Posted in Favorite things, Thoughts, Travel

A Granted Wish : Happy and Sad

After 2012, right after having the second big dream, the passport was expired. A promise then made, it wouldn’t be renewed until the next destination was clear, which by that means the third big dream. The third one also the longest one I have been dreaming.

I truly, sincerely, wanted once the passport is renewed, I must have known that I would be going within short period. I promised I would have this certain visa stamped on the first page of the new passport. Other than that, no need to bother renewing the passport.

Today, the wish is granted.

Started a whole real journey three months ago, prepared all the requirements to apply the visa and made sure to have no mistake so it will have the least possibility of being unapproved. Been reading almost all available articles to avoid any mistakes. 

Submitted the document a week ago, without any missing documents needed. 

One week later, an email received said the passports had returned.

Went to collect it today and when the envelope was unsealed, then..

The visa was there. 

Alhamdulillah.

The first thing came across my mind was my mother. She was the only one who really understands how much I have been longing for this one. Sadly, she was no longer here when I truly make it.

It’s such a big happiness to have the wish granted today, remembering all those things that I have been going through to get here. But, it’s quite sad knowing the person I really want to share this with was no longer here.

Maman, j’ai le fait. J’espere que tu me vois la bas. Je fait mon troiséme rêve.

Donc, au revoir à ton ville!

Je suis vraiment alleerrrrr!!!!!

Posted in Favorite things, Thoughts, Travel

Tentang Mimpi dan Haji (Bagian 2)

Lanjutan dari post ini

Sore hari sehari sebelum 9 Dzulhijjah, semua calon jamaah haji bergerak ke Arafah. Kami sudah disuruh siap-siap dari setelah zuhur dan ternyata baru benar-benar berangkat jam 5.30. Sabar adalah salah satu hal yang paling wajib dibawa dalam menjalankan rangkaian ibadah Haji ini. Sabar nunggu, sabar antri, sabar semuanya.

Sampai Arafah, kita akan ditempatkan di tenda-tenda sesuai dengan kelompok negara dan Kloter. Di dalam tenda hanya ada karpet yang bisa digunakan untuk rebahan, tentu berbagi dengan jamaah lain. Kamar mandi di Arafah cukup banyak dan masih bisa saya tolerir.

Wukuf dilakukan pada tanggal 9 Dzulhijjah sampai matahari terbenam. Ini seperti berdiam diri, memperbanyak doa dan zikir, tapi juga diselingi sedikit ceramah. Tiap kloter bisa berbeda-beda. Dianjurkan doa sebanyak-banyaknya ketika wukuf karena iu adalah salah satu waktu yang mustajab.

Menjelang maghrib, perjalanan dilanjutkan ke Muzdalifah. Jarak antara Arafah dan Muzdalifah cukup dekat tapi jamaah Indonesia kebanyakan naik bis yang disediakan. Banyak jamaah dari negara lain yang berjalan kaki dari Arafah ke Muzdalifah. Memang yang dicontohkan Rasulullah berjalan kaki, tapi tetap bisa disesuaikan.

Di Muzdalifah hanya bermalam, yang maksudnya adalah kita harus sampai disana sebelum tengah malam, dan lewat tengah malam, kita akan melanjutkan perjalanan ke Mina. Di Muzdalifah ini juga kita harus mengumpulkan batu yang akan digunakan untuk melempar Jumroh di Mina. 

Muzdalifah seperti lapangan besar yang berisi manusia. Buat saya, mungkin ini gambaran paling  nyata ketika nanti kita dikumpulkan di padang Mahsyar. Di bawah langit Muzdalifah, pemandangan lautan manusia ini benar-benar buat saya merinding.

Lewat tengah malam, bis-bis yang akan membawa jamaah ke Mina sudah menunggu. Di sini, seluruh jamaah berbaris menunggu gilirannya naik ke bis. Momen ini buat saya terasa seperti saat kita akan menunggu dihisab. Mungkin agak.sulit dimengerti, tapi coba bayangkan ratusan ribu (ato jutaan?) manusia dari berbagai belahan bumi, berkumpul di satu tempat, mengantri  untuk diangkut ke tujuan berikutnya, tanpa bisa kita bedakan asalnya. Di situ saya merasa kalo ini yang dimaksud semua manusia sama di hadapan Allah. Dengan pakaian ihram yang nyaris ngga berbeda, semua manusia ini benar-benar terlihat sama.

Mina merupakan hal terberat yang saya lewati selama proses ibadah haji. Ini yang akan saya jadikan alasan utama kenapa haji akan lebih baik dilakukan ketika muda.

Di Mina kita akan tinggal beberapa hari untuk melontar jumroh. Kalo wukuf dan mabit di Muzdalifah memang harus dilaksanakan sendiri, melontar jumroh adalah ibadah yang bisa diwakilkan, meskipun tetap di bermalam di Mina. Saya mewakilkan ibu saya karena kondisinya tidak memungkinkan untuk berjalan jauh.

Tempat dari tenda ke  tempat melontar jumroh cukup lumayan jauh. Mungkin sekitar enam kilo bolak balik dan itu dilakukan selama tiga kali dalam tiga hari. Waktu yang paling dianjurkan adalah setelah matahari terbit agak tinggi, sekitar jam 7-8. KBIH saya memilih untuk lebih awal karena mempertimbangkan kondisi jamaahnya yang kebanyakan orang tua yang akan sulit berdesakan dan menahan panas matahari. Kami biasanya melontar sebelum subuh.

Jika menilai hanya dari ritualnya, ngga ada sama sekali yang berat dari Haji. Wukuf hanya berdiam diri duduk dan berdoa. Mabit di Muzdalifah hanya duduk, boleh kalo mau tiduran kaya saya, pake tiker lipet di atas bebatuan, dan jangan lupa mencari batu, Mina hanya bermalam dan melontarkan batu-batu yang kita kumpulkan ke tiga tiang Jumroh. Thawaf hanya berputar mengelilingi Ka’bah, Sa’i hanya berlari kecil dan sebenernya bisa jalan juga sesuai kemampuan, Tahalul hanya menggunting rambut, yang jumlahnya ngga seberapa.

Semua ‘hanya’. Yang membuat hal-hal tersebut cukup berat adalah proses yang harus dilewati untuk melakukannya. Buat saya, pengalaman di Mina cukup menguji kesabaran.

Sejauh-jauhnya perjalanan dari tenda ke tempat Jumroh bolak balik, ngga seberapa dibanding kan apa yang harus dilewati seharian di tenda. Tenda di Mina (yang saya dapat) cukup sesak untuk dibagi dengan jumlah anggota rombongan saya. Masing-masing hanya bisa cukup rebahan dalam posisi terlentang tanpa bisa hadap kanan kiri. Tendanya ada pendingin tapi ngga berpengaruh banyak karena orangnya pun cukup banyak. Cuaca di Mina pun sangat panas. Siang bisa mencapai 45-47 derajat celcius. 

Saya selalu meletakan handuk basah di kepala saya ketika akan ambil wudhu di bawah. Selesai ambil wudhu dan balik ke tenda, handuk sudah kering. Wudhu lima menit bisa bikin handuk basah jadi kering? Tentu tidak.

Jangan bayangkan seperti wudhu di mesjid yang cuma lima menit selesai. Kalo waktu zuhur itu jam 12.00, maka di Mina sebaiknya antri wudhu itu dilakukan dari jam 11.15. Iya, 45 menit. Apalagi kalo ditambah mau buang air kecil dulu. Antri kamar mandi di Mina adalah hal yang paling menyeramkan selama ibadah haji.

Bukan sekedar antrinya, kamar mandinya pun sama menyeramkannya. Kotor, bau, buat yang jijikan dan paling cerewet sama kamar mandi kaya saya, ngga ada yang menyiksa dari ini. Lebih parah lagi, banyak juga jamaah dari negara kita yang yah… sulit juga. Antri segitu panjang, bisa-bisanya nyuci baju di dalem selama 20 menit!

