Posted in Langit Senja, Maternité, Thoughts

Five Thoughts on the Fifth Years.

1. Since the day she was born
until she rides the scooter on her own,
it’s been a constant reminder that no matter what kind of shit thrown,
we’ll be never left (and walk) alone.

We are Liverpool.

2. Motherhood so far is the longest full time job I have survived.

It’s also the only one I would like to sign up.

3. Like the five brownies and five taste of macarons, it’s been sweet colorful years with her.

Like the five pieces of fruit in the stick shared with the friends, we should bite the most sour raspberry on ţhe top first, followed by less sour blueberry until we can taste the sweetness of the grape.

It’s kind of life I pray for her.

4. Most of the time, we’ll only get what we ask for.

Always ask carefully.

5. Stay healthy, be kind, and forever happy.

Happy birthday, Langit Senja.

Posted in Langit Senja, Places, Travel

Where to Play in London : Parliament Hill

This weekend we were going far to north by London overground to Hampstead Heath. The weather was getting colder and unbearable for my old body, but a bright sunny day was too irresistible for just staying at home.

So, off we go to Parliament Hill. Still in zone 2 oyster card. It was a huge garden with the feels like a small village. Proper playground is available, weekend market, and short hiking to the top worth the view.

Free playground, big and beautiful garden everywhere, weekend market, fresh air, blue sky, few things that make all the effort done to take the opportunity offered here (energy, time, money) seems worth every penny.

Things that we surely miss when we return back to Jakarta.

Posted in Langit Senja, Maternité, Thoughts

Lima Huruf J

Dari beberapa bulan lalu, ada satu huruf yang Langit susah sekali bisa biarpun (menurut kita) gampang. Di sesi belajar pertama, sampe frustrasi ngajarin 30 menit sendiri satu huruf ini kok ngga bisa-bisa. Sepele cuma karena salah madepnya. Suara dua gurunya udah naik, muridnya juga udah (mau) nangis dan emang nangis sampe sempet ngga mau sama sekali coba lagi setelahnya.

Selang beberapa hari dicoba lagi dengan iming-iming satu mainan yang udah lama dibeli (dan ngga boleh dibuka) tapi masih disimpen di lemari, dengan syarat buat 5 huruf ini dengan benar. Tetap ngga berhasil.

Kita ngga maksa lagi. Tapi ternyata anaknya tetep inget. Sering sekali tanpa disuruh dia buat sendiri di kertas dan kasih liat yang sayangnya masih salah terus. Dimana ada kertas kosong tiba-tiba buat huruf J, dan minta mainannya, yang tentu saja ngga dikasih. Pernah satu kali hampir bener semua, salah di yang terakhir, hati hampir goyah tapi alhamdulillah otaknya ngga.

Setelah lama ngga coba, hari ini, tiba-tiba dia ambil buku pelajarannya sendiri, dan nunjukin udah buat 5 huruf J (yang masih salah juga). Kali ini dia ngga mundur. Ngga berenti coba biarpun udah dibilang besok-besok lagi aja.

Di percobaan kesekian kali akhirnya 5 huruf J berhasil dibuat tanpa salah, dengan rapi. Dan juga berhasil disimpan di memori dengan baik.

Saya ngga tau siapa yang lebih seneng di sini. Mukanya hepi sekali. Apapun alesan dibaliknya, seneng sekali liat dia terus berusaha tanpa berhenti dan ngejalanin menunggu dengan baik.

Seperti yang sudah berulang kali saya tulis, menunggu itu skill wajib yang semua anak harus kuasai sejak dari kecil. Hal kecil yang dampaknya besar sekali. Ini bukan sekedar kepercayaan saya, tapi sudah terbukti di satu negara yang menjadikan menunggu sebagai salah satu kurikulum terpenting yang harus dikuasai sejak seorang anak dilahirkan. Saya sedang baca bukunya dan suka sekali dengan isinya. Mungkin karena benar-benar menggambarkan apa yang selama ini kami terapkan ke Langit.

Dari hal sekecil menulis huruf J bisa terlihat, ternyata ngga bisa itu wajar, ngga mencoba itu fatal. Sekali gagal biasa, coba sampe bisa ngga peduli berapa lama, itu juara.

Selamat menikmati hadiah menunggu!

Posted in Langit Senja, Maternité

Bedak di Kasur

Hari Minggu lalu, jam lima pagi, tiba-tiba ada suara dari kamar mandi yang buat saya bangun.

