lho, emang kenapa harus opname?”

“Lah, kalo harus disinar ya harus opname. Bayinya aja. Ibunya ngga. Nanti kalo mau nyusu ya bisa ibunya dateng atau pake ASIP”.

Kalo tadi di dokter saya ngerasa lega bukan main, abis denger kalimat pak dokter, saya bahkan pengen peluk dr Lia. Ngga abis-abis saya bersyukur untuk keputusannya. Saya ngga kebayang harus pulang tanpa Langit. Ngebayanginnya aja bikin nangis.

Setelahnya, saya benar-benar nyusuin Langit sesering mungkin. Jam tujuh pagi udah buka pintu depan lebar-lebar. Taro Langit di ayunan rotan tanpa baju. Selama beberapa minggu, ngga ada hari yg terlewat tanpa berjemur. Saya jemur lebih lama dari yang seharusnya. Di luar itu, karena masih nyusu-tidur-nyusu-tidur, kalo Langit tidur terlalu lama saya angkat dari box dan nyusuin. Alhamdulillah, setelah beberapa hari keliatan badannya sudah ngga kuning lagi. Tapi, berjemur tetap jalan setiap hari.

Sebulan kemudian kontrol, ada lagi yang bikin patah hati. Berat badan Langit naiknya kurang. Memang keliatan kurus banget buat saya. Saya terus terang takuuut sekali kalo sampe disuruh tambah sufor. Saya ngga anti sufor, tapi, saya pengen sekali itu benar-benar jadi pilihan paling bawah dan akhir yang kalo bisa ngga kelihatan sama mata saya, sehingga saya akan ngusahain ASI saya seakan-akan ngga ada pilihan lain.

Alhamdulillahnya, Lagi-lagi dr Lia bilang, ” coba kita liat lagi dalam dua minggu ya, kalo naiknya masih sedikit mungkin harus dipertimbangkan untuk nambah (sufor). Coba lebih sering nyusunya, ibu juga diperbaiki makannya”. Lega bukan main bagian kedua. Setidaknya jawaban dia ngga menutup harapan saya.

Waktu itu, tanpa bermaksud mencari pembenaran, saya benar-benar lagi kacau sekali. Pak dokter di luar kota sebulan, dan mbak yang sudah di rumah selama 18 tahun kerja dan masakin semua yang keluarga saya makan di rumah dari makan utama sampai kue2, keluar.

Saya benar-benar kaya zombie waktu itu. Makan,tidur,istirahat ngga ada yang bener. Dan itu berlangsung selama beberapa minggu sampe saya dapet pengganti (yang jauuuhhhhh banget dalam segala hal dari yang sebelumnya). Tapi, saya ngga peduli selama bisa sedikit ringanin beban, dan Langit bisa ngejar ketinggalannya. Alhamdulillah berhasil.

Langit pindah DSA ketika empat bulan. Ini tanpa disengaja. Dokter Lia dan Dokter Cut praktek setiap hari dari Senin-Sabtu. Dr Lia praktek pagi di hari Senin, Rabu,Jumat, dan Sabtu sedangkan dr Cut hari Selasa dan Kamis. Jadwal siangnya adalah kebalikannya.Jadwal pagi jam 10.00-14.00 sedangkan jadwal siang 14.00-18.00.

Satu hari itu, ternyata mereka tukar shift dan saya ngga diberitahu sampai saya datang ke RS. Karena sudah terlanjur datang, saya pikir ngga masalah ganti dokter sekali. Toh cuma buat vaksin aja.

Pertemuan pertama sama dr Cut ternyata sangat menyenangkan. Salah satu kelebihannya adalah orangnya detil banget. Tanpa kita tanya, dia jelasin semuanya. Sebelum suntik vaksinnya dia kasih liat boxnya masih segel, tanggal kadaluarsanya, bahkan, range harganya. Suka!

Waktu itu mau vaksin PCV, dia jelaskan dulu kalo ada dua jenis, PCV 10 dan 13, yang mana jelas yang 13 lebih lengkap dan tentunya lebih mahal. Beliau tidak memaksakan harus yang 13, tetapi menyarankan kalo memang sudah dibudgetkan khusus vaksin, sebaiknya ambil yang lengkap. Soal ini saya setuju. Sama2 vaksin, sama2 sakit disuntik, kalo bisa kasih yang lebih baik, kenapa ngga. Uangnya bisa dicari.

Selain itu, beliau juga ngga pernah lupa sesuatu yang buat saya penting, yang belakangan saya tau kalo ngga semua DSA melakukan ini. Apa itu? Memplot berat dan tinggi badan plus ukuran lingkar kepala ke kurva pertumbuhan bayi. Di kurva itu, tergambar dengan jelas apakah Langit tetap dalam batas gizi baik atau ada yang harus diperbaiki. Makanya,menurut saya ini penting buat dilakukan oleh DSA.

Mungkin ternyata memang jalannya harus pindah ke dr Cut karena bulan berikutnya saya nambah jam kerja yang mana harinya bentrok dengan jadwal praktek pagi dr Lia. Saya ngga pernah kontrol siang dan hari Sabtu. Ngga ada yang nemenin karena saya nyetir harus ada yang gendong Langit.

Alhamdulillah sejauh ini semuanya oke sama dr Cut. On time, ngga buru-buru, sangat informatif, dan kebetulan, pak dokter kenal juga karena beberapa kali pernah baksos bareng pas masih S1 dan dr Cut masih jadi residen. Bahkan, pak dokter semangat banget cerita kl dr Cut ini salah satu residen yang aktif banget ikut baksos dan ngga pernah mau dibayar. Oya, selain sebagai DSA, dr Cut juga duduk di managerial SMB, kalo saya ngga salah sebagai direktur pelayanan. Ditilik dari namanya pun kemungkinan masih familinya Prof Jacoeb ya jadi wajar kalo beliau juga menjabat di managerial.

Salah satu hal yang paling saya syukuri selama hampir setahun ini, Langit hanya datang ke DSA ketika jadwal vaksinnya. Alhamdulillah selama ini selalu sehat, dan belum pernah ngerasain ngga enaknya obat dan itu ngga lepas dari peran DSAnya. Semoga selalu sehat dan kebaikan DSAnya dibalas oleh Allah.

Semoga ini bisa membantu kalo ada yang perlu DSA di sekitar jakarta timur. Kalo saya ditanya orang, lebih pilih yang mana, saya akan jawab,

“Cuma ada dua, praktek tiap hari. Kenapa ngga coba dua-duanya dan putusin  mana yang cocok dengan ibu dan anaknya?”

Sepatu saya belum tentu pas di kaki orang lain kan ya?:)