Ini ngebuat yang antri pun ngga sabar, dan melakukan hal yang sama menyeramkannya. Buang air kecil di tempat wudhu. Saya rasanya tiap waktu solat pengen nangis sekali. Sampai tempat wudhunya pun bau pesing. Dan kami harus bertahan di Mina selama tiga hari. Salah satu tiga hari terpanjang di hidup saya.

Kembali ke Mekkah, saya dan rombongan memilih berisirahat dulu dan baru menyelesaikan Thawaf Ifadah dan Sa’i keesokan harinya. Setelah lima hari perjalanan, berdesak-desakan di Masjidil Haram bukan pilihan yang bagus. Kami menyelesaikan Thawaf dan Sa’i keesokan harinya setelah sholat subuh. Saya dan ibu saya memisahkan diri supaya bisa lebih santai. Kami mulai thawaf sekitar jam enam dan baru selesai  sa’i menjelang zuhur. Selama itu karena kondisi yang cukup penuh dan kondisi ibu saya yang mengharuskan kami berjalan lebih lambat dan banyak beristirahat.

Hari-hari selanjutnya adalah liburan full yang hanya diisi dengan makan, tidur, ke mesjid, belanja, jajan, ibadah lain, tidur lagi, dan seterusnya. Paling sama nyuci baju ya . 

Untuk jamaah haji DKI, Pemdanya cukup berbaik hati karena makan siang dan makan malam jamaah hajinya ditanggung. Ini tidak semua. Jamaah haji daerah lain rata-rata entah masak sendiri atau cari makan di luar. Bahkan Bekasi pun tidak dapat makan. 

Selain makan, jamaah haji DKI juga mendapat fasilitas bis khusus yang membawa kita ke Masjidil Haram dari maktab. Tinggal tunjukan kartu pengenal haji, bisa naik. Bis Indonesia juga ada tapi lebih penuh. Bis DKI ini kosong, bersih, dan nyaman. Beberapa kali petugasnya pun mau mengangkut jamaah haji darerah lain karena bisnya masih kosong. Pemberhentian bis DKI ini pun lebih strategis, yaitu di pintu utama Masjidil Haram. Sedangkan bis Indonesia lewat pintu Sa’i di bagian belakang.

Kalo urusan belanja, orang Indonesia emang ngga ada lawan. Seakan-akan uangnya ngga habis-habis,hehe. Karena sudah tiga kali kesana, saya ngga banyak belanja printilan-printilan. Saya dan ibu saya sudah tau mau beli apa dimana. Oleh-oleh parfum dan sajadah ada toko khusus langganan kami di Hilton. Harga sedikit di atas, tapi kualitas dan model jauh dari pasaran. Teman sekamar saya senang sekali waktu dibawa ke Museum. Belanjanya kalap. Bahkan balik lagi sendiri sesudahnya.
———————–

Satu hal yang agak memprihatinkan, meskipun setiap tahun jamaah Indonesia itu yang terbesar, tapi ngga sebanding sama fasilitas yang didapat. Seperti tenda waktu di Mina. Punya jamaah Indonesia itu jauh, panas, dan yah seperti yang saya ceritakan di atas. Waktu saya lewat tendanya Malaysia, duhh, enakk bangett. Deket dari tempat jumroh, dingin, luas, makannya prasmanan, dan saya yakin kamar mandinya ngga separah punya kita. Di Mekkah pun sama, Maktab jamaah Indonesia rata-rata cukup jauh. Saya untuk sampai ke Masjidil Haram kalo naik bis Indonesia harus ganti dua kali. Sedangkan maktab jamaah Malaysia, Brunei, Singapore itu semua bisa ditempuh dengan jalan kaki lima menit. Benar-benar di belakang Masjidil Haram. 

Buat saya ini penting ya. Pengennya pasti selama kurang lebih sebulan di Mekkah bisa memaksimalkan ibadah di Masjidil Haram. Kalo bisa lima waktu semua di Masjid. Bisa thawaf di antara waktu solat. Jarang yang dekat sangat membantu. Jarak maktab saya dan mesjid membuat saya ngga memungkinkan untuk solat lima waktu tiap hari.

Jadwal yang bisa saya efektifkan adalah jadi berangkat sebelum subub untuk Tahajud sekalian nunggu subuh. Setelah subuh saya thawaf sampe waktu dhuha. Setelah dhuha saya pulang untuk beres-beres, nyuci, dan istirahat. Zuhur saya lewatkan. Sebelum Ashar saya brangkat lagi untuk ashar sampai maghrib. Sambil nunggu sambil ngaji atau ngeliatin Ka’bah aja. Setelah maghrib saya pulang. Isya di rumah. Lho, ngga tanggung?

Iya emang tanggung. Tapi, saya udah dari ashar dan cukup cape kalo sampe isya. Setelah isya juga bisnya penuh sekali. Ibu saya pun udah nunggu di Maktab. Ibu saya karena sakit, lebih banyak di Maktab. Dia pasti nunggu saya makan malem. Jadi, itu semaksimal yang bisa saya usahakan dengan jarak maktab yang saya dapat.

Saya sehari-hari ke Masjid kalo ngga sama teman sekamar saya terpaksa sendiri. Supaya ngga kliatan sendiri, saya suka nguntit aja di belakang jamaah yang gerombol. Karena emang ngga nyaman terlihat sendiri disana. Tapi, kalo ngga gitu saya bisa ngga ke mesjid terus. Ketika udah sampai mesjid, udah ngga gitu masalah karena ngga terlihat. Justru sendiri lebih gampang nyelip ke depan cari tempat. Target saya itu tiap solat adalah saya mau lihat Ka’bah. Sebisa mungkin saya akan maju ke depan dimana Ka’bah terlihat dengan jelas. Rugi jauh-jauh cuma liat tembok atau orang.

Waktu shalat Jum’at adalah yang terpadat selama di Mekkah. Saya hanya ikut dua kali. Setelah yang kedua sangat trauma karena hampir kehabisan nafas berdesakan waktu keluar Jumatan. Betul-betul padat dan mengerikan. Saya hampir pingsan kalo ngga ditarik oleb seorang bapak-bapak keluar kerumunan. Berdesakan dengan jamaah Afrika yang tinggi dan besarnya berapa kali lipat saya bukan pengalaman yang menyenangkan.

Oya, memakai alas kaki yang nyaman itu wajib hukumnya kalo naik ONH biasa. Supaya kaki ngga lecet karena harus banyak jalan. Jangan sekali-kali pake sendal jepit kaya mau sholat ke mesjid dekat rumah. Pake yang sol tebel dan nyaman. Crocs dan sejenisnya ngga disarankan. Mahal dikit ngga apa. Buat ibadah juga. Kalo kaki lecet malah ngga bisa ibadah karena ngga bisa jalan. Lebih banyak ruginya.

Sampai tahun 2008-2009, waktu tunggu haji masih sekitar 3-4 tahun dari dapat nomer porsi sampai waktu berangkat, dengan ONH biasa. Kalo pake yang plus bisa tahun itu juga. Mulai 2012, waktu tunggu DKI sudah jadi … 10 tahun. Sekarang terakhir saya dengar sampai 15-16 tahun. Bahkan ONH plus pun pake waktu tunggu sekarang. Mungkin sekitar 5-7 tahun, jelas dengan biaya yang lebih mahal.

Hal ini juga jadi alasan Haji, atau daftar Haji sebaiknya dilakukan sedini mungkin. Dengan waktu tunggu yang segitu lamanya, sedih bukan kalau kita punya kemudahan dari segi umur dan rejeki tapi ngga pernah sampai kesana untuk Haji. Cuti Haji di Indonesia ngga usah dipusingin, hampir pasti dikasih Haji itu sangat fleksibel dan bisa dinego.

Ketika kita udah punya 25 juta cash, bisa langsung daftar ke bank untuk buka rekening Haji dan langsung urus ke kanwil depag di domisili kita untuk dapat nomer porsi. Berangkat naik ONH plus atau biasa tetap harus dapat nomor porsi dulu. Ngga masalah ketika di antara waktu tunggu kita punya rejeki lebih mau pergi dengan ONH plus supaya berangkat lebih cepat. Juga lebih nyaman harusnya.