Tenang, bukan (cerita) hantu kok.

Suara shower dari kamar mandi agak lama baru berhenti, disusul suara flush toilet. Setelahnya ada suara laci baju dibuka. Nunggu beberapa lama, ngga ada yang dateng ke kamar saya. Tapi ya sudah, karena lagi ngga solat, lanjut tiduran lagi bentar.

Beberapa menit kemudian bangun dan nengok ke kamar sebelah. Liat yang punya kamar udah bangun dan langsung duduk begitu liat saya dengan mata yang awas.

Saya mendekat ke tempat tidurnya dan liat ada pulau yang sudah ditaburi bedak di atasnya,

“Ngompol ya?”

“Iya, ga papa ya,ya, ya?”

Kalo ketauan reaksi pertama pasti ngomel. Ya gimana, orang selalu disuruh pipis dulu sebelum tidur dan anak ini selalu males buat pipis😔

Tapi, liat semua yang sudah dia lakukan sendiri buat mengatasi masalah yang dia buat, rasa pengen ngomel jadi kalah sama bangga (dan kasian).

Dalam keadaan seluruh rumah gelap, dia berusaha lawan rasa takutnya ke kamar mandi, ganti piyama nya dan piyama lama di taro di baskom rendeman. Setelahnya spot basahnya dia taburin bedak kaya yang biasa saya lakukan sebelum dijemur atau diganti spreinya.

Sesuatu yang saya ngga nyangka anak 4 tahun bisa kerjakan sendiri.

Ngga ada yang susah sebenernya, tapi inisiatif dia buat bertanggung jawab untuk merapikan ‘chaos’ yang sudah dia kerjakan, semampunya dia, itu priceless sekali.

Clean up our own mess is something that everyone should do. Literal mess or unliteral one.

Semoga hal kecil ini jadi modal yang baik buat hal-hal yang lebih besar di depan.

Semoga di atas semua kekurangan kecil di atas kertasnya, saya bisa menghargai kelebihan – kelebihan besar yang kasat mata.

Posted in Langit Senja, Maternité, Thoughts

Sekolah Banyak PR

Tumben (lagi) sering nulis.

Iya lagi pengen.

Empat tahun sekolah di bidang orang tua dan ibu, semakin sadar kalo jadi keduanya itu banyak sekali pra syarat yang sebaiknya terpenuhi sebelum ‘daftar’. Ngga bilang harus tapi sebaiknya.

Di sekolah ini, PRnya banyak dan ngga semuanya bisa dikerjakan (sendiri). African proverb yang bilang it takes a village to raise a child benar sekali.

Buat ngerjain semua PR di sekolah ini, akan lebih mudah kalo pra-syarat yang dibutuhkan sudah tersedia. Baik dalam bentuk mental, skill atau materi. Tanpa ada gabungan ketiganya bisa ngga PRnya selesai?

Bisa, dengan standar yang beda-beda. Tapi, seperti di sekolah pada umumnya, harus ada standar minimum yang harus terpenuhi, berlaku sama buat setiap anak. Standar kelulusan minimal 70 atau C. Menurut saya, ini yang juga harus dicapai di sekolah (jadi) orang tua.

Di buku Raising a Bébénya Pamela Druckerman, orang tua Prancis punya standar tertentu yang hal tersebut bahkan sudah dianggap seperti kurikulum nasional, yaitu menyapa orang dengan Bonjour. Itu hal wajib yang harus diajarkan dan dilakukan. Kalo anak tidak melakukan hal tersebut, itu tolak ukur yang jelas untuk mencap bahwa dia tidak mengerti sopan santun. Kasta bonjour ini jauh sekali di atas mengucapkan terima kasih dan maaf, atau tolong. Hal kecil dan sesederhana ini, ketika semua orang melakukan dan ditekankan betapa pentingnya hal tersebut, akhirnya jadi karakter bangsa. Dan, menurut saya, dari hal kebiasaan kecil ini, tumbuh juga karakter-karakter lain yang lebih besar.