Dua puluh lima juta ngga sebanyak dan sesulit itu kalo memang sudah niat. Kaya harga tiket ke Eropa ngga promo naik maskapai yang bagus. Disegerakan ketika kaki masih tegak berdiri dan langkah masih kuat berlari. Urusan jadi berangkat kapan serahkan sama Yang Mengundang. Yang penting kita sudah usahakan apa yang jadi bagian kita.

Semoga hati, rejeki, umur, dan langkah kita dimudahkan untuk menggenapkan rukun Islam yang terakhir ini. 

Selamat berhaji untuk semua jamaah haji yang berangkat tahun ini. Semoga Allah mudahkan selamat sampai kembali ke tanah air dan mendapatkan haji mabrur. Amin.

Posted in Favorite things, Thoughts, Travel

Tentang Mimpi dan Haji (Bagian 1)

Beberapa tahun belakangan, traveling seakan jadi hal baru yang bisa dianggap seperti sebuah pencapaian, selain hal-hal seperti barang-barang bermerek, entah baju, sepatu, mobil, atau apapun itu. Satu kemudahan seperti harga tiket yang kadang level murahnya kebangetan bisa buat traveling jadi hal yang memungkinkan bagi banyak orang. 

Salah satu hal terbaik yang saya dapat dari orangtua saya adalah frekuensi dan kualitas bepergian yang mereka berikan buat anak-anaknya. Frekuensi yang dimaksud bukan artinya tiap liburan bepergian. Tapi, hampir semua trip keluarga yang mereka berikan, saya ingat semua dengan baik sampai puluhan taun kedepan. 

Mulai dari trip pertama ke Manchester dan beberapa kota di Inggris, road trip keliling pulau Jawa, umroh pertama dan kedua,beberapa trip kecil lain seperti waktu saya S2 pun tetap sama berkesannya. Tapi, di atas semua itu, Haji adalah yang paling berkesan.

Musim haji tahun ini sudah dimulai. Calon Haji kloter awal sudah ada yang sampai di Madinah. Biarpun ngga pergi, setelah Haji di tahun 2012, tiap musim haji saya selalu senang. Liat persiapan orang yang berangkat, liat pengalaman mereka disana lewat instagram. Ikut senang karena melihat orang-orang yang akan menjalani salah satu perjalanan terbaik di hidup mereka.

Saya ngga akan cerita panjang lebar tentang pengalaman Haji seperti disini, tapi mungkin lebih ingin berbagi pertimbangan mengapa Haji akan lebih menyenangkan dan mungkin menguntungkan jika dimasukan sebagai salah satu bucket list traveling selagi muda. 

Setelah umroh pertama waktu usia 19 tahun, saya punya tiga bucket list yang mau saya coret sebelum menikah. S2 di luar negeri, Haji, dan yang ketiga belum bisa disebut karena sedang dan hampir dicoret, jika memungkinkan.

Diantara tiga, dua teratas Alhamdulillah bisa tereksekusi di tahun yang sama. Lulus S2, Haji, dan menikah Allah kasih ketiga hal tersebut dalam waktu enam bulan. Juli, Oktober, Desember.

Persiapannya jelas ngga enam bulan. Haji dimulai ketika selang enam bulan dari umroh pertama, saya dapat kerjaan tetap. Umroh pertama itu ketika Ramadhan 2003, ketika saya semeater 1 kuliah, dan saya jatuh cinta sehabis-habisnya dengan dua kota itu. Sepulang dari sana,  saya memutuskan untuk berhijab dan punya tujuan menabung yang sangat jelas. Setelah empat tahun, selesai kuliah, saya akan pergi haji dulu insya Allah.

Ada alasan kenapa hal sekecil niat itu jadi sangat penting dalam mengerjakan apapun. Saya hanya mengucapkan hal diatas dengan lisan, trus bilang juga ke ibu saya. Tapi, ngga bener-bener tau gimana caranya bisa merealisasikan itu dalam empat tahun, selain nabung dari uang bulanan yang mungkin ngga seberapa. Kalo dengan matematikanya manusia, ngga bakal bisa juga nyampe ke jumlah yang diperlukan untuk naik Haji empat tahun lagi.

Tapi, kaya umur dan jodoh, rejeki itu emang ghaib. Enam bulan setelah umroh, saya dapat kerjaan tetap dengan gaji tiap bulan. Pendapatan saya jadi meningkat drastis. Masih kuliah tingkat 1, kebutuhan ngga banyak, ngga suka belanja juga, saya putusin untuk buka satu rekening khusus (bukan rekening haji) untuk biaya naik haji. Rekening yang cuma boleh masuk tanpa bisa keluar kecuali udah kepepet.

Empat tahun kemudian, tahun 2007, jumlahnya jelas masih jauh dari yang dibutuhkan. Buat dapet nomer porsi juga belum sampe. Tapi, jumlahnya sangat lumayan dan saya putuskan untuk pindahin itu ke rekening khusus haji di salah satu bank. Toh, untuk daftar nanti pun memang harus ada rekening haji di bank. 

Ada jeda kurang lebih 9 bulan dari saya lulus sampai saya dapet pekerjaan kedua yang saya suka dan full time. Jadi, saya punya dua pekerjaan yang dua2nya saya suka, baik pekerjaannya maupun uangnya. Enam bulan setelah melakukan dua pekerjaan senin-sabtu, saya dateng lagi ke bank, masukin sisa untuk genap 20 juta dan dapet nomer porsi.

Mendapatkan nomer porsi bukan semudah dateng ke bank ya. Setelah urusan surat-surat di bank selesai, kita harus urus sendiri ke kanwil depag di domisili kita. Saya ngurus sendiri waktu itu. 

Depag bukan terkenal dengan pelayanannya yang cepat, ramah, apalagi efisien. Saya sempat menghabiskan beberapa hari bolak balik sampai akhirnya semua dokumen beres dan saya dapat prediksi  berangkat di tahun 2012. 
Mengeksekusi mimpi itu perasaan yang benar-benar luar biasa.

Jeda antara 2008-2012 saya gunakan untuk nabung sekaligus ngerjain mimpi yang pertama. Tahun 2009, saya dikasih pekerjaan ringan dengan uang lumayan. Jadi, saya kerja senin-minggu. Cape? Jelas. Seneng? Lebih jelas. 

Bukan sekedar nabung, tapi saya secara rutin beli dolar. Tiap sampe punya uang 10juta saya langsung dateng ke ayumas, beli 1000. Bahkan sempet punya rekening dolar karena kalo disimpen sendiri lumayan (kebanyakan maksudnya? Yaa gitu deh..).

Perkiraan biaya haji di tahun 2012 adalah sekitar 37 juta. Kemungkinan turun naik bisa bervariasi. Ternyata, yang bervariasi bukan hanya biaya, tapi juga waktu berangkat. Tahun 2011, waktu saya masih sekolah, petugas depag menelpon ke rumah kalo nomer porsi saya dan ibu saya masuk ke dalam calon haji tahun itu. 

Perasaan saya benar-benar campur aduk. Segini di depan matanya tapi kok ya pas banget ada hal yang ngga bisa saya tinggalin. Kebetulan ibu saya pas juga lagi di Prancis. Ibu saya sudah naik Haji sebelumnya. Beliau memutuskan ikut lagi dengan niat memperbaiki Hajinya yang pertama. Dan mungkin karena mau nemenin saya.

Akhirnya dengan berat hati saya ajukan bahwa saya ngga bisa berangkat tahun itu dan otomatis nomer kami akan masuk tahun depan. Toh memang awalnya prediksi berangkat adalah 2012.

Saya pergi Haji dengan ONH biasa yang durasinya 40 hari, dengan ikut grup KBIH dari masjid istiqlal. Ada biaya tambahan jika kita ikut KBIH tertentu. Waktu itu biayanya sekitar 4 jutaan. 40 hari mungkin terdengar lama, tapi tidak ketika kita udah sampai sana.

40 hari itu terbagi kurang lebih 27- hari di Mekkah dan 9-10 hari di Madinah dipotong waktu perjalanan. Calon haji yang berangkat pada kloter awal akan ke Madinah dulu baru ke Mekkah. Sedangkan kloter akhir Mekkah dulu baru Madinah.

Secara kenyamanan, kloter awal lebih nyaman. Kita datang waktu masih agak sepi, baik di Mekkah maupun Madinah. Masih bisa menikmati ibadah tanpa desak-desakan. Saya pergi dapat kloter akhir. Dari 50 kloter DKI Jakarta, saya dapat kloter 49. Akhir dari yang paling akhir.

Sejak dulu saya tau, hampir ngga ada hal yang bisa saya dapat dan jalankan dengan mudah di hidup saya. Haji inipun termasuk salah satunya.

Haji diletakan sebagai rukun Islam terakhir dengan syarat bagi yang mampu dengan alasan yang sangat kuat. Butuh seluruh kesiapan baik uang, waktu, fisik, mental, dan kepasrahan yang total.

Pergi haji dengan kloter akhir artinya kita akan sampai di Mekkah dalam keadaan yang sudah sangat padat karena hanya tinggal beberapa hari menjelang wukuf. 

Perjalanan saya dimulai dari Jumat pagi masuk asrama Haji, kemudian bersiap meninggalkan asrama sabtu dini hari, menuju bandara, proses imigrasi, dan berangkat pada sabtu pagi jam enam. Perjalanan Jakarta-Jeddah sekitar 9 jam. 

Dikarenakan tujuan utama adalah Mekkah bukan Madinah, maka niat umroh dan miqotnya sudah dilaksanakan di atas pesawat. Kita tidak boleh masuk Mekkah tanpa salah satu niat melakukan umroh  atau haji. Ada batasan jarak tertentu dimana kita harus sudah berihram dan diberlakukan larangan-larangan ihram. Untuk jamaah haji Indonesia yang datang dari Jakarta, miqot ada dua piliha  yaitu ketika pesawat melewati bukit Yalam-lam atau di bandara Jeddah, sedangkan yang dari Madinah adalah di Bir Ali.

Sangat disarankan bagi perempuan untuk naik Haji dengan laki-laki yang jadi mahram, bisa suami, ayah, atau adik laki-laki. Adik ipar bukan mahram ya. Di antara semua anggota KBIH, hanya saya yang dinterogasi petugas imigrasi cukup lama. 

Kenapa?

Umur saya sih ngga muda (muda banget), tapi dengan badan kecil dan muka yang keliatan kurang meyakinkan ini (ngga sesuai umur maksudnya), petugas imigrasinya jadi meragukan apa saya cukup umur. 

Semua anggota rombongan perempuan yang tanpa didampingi laki-laki mahramnya lewat-lewat aja. Cuma saya yang setengah dibentak-bentak ditanya: where’s your husband? Saya geleng. Father? Geleng juga. Alhamduliah saya masih diberi kemampuan berpikir cepet, ketika ditanya brother, saya langsung panggil ketua rombongan saya yang emang masih muda dan belum kawin.

Waktu itu Alhamdulillah juga belum dalam ihram. Karena kalo saya terpaksa bohong, sangat ngga nyaman. Saya bilang ke petugasnya, kalo saya pergi dengan orang ini. Saya ngga bilang itu kakak saya juga. Tapi, memang benar kan saya pergi dengan ketua rombongan saya. 

Lewat imigrasi, terbitlah antri kamar mandi yang cukup melelahkan. Tapi ngga ada pilihan karena sudah harus niat Ihram dan berihram. Di bandara jeddah hanya untuk transit untuk kemudian melanjutkan perjalanan ke Mekkah melalui jalur darat dengan bis selama kurang lebih 3-4 jam.

Ketika kita memilih naik ONH biasa, ekspektasi kita pun harus terukur. Perjalanan dari Jeddah ke Mekkah bukan seperti perjalanan karya wisata dengan bis besar yang harum dan dingin. Rejeki saya waktu itu adalah bis kecil seperti kopaja ato metro mini. Tanpa AC, kursi sempit, dan supir yang jago ngebut.

Selain merapal kalimat talbiyah, zikir yang paling saya sering ucapkan selama disana adalah Laa Haula wala quwwata illa billah. Tiada daya saya dan kekuatan saya tanpa pertolongan Allah.

Sampai di Mekkah, jangan dibayangkan bisa langsung masuk kamar dan rebahan setelah perjalanan yang sangat panjang dan melelahkan. Masih ada pembagian kamar dan pengurusan kunci dan hal-hal lain yang minimal baru bisa selesai dalam sejam. 

Satu hal yang paling disyukuri adalah mendapatkan teman sekamar yang baik dan sesuai dengan cara-cara hidup kita. Bayangkan akan tinggal bersama dalam satu kamar selama sebulan dengan orang yang ngga buat kita nyaman. 

Kisah nyata di rombongan saya, dua orang ibu-ibu paruh baya yang hampir tiap hari bermasalah sampai ketua rombongan pun harus turun tangan. Sesimpel masalah yang satu tidak bisa tidur dengan AC, yang lain harus dengan AC, lampu nyala dan mati, dsb. Salah satu dari mereka, alih-alih menghabiskan waktu ke mesjid untuk ibadah-ibadah, terpaksa menghabiskan waktu di kamar karena flu parah karena AC. Sedih bukan?

Urusan kamar beres sudah malam. Tapi, tugas belum tunai. Masih berada dalam keadaan ihram yang artinya masih harus menyelesaikan umroh. Diputuskan untuk menyelesaikan umroh malam itu juga supaya besok bisa istirahat.

Ritual umroh yang harus dilakukan adalah Thawaf, Sa’i dan Tahalul. Perjalanan dari maktab (tempat tinggal) ke Masjidil Haram cukup jauh. Karena waktu itu baru sampai dan belum bisa cari tau tentang apapun, kami serombongan jalan kaki dengan.menggunakan sisa energi yang ada. Jaraknya mungkin sekitar 3-4km ya. Cukup lumayan.

Sensasi melihat Ka’bah dengan mata kepala sendiri itu salah satu hal yang paling tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Biarpun sudah tiga kali ke tempat itu, ngga mengurangi rasa yang ada di dada. Seperti semua lelah yang sudah dijalani dua hari ke belakang tanpa istirahat yang memadai, terbayar lunas ketika tau kita sudah sampai di tujuan kita. Di pusat terkuat hati semua manusia.  

Sepenuh apapun lantai paling bawah, saya tetap memilih Thawaf di sana dibandingkan naik ke lantai-lantai di atas. Selain jarak yang juga lebih jauh, saya mau lihat Ka’bah dengan jelas tiap Thawaf. 

Saya cukup tau diri dengan ukuran badan mini ini, akan sulit bersaing dengan jamaah-jamaah haji negara lain. Jadi saya ngga pernah memaksa untuk ke tengah. Karena semakin dekat Ka’bah, arusnya semakin padat dengan tingkat berdesakan yang tinggi. Saya bisa kehilangan nafas kalo nekat. Ketika Thawaf seiring dengan perputaran kita akan terbawa arus ke tengah. Saya akan membiarkan sampai saya rasa ngga mampu lagi dan mulai keluar. 

Sa’i secara tempat lebih nyaman karena garis lurus dan berAC. Tapi secara jarak, bolak balik Shafa Marwa cukup menguras tenaga. Saya pasti akan ambil jeda untuk duduk dan minum air zam-zam di putaran ke empat.

Saya, ibu saya dan beberapa anggota rombongan menyelesaikan umroh kami pada minggu dini hari dan sampai kembali ke maktab (tetap jalan kaki) jam 3.30 pagi. Waktu itu sudah tumpul rasanya otak. Tidur pun udah ngga bisa.

Karena sudah tinggal 2-3 hari menjelang wukuf dan keadaan Masjidil Haram sudah sangat padat, kami dianjurkan untuk tinggal di maktab sampai tiba waktu wukuf. Karena jelas wukuf dan beberapa hari ke depan adalah inti dari ibadah Haji. Bahkan, pemerintah Saudi mengirimkan SMS khusus untuk menghimbau agar jamaah haji memgurangi frekuensi mengunjungi Masjidil Haram karena kepadatanya dan menganjurkan untuk fokus ke wukuf dalam berapa hari.