Setiap rumah pasti punya hal-hal baik yang ditekankan dan saya percaya, setiap orangtua berusaha untuk ngajarin itu. Cuma memang membiasakan sesuatu itu sulit sekali. Butuh komitmen dan kesabaran yang tinggi karena hasilnya ngga pernah instan dan kadang ngga semua hal yang seharusnya diajarkan dan dicapai oleh seorang anak bisa kepegang. Bahkan untuk hal paling basic sekalipun. Setidaknya yang orang pada umumnya menganggap hal tersebut sudah seharusnya ada. Kalo itu absen dari seorang anak, jelas PR orang tua dan lingkungannya, kecuali, memang ada keterbatasan dari segi fisik atau mental dari segi medis. Tapi disini asumsinya adalah anak normal pada umumnya.

Ketika satu hal absen dari anak, hal yang ngga bisa dihindari adalah penilaian dari orang-orang. Kita semua pasti ada di dua belah pihak. Menghakimi dan dihakimi. Oke, mungkin diperhalus, menilai dan dinilai.

Seperti saya menilai anak yang sifatnya kurang menyenangkan, yang mana dampaknya bukan cuma ke dirinya sendiri tapi sampai taraf menggangu kenyamanan orang lain. Di satu titik, bahkan cenderung jahat.

Saya ngga bisa tidak menghakimi orang tuanya bahwa PR mereka cukup banyak untuk memperbaiki hal tersebut. Apalagi ketika itu sudah bersinggungan dengan dan menggangu orang lain. Saya ngga bisa tidak nanya dalam hati, emang ngga diajarin ya, emang ngga tau kalo itu salah dan sebagainya. Masa hal basic kaya gitu bisa ngga ditekankan pentingnya. Tapi, sebagai orangtua, menerima kalo kita salah, apalagi dikritik tentang cara didik anak sendiri, juga ngga kalah sulitnya.

Saya pun merasa jadi pihak yang dihakimi ketika seorang guru di kelas bilang selama di kelas, anak saya cenderung suka sibuk sendiri, susah fokus meskipun ketika ditanya dia selalu bisa jawab. Juga tentang kemampuan bersosialisasinya yang kurang. Saya ngga menyangkal semua hal tersebut karena memang benar. Gurunya mungkin juga berasumsi hal-hal tersebut ngga cukup dilatih di rumah.

Tapi, untuk hal ini saya merasa perlu menjelaskan kenapa dan apa yang sudah dilakukan tanpa bermaksud membela diri. Soal fokus saya jelaskan tentang masalah Langit dan usaha yang dilakukan untuk mengatasi hal tersebut dengan harapan meskipun agak sulit, tapi setidaknya gurunya tau cerita dibaliknya sehingga pemahaman tentang anak bisa lebih baik. Saya juga minta maaf karena ‘menggangu’ kenyamanan gurunya.

Saya pernah beberapa kali ada di posisi Langit dan ibu saya ngga pernah diem kalo soal ini. Salah satu yang paling saya inget ini.

Guru piano di tingkat 6 saya super galak dan saya juga bukan murid yang pinter untuk standar sekolah musik itu. Kalo orang tua lain, tiap anaknya les pasti jauh-jauh supaya ngga denger anaknya dimarahin, ibu saya milih untuk dengerin di bawah jendela. Sampai di satu titik guru saya udah ngga tahan kali ya kok saya ngga bisa-bisa menurut standarnya dia, dan bilang dengan lugas ke ibu saya,

“Saya ngga pernah punya murid sebodoh dan semalas ini”.

Lugas dan tegas. Guru itu bilang saya bodoh. Males. Kurang apa coba.

Hahahaha, pas jadi anak sih saya biasa aja ya. Ya emang ngga bisa. Udah kenyang juga dimarahin. Tapi, abis jadi ibu, saya baru kebayang gimana perasaan ibu saya diomongin gitu di depan mukanya.

Biasanya abis dimarahin guru, trus lanjut dimarahin ibu saya. Tapi di hari itu, ibu saya jawab dengan lugas,

“Ibu mungkin bener kalo bilang anak saya bodoh. Tapi, saya keberatan kalo dia dibilang malas”.

Ibu saya jelasin panjang lebar apa yang sudah dilakukan. Gimana dia setiap hari bangunin saya jam tiga pagi, bikinin susu supaya saya bisa latihan sebelum subuh dan berangkat sekolah dan saya pun emang latihan setiap hari sepagi itu karena sore abis pulang sekolah udah capek. Malem kadang latihan juga sebentar.