Sisa dua hari sebelum wukuf saya mempersiapkan semua keperluan seperti minuman, makanan ringan, baju ganti, handuk, tiker lipet. Selain Wukuf di Arafah, akan ada Mabit di Muzdalifah, lalu dilanjutkan dengan bermalam di Mina selama tiga hari dan kembali ke Mekkah untuk Thawaf, Sai, dan Tahalul. Rangkaian ini dilakukan nonstop selama kurang lebih 4-5 hari. Jadi, ini seperti trip kecil dalam 40 hari tersebut, yang merupakan inti dari semua ibadah yang dilakukan selama 40 hari. Haji yang sebenarnya akan dimulai dalam beberapa hari.

Sepertinya terlalu panjang kalo dijadiin dalam satu tulisan. Saya akan lanjut di post berikutnya di sini

Posted in Favorite things, Travel

About French 

Every family, every house have some cultures other than their origin which influence the members, either in the way they live, think, or do things.

In my initial family, it was french. We were exposed by lots of french things since we were kids. My late mom was once a french teacher in previously CCF, now IFI. She also had been teaching in other places like the embassy, schools, or the oil company.

My mom and my dad was a high school friends and they met once again in my mom’s workplace when my dad was learning there for his scholarship. For this part, it is pretty similar with my own story with le husband. Then, my existence also started because of something french.

Some converasations in french were often carried out in the house so it can’t be helped for us to understand some vocabularies in the language. Among us three, I have been the one who is always eager to learn languange. After spent two months in Manchester, I started learning English by myself. Reading and dictionary checking became new exciting routine for this 4th grader.

Started my french lesson for the first time while I was grade six. The teacher of course was the in-house one. But, unfortunately, having your own mom being the teacher didn’t guarantee that you would be fluent in an instant. In fact, some lessons were often cancelled due her personal excuses like fatigue or something more important needed to be attended. It was surely quite dissapointing. But, it didn’t stop me from learning. I love reading and the books about french were everywhere in the house. The big and small dictionaries were also available. So, whenever I would like to learn  I just chose one simple reading.

I had a chance to learn french properly after I graduated from college.  Signed up for a class at CCF and thanks to my mother, I learnt there for free. I studied for 2,5 years and I really enjoyed it.

Having lots of knowledge and exposed by all things about this surely made me drool a lot to visit the country. Actually, when we went to England, France and Benelux (Belgia, Netherland, Luxembourg) visas were already stamped in our passport. Unfortunately, we got chicken pox. So, the only one who went to Paris was, no one other than the french teacher.

If I am not mistaken, throughout her life, my mother had been to France for four times. She went once before she was married and thrice after. She went in 1982, 1994, 1996, and 2011.

The one in 2011 was a bit special. CCF regularly sent their employée for a month training in one of cities in France. Usually, it’s not the big city one but more to small city like Grenoble, Nantes, or Lille. My mom was chosen to go in 2010 but they had condition she had to wear off her veil. She refused.

A year later, she was chosen once more. They said she really had to go this time and she could keep wearing her veil. It was quite funny as if it chased her persistently. I was dying to join her but it was not impossible. She was so lucky even there were lots of teacher there, twice in two years in a row, she was offered such chance.

I loved the french class a lot. Really enjoyed learning there eventough the class was 7-9 pm after work, but it felt like a stress reliever for me. Like piano, which I didn’t do it because I loved it, this one also  I missed the class rarely to never. What made it more enjoyable was because I was above the other students thanks to the teacher at home, hehe.

Other than the language, french cuisines were also something we enjoy at home. My mom, unlike her daughter, was a terribly great cook. One of the best french dishes she made was the quiche  lorraine. It was so much better than any cafes have. We also enjoyed lots of french products like the jam, cheese, bread, cakes. The last time she went there,  half of souvenirs she brought were all about food like I wrote here.

Learning its language, eating its food, reading a lot about it, even once went to its independence celebration in Jakarta have made the desire for visiting this country becomes a constant stomach ache for me. I desperately want to go there. In my 20’s, I regularly bought USD for me to go there. Few times I planned to go but it seemed out of my reach. Among my three biggest dream before marriage, only this one wasn’t fulfilled. I did the other two : master degree abroad and Hajj.

After marriage, this one keeps haunting me until today. I won’t be able to sleep comfortably for a long time if I don’t keep trying for this. I have told my husband once he finishes his study, I really want to go, alone or together.

I know I will be there one day, by all means possible. I will have my pictures taken in front of La Tour Eiffel, sitting by Le Seine watching sunset, eating ice cream at Jardin du Luxembourg, strolling around in Champ Elysses, admiring Le Palace du Versailles, Musée du Louvre,and  Le Cathedral de Notredame, enjoying le soir at une cafe in a little Paris street. I will speak french in its origin country. There will come the day when I will be living like a true Parisienne for few days.

Like I have always been believe, God knows but He waits for the right time. He has been fufilled all my dreams for these 30 years. There’s no way He won’t for this one as long as I keep going for it. My turn will come, someday. Amin.

Have a good Friday!

Posted in Favorite things, Review, Travel

Flights to and From Kuala Lumpur

I had this question quite often from close relatives who would like to go to Malaysia for the first time. Most of them think about Air Asia when it comes to cheap price, which is something I don’t (really) agree.

During 1,5 years of master study there, I went back and forth from both Jakarta and Kuala Lumpur 10 times. The very first thing I did once I had the fix schedule of all lectures was searching for the cheapest flight back home. All tabs in my laptop were about all airlines websites. Did I buy it straightly?

Of course, NOT! 

I brought those fare comparison to my dream first. Even for days. I rechecked them every day for few times because the fares changed depends the time you checked it. For a stingy student like me, it was sensitive. Being hesitate whether to buy now or later. Imagining it wherever I went. Then, cursed myself when I saw the second time the price was higher. Such a true masochist.

After so many times doing like that,  I really found that some airlines were truly cheaper than Air Asia. In fact, Air Asia became my very last choice among other airlines. The ticket price only was maybe cheap, but, once you continued your booking, other cost kept piling up and at the end of your booking, voila! That will be very far from cheap.

So, here’s my preference from the most to the least :

1. Lion Air

SURPRISE!! When domestically Lion Air is known to be the master of delay, I didn’t find it for several times I fIew with them. I found Lion Air had a flight to Kuala Lumpur ( or Jakarta) accidentally. It had been a hard battle inside my mind when two airlines which I regularly used gave me an expensive total fares for my pocket. Even after several days, it didn’t change much. 
I just read a tweet several days ago saying ‘Price is the only tool that is able to make people realize they have another choice or they have to find one’. It is very true. Those airlines fares which I think too expensive made me search for other options. Then, instead of one, I found two other options. Lion air is one of them.

The best thing about Lion Air, it shows you directly the total price and with that price comes 20 kg of baggage allowance. No need to pay additional cost. It was very agreeable for me. Even more, they were truly good value for your money. I often got as cheap as IDR 350.000 one way from Jakarta to Kuala Lumpur. It costs the same like you fly to some cities in Java.

The second best thing about Lion Air is they depart from KLIA, not LCCT. It has the price of Low Cost airline, but they depart from high cost airline airport. 

Recently, as far as I know, LCCT does no longer exist. They replaced it with KLIA 2.

Third and the last, few times flying with them, I never once experienced any delays. It was very punctual and more, the aircraft was big and clean. Guess it was new.

So, for all those three reasons, Lion Air is on my top of list.

2. Malaysian Airlines

This one is one of the regular that I often use. Before knowing how much cheap the fare between two cities, I used to think MAS was very cheap. When we first went there with my mum and sister, I found IDR 750.000 was a very good deal. Only after that I found out, it became the most expensive fare I paid among all my trips.

But, surprisingly, if you are persistent enough to regulary check their website, you can find a very shocking price like I once had. I once got the ticket price from Jakarta to Kuala Lumpur at IDR 75.000. YEP, three zeros only. Not even reach 10 USD. As for the total fares, it became IDR 239.000. See, it was a very very good deal. 