Ibu saya ngerasa perlu melakukan itu bukan untuk membela saya (apalagi kalo emang ga pantes dibela), tapi orang perlu tau kalo kita juga melakukan sesuatu untuk mengatasi masalah tersebut dan penting sekali buat meluruskan kesalahpahaman. Dia juga minta maaf kalo saya ngerepotin.

Guru saya punya tiga murid kelas 6 yang nasibnya ditentukan di satu hari ujian, lulus lanjut atau keluar. Dia sering bilang dengan jelas, dari tiga murid kelas enamnya, cuma dua yang akan lulus. Gopas pasti lulus tanpa ke tingkat pra, Dini lulus ke tingkat pra, dan yang satu kemungkinan ngga bisa lulus dan tau siapa yang dimaksud dengan yang terakhir.

Tapi, sejak hari ibu saya bicara panjang lebar ke guru saya, sikapnya berubah. ‘Mindsetnya’ pun saya rasa berubah.

Saya masih inget itu bulan april 1998, kalo ngga salah tanggal 24 hari sabtu. Hari pengumuman kelulusan, saya ngga ikut karena sekolah siang, ibu saya pulang, dari dia di mobil muka saya udah tegang nanya gimana. Tapi dia bilang ntar tunggu masukin mobil dulu. Abis turun langsung nangis meluk saya bilang saya lulus.

Prediksi guru saya dua pertiga benar, yaitu cuma dua yang lulus dan Gopas langsung lulus tanpa lewat tingkat pra. Sepertiganya ibu saya yang menang. Karena yang lulus ke tingkat Pra bukan Dini, tapi saya.

Sampai saya lulus tingkat akhir empat tahun kemudian, meskipun udah ngga ngajar saya lagi, guru saya selalu ada di balik pintu setiap saya ujian akhir. Dia dengerin dari awal sampe akhir.

Hal kecil yang ibu saya lakukan dampaknya besar sekali. Itu yang menurut saya ngga semua orang tua punya skill dan mentalnya. Termasuk saya mungkin. Bahkan ngga semuanya tau hal-hal (penting) tersebut. Tau aja ngga, apalagi mencapai hal tersebut.

Dan itulah PR yang harus terus dikerjain. Males sih emang kadang, abis susah, hahaha.

Tapi, kalo liat taruhannya di masa depan, tetap ngerjain PR adalah hal yang paling gampang dilakukan di saat ini.

Semoga selalu diberi kesabaran dan waktu yang cukup. Amin.

Al fatihah buat ibu saya yang karena dia, saya jadi tau harus (berusaha) jadi ibu seperti apa.

Posted in Langit Senja, Places, Travel

Pulau Padar dan Langit Senja di Kanawa

Hari ketiga ketika bangun pagi, kapal sudah berlabuh di Pulau Padar. Alhamdulillah sampe sana cukup pagi dan belum terlalu rame. Karena lumayan banget naik ke atasnya. Untung kita berdua sama pendek nafasnya. Jadi ya emang banyak berentinya. Sambil foto, minum, ngobrol. Sementara Langit udah naik dengan cepat berkat bantuan Mas Ardi dan Mas Fauzi. Pemandangan dari atas Pulau Padar ini emang terkenal sekali dan subhanallah bagusnya. Cuma untuk sampe ke atasnya juga effortnya besar.

Setelah dari Pulau Padar, kita lanjut ke destinasi terakhir ke Pulau Kanawa. Di sini kita snorkeling ringan aja. Kayanya masih lebih bagus Pink Beach koralnya. Langit menikmati berenang dan main pasir sampe gosong di sini. Bayangin berenang jam dua siang!

Kalo ngomongin Langit selama trip ini, senyum saya terlalu lebar. Anak ini benar-benar asik kalo diajak pergi. Ngga rewel, makan apa aja, tidur dengan baik, berenang dengan hepi bahkan sangat di luar ekspektasi. Tidur di kapal dengan ombak tetep santai, naik perahu kecil ngga ada takutnya, snorkeling liat ikan di tengah laut lepas hepi banget, bahkan yang terakhir di Kanawa, udah selesai snorkeling bertiga, mau balik ke kapal pake perahu kecil, dia nyebur lagi sendiri sambil kasih makan ikan pake roti yang dibawa Mas Fauzi.