Of course, MAS departs from KLIA and it has a lot of check in counters.  The aircraft might not as big as Lion as far as I remembered, the leg room was quite narrow too. One thing is an advantage from MAS, they have lots of schedules in a day. My mum once was late for check in  for 7 am departure and she couldn’t fly with her originally booked flight. Then, the check in staff simply changed it to the next flight schedule at 9 am. No additional charge, no grumpy face scolding us for being late. A very good service. Overall, it’s good.

3. Air Asia

Here’s the cheap airline which often turns out to be not cheap at all. Even start from the ticket price only, it wasn’t that cheap. You have to pay more for baggage according how many kilos that suitable for your belongings. After that, you pay for your seat, which is something that I think it’s a bit ridiculous. Do they expect us to stand up during the flight?

The aircraft is far from spacious, the seat is not really comfortable, and they depart from LCCT. Unlike KLIA, LCCT was an airport who looks like a bus terminal. Not my preference. Well, overall, it was just fair. 

4. Tiger Airways

I found this when I found Lion Air. It was pretty similar with Air Asia. You pay for your baggage and seat. The price was slightly cheaper. I only tried this once or twice maybe. I didn’t feel too comfortable with this although there was no problem at all during the flight. It also departed from LCCT.

Actually, there were other two airlines at that time, Garuda Indonesia and KLM. But, both were out of my league. Hence, I left them.

So, if anyone ever ask me which one to choose, you surely know the answer.

Posted in Favorite things, Thoughts

Puasa Sunnah, Menyusui, dan Olahraga

Hm, seperti biasa, kalo mau nulis dalam bahasa Indonesia, yang paling pertama dilakukan adalah ketik hapus ketik hapus. Susah cari kalimat pertama yang pas. Sedangkan kalo versi Inggrisnya bisa kebayang beberapa kalimat. Aneh tapi nyata.

Ini bukan review, tapi kenapa dalam bahasa Indonesia? Semua tulisan saya yang dalam bahasa Indonesia itu karena satu hal : Pernah pengen tau (banget) tapi ngga ketemu. Makanya kenapa nulis review tentang melahirkan di Sam Marie, DSAnya, dan beberapa review lain.

Sama seperti orang lain, saya juga sering cari tau tentang hal yang mau saya pilih atau jalankan. Kalo seandainya sudah ada dan banyak, saya ngga merasa perlu untuk nulis, seperti resep MPASI, hehe. Semua review yang saya tulis jelas karena saya ngga ketemu satupun yang cerita tentang hal tersebut.

Sama halnya dengan judul di atas. Saya pernah obrak-abrik google dengan berbagai kata kunci tentang ibu menyusui yang tetap puasa sunnah, dan ditambah lagi juga olahraga. Mau tau seberapa besar pengaruh puasa dan olahraga, dimana yang satu tidak mengkonsumsi energi sedangkan yang lainnya mengeluarkan energi yang lumayan, terhadap proses menyusui. Kenapa puasa sunnah?

Tentang puasa Ramadhan jelas sudah banyak dibahas. Haditsnya pun ada. Bahwa ibu hamil dan menyusui memiliki keringanan untuk tidak berpuasa dan menggantinya dengan membayar fidyah. Tapi, banyak orang yang lupa, sepemahaman saya, dari belajar ngaji, untuk ibu hamil dan menyusui itu juga harus mengganti puasa Ramadhannya karena sifatnya wajib dan pada dasarnya mereka bukan orang tua yang lemah. Cuma, kayanya banyak yang beranggapan bahwa dengan bayar fidyah, hutang lunas. Tapi lagi, mungkin bisa jadi saya yang salah.

Tahun 2014, bulan Ramadhan jatuh di bulan Juli dan pada saat itu saya hamil lima bulan. Itu awal pertama saya cari-cari tentang puasa dan hamil. Ternyata cukup banyak yang bisa, tapi umumnya banyak yang menyarankan untuk tidak kalau masih trimester pertama karena biasanya ada mual, dan hal lain.

Alhamdulillah, saya pada saat itu ada di trimester dua, yang memang benar paling nyaman. Makan enak, badan belum bengkak, tidur masih nyenyak, kerja juga masih enak, bisa nyetir kemana2 sendiri dengan nyaman karena perut belum bersinggungan dengan setir. Pokoknya nyaman deh.

Dengan berbekal rasa nyaman itu, akhirnya saya mutusin bismillah puasa. Hasilnya? Alhamdulillah 30 hari tanpa bolong. Ngga bilang gampang juga sih, tapi jauh dari susah. Seperti tahun-tahun sebelumnya, keluarga saya cuma break sehari. Setelah itu langsung lanjut puasa Syawal, kalo ngga punya hutang. Oya, mungkin ada yang ikut pendapat puasa Syawal boleh duluan biarpun punya hutang puasa Ramadhan karena Syawal cuma bisa sebulan sedangkan ganti puasa Ramadhan bisa sepanjang tahun sampai Ramadhan berikutnya.

Keluarga saya dan beberapa ustad yang saya ikuti ngga sepakat dengan yang di atas. Bereskan dulu hutang yang wajib baru mulai yang sunnah. Jadi, kalau pas punya hutang, saya akan bayar hutang dulu baru puasa Syawal, yang berarti semua dilakukan di bulan Syawal.

Bisa menyelesaikan puasa Ramadhan 30 hari dalam keadaan hamil buat saya pengen lanjut ke puasa Syawal, seperti biasa. Alhamdulillah lagi, enam hari, tidak berturut-turut, selesai. Oya, sebelumnya, selama hamil saya juga tetap puasa sunnah senin kamis.

Pada akhirnya, kita harus juga tahu kapan harus berhenti. Ketika saya keluar flek di enam bulan kehamilan, saya memutuskan untuk berhenti dulu puasa senin-kamis.

Rencananya, setelah nifas selesai, saya berniat untuk memulai kembali puasa sunnah. Supaya ngga terlalu lama absen. Mulai kembali itu ngga mudah. Apalagi bukan wajib. Semakin lama absen, akan makin sulit untuk mulai lagi.

Tapi, yah, rencana tinggal rencana. Kenyataannya, saya dihadapkan sama berbagai hal yang menghalangi rencana tersebut. Dimulai dari Mbak Wi yang tiba-tiba keluar, ganti asisten baru, yang sangat berpengaruh bukan cuma ke saya tapi juga ke Langit yang berat badannya naik ngga sesuai chart. Ditambah Pak Dokter yang waktu itu harus dinas luar sebulan, dan masih banyak hal lain yang sudah saya tulis di post Ini. Saat itu akhirnya saya memutuskan buat mulai puasa lagi setelah Langit selesai ASIX.

Olahraga punya cerita lain. Sejak SMA saya biasa ikut kelas aerobik dan Body Language di salah satu tempat khusus perempuan. Awalnya diajak ibu dan lama-lama jadi suka banget karena selalu ngerasa happy abis olahraga. Biarpun cuma sejam, tapi buat saya sangat menyenangkan. Salah satu obat patah hati yang cukup manjur juga waktu masih ngga jelas sama pak dokter.
*lho?kok jadi curhat.

Biarpun sempat berenti mulai berenti mulai, tapi selalu balik kesana buat olahraga karena ngerasa paling cocok sama kelas ini. Saya ngga suka olahraga luar kaya lari, atau tempat yang rame kaya gym. Setelah nikah, sempet berhenti sebentar lalu mulai lagi, sampe akhirnya saya tahu kalo saya hamil. Awal-awal hamil masih olahraga. Makin gede, akhirnya berentin dulu.

Kalo puasa saya putusin untuk ditunda, olahraga tidak. Dua bulan abis melahirkan saya balik ke kelas lagi, seminggu sekali karena cuma itu waktu yang mungkin. Pertama kali masuk kelas lagi, agak horor liat badan yang kaya ikan paus. Celana olahraga yang biasa ngga muat. Duhh, seremmm. Ngga nyaman banget liatnya. Pengen nambah hari, tapi ngga memungkinkan. Sedangkan menyusui sangat bikin laper. Jadi, yah, seminggu sekali itu udah maksimal yang saya bisa usahain.
Ramadhan 2015 itu jatoh di awal Juli. Saya sudah mutusin puasa juga karena Langit sudah mulai MPASI biarpun masih awal. Saya pikir, hamil aja bisa 30 hari, insya Allah yang ini ngga akan lebih berat. Di Ramadhan ini juga saya break olahraga.

Ternyata, saya salah. Puasa sambil menyusui dan ngurus bayi sendiri  yang udah mulai makan itu jauhhh lebih berat. Di atas jam 12, saya sudah setengah kehausan sekali, dan waktu maghrib energi hampir ngga ada sisa. Karena Langit menyusui langsung secara intens, rasanya kalo udah di atas jam 12 jadi agak takut sendiri. Langitnya pun beneran agak rewel. ASI nya tetap keluar tapi mungkin ngga sederas biasa. Sempat kepikiran untuk batal, tapi saya ngga yakin. Bukan tega sama anak, atau egois, tapi saya ngerasa itu bukan solusi.

Alhamdulillah, saya dikasih break seminggu karena mens. Itu pertama kalinya saya mens lagi setelah melahirkan. Jadi, selama saya menyusui ASI eksklusif saya ngga mens sama sekali. Biasanya, saya agak sedih kalo mens pas Ramadhan, tapi ini saya agak bersyukur. Selesai Ramadhan, biasanya langsung Syawal. Tapi, karena punya hutang, jadi bayar hutang dulu bareng yang lain puasa Syawal.

Kalo di Ramadhan saya bilang puasa sambil menyusui itu cukup berat, bayar puasa wajib setelah Ramadhan itu ternyata jauhhh lebih berat. Mungkin bukan sekedar nyusuinnya ya, tapi karena Langit juga udah mulai makan yang mana persiapan makan, makannya sendiri, sangat menguras energi. Apalagi sehari tiga kali. Biasanya.saya nafsu banget nyelesain hutang puasa sesegera mungkin. Kali itu, abis sehari bayar saya langsung mutusin berenti dulu.

Ketika Syawal sudah setengah bulan, hutang saya masih tiga. Akhirnya saya milih untuk ikhlasin puasa Syawal tahun lalu setelah bertaun-taun ngga absen. Saya merasa ngga mampu nyelesain sembilan hari puasa dalam lima belas hari. Sedih.

Lebih sedih lagi, setelah Langit mulai makan, saya ngga bisa ikut kelas olahraga lagi. Ngga seperti gym yang kita bisa datang kapan saja, kelas yang saya ikuti ini punya jadwal tetap. Senin-sabtu pagi jam 08.00-09.00 dan sore jam 18.30-19.30. Hanya itu. Saya ngga mungkin ikut kelas sore karena ada maghrib. Kenapa pagi ngga bisa? Karena makan itu sangat mengkonsumsi waktu. Apalagi masih awal. Saya ngga bisa ngejar jam delapan semua sudah beres.

Saya hanya bisa pergi kalo Langit sudah rapi dan tidur. Karena ngga ada yang bantu ngurus. Kalo dia tidur, saya bisa titip ART yang pulang pergi sebentar. Dari bulan juni, saya resmi resign lagi dari kelas olahraga. Akibatnya, berat saya balik kaya abis melahirkan sebelum olahraga. Balik kaya paus. Nafsu makan pun sangat menggila.

Waktu Langit mendekati setahun, saya mulai gerah. Gerah liat badan, gerah tiap pake celana kok sempit banget bahkan harus beli baru dengan ukuran yang lebih besar. Lingkar pinggang sih ngga gede, tapi paha sama bokongnya ngga bisa nafas. Tiap ngaca juga pengen nangis liatnya.

Saya berniat, begitu Langit setahun, saya akan balik puasa senin- kamis. Olahraga masih ngga ngerti gimana biar bisa keburu. Tapi, yang jelas, puasa harus mulai. Apalagi hutang masih tiga. Belum pernah saya bayar hutang puasa nunda selama itu.

Ternyata, niat aja ngga cukup. Hati musti keras juga. Lewat dua tujuh November, saya tetap belum mulai puasa. Ada aja alesannya yang dibuat. Biarpun hati juga udah mulai terganggu. Mulai sering nyindir, ‘mana?katanya mau puasa?’ Payah ya, hehe.

Saya inget waktu itu ada libur di hari kamis merah, dan rabu malemnya saya niat besok ikut sahur. Bayar. Harus. Udah ngga boleh ditunda lagi. Dan, Alhamdulillah terlaksana. Leganya bukan main. Langkah pertama emang selalu paling berat. Setelah itu saya lunas hutang tiga hari, dan terus bisa lanjut puasa senin kamis sampai sekarang.

Di satu hari bulan desember tahun lalu, saya inget hari selasa, Langit sudah beres makan mandi berjemur dan tidur di jam 07.50. Ketika itu, dengan impulsifnya saya langsung buru-buru ganti baju dan siap-siap berangkat. Kemana? Olahraga. Biarpun tinggal 10 menit sebelum kelas mulai dan tau saya akan terlambat, saya tetap pergi.

Kadang-kadang, keputusan yang baik bisa jadi muncul dari suatu keadaan yang tidak terencana. Sama halnya dengan ini. Hari pertama saya balik ke kelas, senangnga bukan main. Setelah absen enam bulan, saya kangen banget. Pulang ke rumah, kata Mbak Wi, Langit ngga bangun sama sekali.

Di minggu yang sama, hari Jumat saya coba lagi peruntungan saya. Ternyata berhasil lagi. Bahkan saya ikut sejam penuh. Dari sini, saya mulai agak ‘serakah’. Saya pengen untuk seterusnya bisa.seminggu dua kali olahraga.

Tapi, saya ngga mau kalo olahraga buat saya ninggalin Langit gitu aja. Saya mau olahraga dengan tenang dan ngga bebanin orang lain. Akhirnya saya pelajari, Langit bisa tidur ketika sudah kenyang dan cukup cape. Satu lagi, waktu bangun paginya harus lebih awal, supaya dia sudah tidur lagi sebelum jam delapan.

Alhamdulillah sekali, bayi ini sangat pengertian. Dia seakan tau kalo saya mau olahraga. Hampir tiap selasa dan jumat dia bangun sebelum subuh. Untuk bisa keburu jam delapan ikut kelas, Langit harus mulai makan jam lima. Maksimal lima lewat sepuluh. Kok jauh banget? Iya, karena ritual sarapan dia panjang. Pertama, jus. Lalu nasi dan lauk. Selesai itu mandi sambil main di bak. Setelah itu main sebentar di teras sambil makan roti, lalu minum susu UHT 100ml, dan terakhir nyusu sampe tidur.

Saya ngga mau menghilangkan salah satu tahapan itu. Jadi, komprominya ya mulai lebih pagi. Saya ngga keberatan bangun lebih pagi lagi, selama saya bisa olahraga. Alhamdulillah, sampai sekarang, saya hampir ngga pernah absen seminggu dua kali.

Hari ini adalah Jumat tanggal merah karena Jumat agung. Saya.sudah galau dari awal bulan. Merasa sangat rugi sekali  karena Selasa dan Jumat hari saya olahraga. Tempat senam tutup di tanggal merah. Makin dekat hari ini makin ngga rela kalo cuma dapat sekali. Pilihannya tinggal rabu atau kamis. Dua-duanya ngga menguntungkan. Rabu saya kerja siang, kamis puasa. Biarpun hanya sejam, abis senam itu cukup cape dan ngantuk. Belum masih urus Langit lalu kerja sampe sore.

Rabu kemarin ternyata bukan rejeki saya. Hari selasanya internet rumah down yang buat saya makin cranky. Sibuk nelpon 147 berkali-kali. Minta supaya petugas segera dateng. Rabu paginya udah nelponin dari jam lima pagi. Dan, kebetulan Langit bangunnya juga ngga pas buat saya maksain olahraga. Alhamdulillah rabunya petugas dateng dan internetnya kembali lagi sebelum saya berangkat kerja.