Gongnya adalah dia berenang sampe ke kapal sama Mas Ardi sementara saya naik perahu. Pak Dokter yang awalnya udah naik perahu, jadi nyebur lagi karena liat Langit beneran berenang dari dermaga sampe ke kapal. Entah disini yang gila kita orangtuanya atau gimana. Saya yang selalu main aman juga absurdnya ngebiarin. Cuma karena menurut saya cukup aman dan yah, kapan lagi bisa kaya gini, bismillah dibiarin. Ngeliat dia sampe kapal dengan muka hepi, rasanya cape tiap jumat sore nganterin dia les renang terbayar. Agak bias emang muji anak sendiri, dan bukan tentang skill berenangnya yang penting buat saya, keberanian dan percaya dirinya itu yang mahal.

Seneng juga jadi tau dia ternyata bisa menikmati matahari, gunung, pasir, dan laut kaya menikmati udara dingin dan playground bagus di Paris, London, Tokyo. Malah trip ini lebih kerasa buat dia dibanding yang sebelumnya. Snorkeling kedua dan ketiga udah ngga mau pake ban dan maunya berenang sendiri kemana-mana. Dia pikir ni kaya kolam renang sekolah kali ya. Dia juga bawa semua peralatan dan mainannya sendiri. Tas memang saya siapkan, tapi semua dia bawa dan urus sendiri. Untuk anak umur 4 tahun, dalam hal kedewasaan dan kemandirian Langit jelas di atas rata-rata. Mungkin hasil dari terbiasa traveling sejak awal juga.

Semoga masih ada rejeki buat dateng ke tempat-tempat seperti ini lagi nanti. Libur sudah selesai.

Alhamdulillah.

Berenang dari dermaga ke kapal. Beyond cool, Langit Senja!

“Anggep aja kaya naikin rumah tangga kehidupan. Berat, tapi pasti sampe,” kalimat sok bijaksana Pak Dokter yang ngga terlalu banyak bantu juga

Posted in Favorite things, Langit Senja

Swimming Lesson

It had been some times when we were thinking about enrolling Langit to swimning lesson to get a proper training. So, when her school distributed extraculicular form at the beginning of August, we didn’t hesitate to sign up for swimming. It turned out Langit was the only one from her class who went for swimming class.

The lesson runs every Friday afternoon with 3-4 other older kids. Most of them are in primary school grade 2 or 3. At first, I was quite dobtful if she could keep up with them or they could tolerate a little girl joined their group because of skill level difference. Gladly, after first lesaon, the coach said he didn’t have any objections for Langit to join the Friday class with those older kids.

I am quite satisfied with the lesson as well as the coach. After eight sessions, Langit has freee from any arm floats and really start learning to swim properly. She enjoys and keeps looking forward to her lesson too. It’s a joyful feeling to see her enjoying something that we consider important for her life. Hopefully she keeps the excitement and the courage to learn until she really masters all swimming skills.

We are pretty strict when it comes to swimming. Along the lesson, one of us keep standing by the pool to keep her focus (pardon our annoying voices on the videos). Swimming is not a mere sport. It’s a must learn and if possible, master, because it’s one of the most important survival skills.

First Meeting

Fifth Meeting

Eighth Meeting

Posted in Langit Senja, Maternité, Thoughts

School is (finally) Cool

Next Monday will be the beginning of Langit’s new adventure in a new place called school. A real school life. After postponed school for some time, she finally shows us that she is ready for that.

I once wrote about school is not cool and it was almost two years ago. Right after that not too pleasant experience, Langit had lots of chances to see the world and had been going places a lot. They were surely more interesting school for her. From Paris, London, Manchester, Liverpool, Tokyo, Solo, Jogja, Surabaya, until Tanah Bumbu. She survived long haul flights well, enjoy lots of new tastes in many places she visited, played in many playgrounds and beautiful gardens, traveling to lots of new places at such young age.

At the beginning of this year, after several meetings with pediatrician, she started her therapy sessions twice a week. This session actually feels more like a private playing lesson. Unlike our previous experience, which made the heart feel so heavy everytime we had a class, this one is a light-hearted one. So grateful that she gets a very kind facilitator to play with for an hour. It’s been seven months and we plan to keep coming.

On May, we enrolled her in a daycare nearby once a week. We try to put and expose her to a larger group. Eventhough it’s only once a week for six hours, she gets enough experience to interact with other children and we’ve been through it with almost zero drama like crying when I left her, etc. She’s been spending six hours there pretty well.