Kamis pagi saya setengah niatin mau usahain senam. Langit bangun pas subuh. Agak telat kalo standar waktu yang biasa. Dia baru mulai makan jam 5.30 yang mana beda 20 menit itu sangat jauhh. Tapi, saya tetap niatin mau senam. Oya, saya juga tetap puasa.

Semakin dekat jam tujuh, saya makin liat kemungkinan untuk bisa senam. Makin besar juga kepengen saya. Udah setengah jalan, kalau sampe ngga jadi, kemungkinan saya agak kesel sendiri nantinya. Satu hal yang agak bikin ragu adalah, bisa ngga.ya ini puasa juga, nyusuin masih, dan satu lagi, kamis ini instrukturnya kelas berat. Makanya yang ikut banyakan yang masih muda dibanding ibu-ibu.

Jam 7.40 Langit tidur dan saya langsung siap-siap. Dan, sampe di sana tepat waktu. Ternyata, bisa ikut penuh. Saya skip satu part yang bagian dance karena ngga gitu suka. Lainnya, semua saya ikut sambil menyesuaikan diri juga.

Sisa hari yang saya jalanin sambil tetap puasa, dengan frekuensi menyusui yang biasa, ternyata cukup bisa dijalanin. Saya pun sekaligus mau tes untuk nanti Ramadhan. Alhamdulillah, kemarin saya sukses olahraga, menyusui, dan puasa sekaligus.

Kesimpulan?

Tiga hal judul di atas memungkinkan dilakukan bersamaan dengan berbagai kondisi yang bisa disesuaikan. Seperti misalnya, mau olahraga tapi tetap puasa, harus tau diri juga, jangan terlalu diforsir seperti pada saat ngga puasa. Sudah tau makanin ngga mudah, siapkan makanan yang gampang atau yang bayinya suka jadi ngga terlalu terbebani. Sudah tau ngga ada  yang bantu nyiapin ini itu ya diatur dengan baik supaya kerjaan ngga numpuk dekat waktu buka.

Satu hal yang paling jelas, niat adalah setengah porsi yang membuat segala hal jadi mungkin. Sisanya adalah seberapa besar usaha kita supaya genap menjadi kenyataan.

Selain itu, kalau dipikir, toh ketiganya semua ibadah bukan? Puasa, jelas. Menyusui, jelas juga. Olahraga sekalipun mungkin ngga selevel sama puasa atau menyusui, sehat itu sebagian iman kata hadits. Saya selalu percaya, niat baik dan ibadah itu pasti Allah bantu, tergantung seberapa besar keinginan kita untuk itu.

Ketika langkah pertama sudah diambil dan berhasil, langkah selanjutnya akan jauh lebih ringan (dan dimudahka).

Selamat dicoba!

Selamat libur panjang buat yang merayakan. Saya ngga. Besok kerja, pak dokter jaga sampe hari minggu

Oke, bayi sudah bangun dan ini sudah siang sekali. Semoga hari ini menyenangkan ya!

Posted in Favorite things

A REPLY 1988 FAN FICTION: GOODBYE, HELLO

SURPRISE!!!

So, after part three, she wrote an epilogue which makes the ending even more perfect.

It feels good knowing their togetherness in the story. I love how Jung Hwan was being described. In love with Dok Soen and still keeping his old soft-harsh version. The way he said “ugly” to Dok Soen, I really can imagine him saying so.

It’s been almost two weeks after it ended, and I still keep replaying the stories inside my head. Memorizing the scenes then reading these four parts as the ending.

It’s really true that a good story will always live in our heart forever.

This one is truly one of them.

dimsumofallthings's avatarstyle.food.my drama addiction.

NOTE: It took a few days but here it is… the conclusion to “Goodbye, Hello.” I hope you love this story as much as I do!

OST PART IV: ONE REPUBLIC “All This Time”
https://www.youtube.com/watch?v=lIY_2t0ZKPU

Epilogue

November 1995

Jung Hwan

I stood by the arrival gate, shifting my weight from foot to foot. I craned my head over the crowd and checked my watch impatiently.

She’d said they were landing on time. Maybe I should move to the front of the queue.

I weaved my way through the other people and looked around. I noted, with some apprehension that some of the people waiting had placards and others had flowers. Suddenly wondering if I should have prepared more, I tightened my hold on the bag I carried, flushing.

It’s been almost a month since Deok Sun and I became a couple. We had not seen each other since that idyllic…

View original post 9,362 more words

Posted in Favorite things

A REPLY 1988 FAN FICTION: Goodbye, Hello

So, here it is. An ending that I ( and almost everyone ) long for. Now I can sleep well knowing they’re together for good thanks to this beautiful ending she wrote.

I think I can rewatch from the first episode until the eighteenth then having these stories as my two last episodes.

Well, this is the end I guess.

Jung Hwan aahh, chukkaeee!

dimsumofallthings's avatarstyle.food.my drama addiction.

OST PART II: JOHN LUNDVIK “When We Were Young”

Part III: Hello

Incheon international Airport
March 1995

Deok Sun

“Any plans tonight?” Ji Hye, a flight attendant I frequently flew with, asked as we were walking out of customs into the arrival gate.

I loosened the bow around my neck and secured my hold on my luggage. After just finishing a non stop flight from London to Seoul just a day after flying to London (for the same amount of hours,) I was dead on my feet. Even now I shifted my toes in my heels, eager to take my stockings off and get into my pajamas. Before 4 p.m.

I realized that Ji Hye was still waiting for an answer and I shook my head. “No… I finally have a day off tomorrow so I am going to rest.”

“On White Day?”

Was it already White Day? I tried…

View original post 8,584 more words

Posted in Favorite things

A REPLY 1988 FAN FICTION: Goodbye, Hello

This is the part two from the previous post. She writes so well and I can’t help crying reading this in some parts. It consoles me in some ways thinking that this could be the real ending. The ending for those who roots for Jung Hwan.

I don’t know that I can be this attached to a drama. But, Reply 1988 is not a mere usual drama. Despite the ending that hurt me a lot, I love all about this drama. Will reblog all part here once it will be uploaded.

It has been five days and I still can’t get over this.

dimsumofallthings's avatarstyle.food.my drama addiction.

NOTE: Due to work constraints and for fear of a super long Part 2, I decided to add a Part 3 before the Epilogue. Part 3 should be out in a couple of days at the latest, and the Epilogue not long after that.

Part 2

December 1995

Deok Sun

I sat at a table in the pojamangcha near our parents’ house, waiting for my sister. I wondered almost as soon as she had called me asking to meet up for a drink as soon as I landed back in Seoul what the reason was. And why here.

She could have asked to meet me anywhere, so why did it have to be the place I had tried to avoid for the last couple of months?

I rubbed my hands together as the ahjumma dropped off a bottle of soju and a small dish of dried fish and some peppers…

View original post 4,177 more words

Posted in Favorite things

Reply 1988 Fanfiction: Goodbye, Hello

I found this writing and this is a very good one. Can’t help crying while reading this. I couldn’t agree more with the note. It really should have been Jung Hwan. Only Jung Hwan.

Never knew before that I would be this attached to a drama. It has been three days and I haven’t moved anywhere.

This kind of ending is really messing with my heart.

dimsumofallthings's avatarstyle.food.my drama addiction.

NOTE: With the ending of Reply 1988 came another heartbreak. Another ship I supported, one that I believed without a shadow of a doubt would be canon, sank again. Those who know me are aware tha it takes quite a bit of strong emotion for me to write any kind of fanfic. I thought Reply 88 needed an alternate ending, one that would have fit better into the narrative they sold us.

This is for my fellow Jung Hwan lovers. In the end it could have been him. And you know what? It SHOULD have been him. He deserved that and so did Deok Sun.


This is the first of a two point five part story about our OTP. I hope you like it.

OST PART 1: YOON HYUN SANG AND IU “When Would It Be”

Part 1: Goodbye

October 1994

Jung Hwan

“I like you.” My eyes traveled over…

View original post 3,878 more words