Guess it’s true. When the child is ready, she will be truly ready.

We finally came up with decision about which school to go last May too. After lots of school visits, paying registration fees to some schools, we decided to send her to the very first school we visit. It feels good because I am an avid believer that the first answer is rarely wrong.

It’s a quite new school, still trying to gain new students, and unlike many other parents who prefer the more established one, we choose this school.

We love its big and wide playground with lots of toys. A swimming pool is there too. It’s located inside a housing residence, far from busy road. I once also had a doubt about sending her to less known school, but after what we’ve been through in these past six months, we finally came to a conclusion that we need people who’s willing to understand her and some environment where she could show something that she’s good at.

I found this willingness in the school principle character. A middle-age kind lady who’s been pretty helpful and shows that Langit’s English speaking preference will be fine here and it’s just matter of time when she could acquire bahasa Indonesia as well as her English. Apart from the fact they are still trying to get students, but it’s quite soothing knowing the teachers themselves are eager to help. I once wrote about how I wish to meet this kind of teacher for Langit  like one in the article of this The World Against (Y)Our Introverted-Child.

We told the pricipal that we don’t expect much as long as she is happy to be there, eager to join her friends sometimes and do what the teacher told her to. In fact, we have already mentioned that we prefer letting her stay another year in kindergarten when she is not ready for elementary.

There is possibility that we might be wrong, but hopefully we won’t be or at least, whatever wrongs that will come in the future, it’s all repairable.

I have been praying a lot the same and usual pray that I always recite whenever coming to a new place. For us to meet the kind one. It has been always answered and hopefully this time will too.

Sending my little girl to her first world out there after keeping her safely 24/7 for 3,5 years are surely scary.

Goodluck, baby.

Be ready, mommy.

Bismillah.

Posted in Langit Senja, Places, Travel

Langit Senja in Tokyo

When Autumn in Paris was the hardest since it was the first time, Spring in London were bearable and manageable in spite those hours of transits, we could say Winter in Tokyo was very much easier.

Knowing Langit had survived Paris and London, we were pretty confident with Tokyo and she turned out really nailed it. She enjoyed the food a lot, survived all day being outdoor with very little crankiness. We decided not to go to Disneyland because it was too expensive for her age. In spite of Disneyland, we decided to let her having a dose of playground everyday which we found a lot in Tokyo, unlike in London. We let her play for an hour, mingled with those Japanese toddlers. We even visited a large indoor playground near our apartment, not free of course and it was only for an hour.

Unlike Paris and London where buses were available for our itinerary, Tokyo has very limited choice. Not even once we took bus to go anywhere. So subway was the only choice and way to reach the train were very long with lots of stairs. We made her walk down the stairs on her own. It was slowing us down for sure, but that was fine. She enjoyed doing it alone. When the passage was too far, we let her to hop on her stroller again.

At this age, she had been to place I could never think of when I was her age. The hope that her steps could go further than her parents could take her to is surely high. Amin.

Tokyo dome
Ueno Park
Meji Jingu Shrine
Yoyogi Park
Tokyo Tower
Shinjuku Station
Korakuen Station Playground
Posted in Langit Senja, Maternité, Review

Konsul Tumbuh Kembang di Brawijaya Clinic Kemang

Tulisan pertama di tahun ini.

Mau sedikit cerita tentang judul di atas, dianggep review juga boleh.

Perkembangan bahasa Langit agak lambat dibanding perkembangan lainnya dan kemampuan dia menyerap bahasa Inggris berapa kali lebih cepat dibanding bahasa Indonesianya. Lagu pertama yang bisa dihafal sampai selesai itu Moon Rivernya Frank Sinatra, karena orangtuanya juga suka banget.

Di umur yang sekarang ini, berhitung, nama benda, hewan, buah, dsb, hafalan surat pendek, doa sehari-hari, dia hafal dengan cepat. Kemampuan meniru katanya cukup bagus. Cara melafal dalam bahasa Inggris lebih mantep dibanding bahasa Indonesia. Soal perbendaharaan kata insya Allah aman. Yang jadi permasalahan adalah kemampuan dia merangkai kalimat dan ekspresif dalam berbicara.

Banyak hal yang bisa jadi penyebab dia agak sulit merangkai kata. Paling pertama adalah kita yang emang kasih gadget dimana tontonan yang dia liat sehari-hari emang kebanyakan bahasa Inggris. Walaupun komunikasi di rumah hampir seluruhnya dalam bahasa Indonesia, tapi mungkin banyak kata yang lebih mudah diucapkan dalam bahasa Inggris, yang biasanya hanya punya satu suku kata.

Faktor lain bisa jadi karena di rumah juga sepi dan Langit dikelilingi oleh orang-orang yang juga ngga banyak bicara.

Kita sempat ikutin sekolah bermain waktu dia umur 1,5 taun dan kurang berhasil buat dia dan kita sebagai orangtua. Anaknya belum siap,  begitupun orangtuanya. Tiap waktunya sekolah saya kaya punya hutang. Ngga nyaman sama sekali.

Usia 2 tahun kurang 2 bulan, kita mutusin untuk konsul ke dokter tumbuh kembang. Karena di Sam Marie belum ada, DSAnya merujuk ke salah satu dokter spesialis tumbuh kembang. Ketemu pertama kali dengan dr. Bernie langsung suka, kaya pertama kali ketemu dengan DSAnya Langit.  Waktu itu di klinik Brawijaya FX Sudirman yang sekarang ternyata sudah tutup dan pindah ke UOB Plaza.

Hasil konsul yang pertama dari dr. Bernie adalah kalo Langit masih dalam ambang batas wajar. Belom perlu terapi apapun, lebih banyak diekspos dengan kata-kata dan bicara dengan orang. Setelah dari dokter, perbendaharaan katanya memang naik drastis banget. Banyak banget kata-kata baru yang keluar dan itu melegakan sekali.

Ketika hampir tiga tahun dan kita udah mulai memikirkan masuk sekolah, dengan tau kemampuan Langit dalam merangkai kata dengan kasual belum terlihat, kita akhirnya mutusin untuk konsul sekali lagi. Langit bisa merangkai dua sampe tiga kata cuma dalam bahasa formal. Bukan bahasa percakapan. Kita ngerasa ini udah waktunya ditanyakan kembali. Setelah satu taun lebih, kita ketemu dengan dr Bernie lagi. Kali ini di Brawijaya Clinic Kemang.

Buat yang tinggal di Jakarta Timur, jaraknya cukup jauh kalo ngga mau bilang jauh banget. Kalimalang-kemang itu kalo bukan karena sesuatu yang penting dan krusial, ngga akan dijalanin.

Pertama kali dateng, langsung sreg. Karena : SEPI! Saya terus terang ngga pernah bisa nyaman sama apapun jenis RS atau klinik yang lobinya aja udah rame. Kaya RSIA yang di Menteng. Ke rumah sakit atau dokter aja udah bikin gelisah, tempat yang rame bikin saya makin ngga nyaman.

Lobbynya ada beberapa sofa dan disediakan snack dan minuman dingin yang bisa diambil buat yang nunggu. Kliniknya ngga besar, cuma ada lobi utama, turun ke bawah setengah tangga ada ruang konsul dan terapi, naik dari lobi utama setengah tangga juga ada ruang konsul lainnya. Karena ini klinik, jadi praktek dokternya pun juga terbatas. Selain dokter anak, ada dokter umum, obgyn, penyakit dalam, kulit, dan gigi. Kurang lebihnya sama menunya kaya di Sam Marie Basra. Cuma kalo Sam Marie jualannya lebih ke masalah kandungan dan fertilitas, di Brawijaya Klinik Kemang lebih lengkap di bagian pediatri.

Masuk ke ruangan konsulnya, ternyata kita langsung konsul ke dua dokter sekaligus. Dr Bernie untuk masalah tumbuh kembangnya, dr. Amandeni untuk bagian rehab medik yang menentukan terapi yang sesuai untuk anak atau justru tidak memerlukan terapi.

Ruang konsulnya lebih mirip playground kecil ya. Duduknya di matras, banyak mainan, dua dokternya juga megang papan jalan buat nulis. Sekitar setengah jam ngobrol ditanya ini itu sambil Langit diobservasi.

Hasil observasinya menyatakan kalo Langit disarankan untuk ikut terapi Sensori Integrasi II. Menurut dokter rehab medik, adaptasi bagus, koordinasi tangan mata oke,komunikasi cukup baik karena dia bisa jawab apa yang ditanya, ngerti instruksi, dsb, tapi kemampuan untuk fokusnya masih kurang dan harus dilatih. Kontak matanya juga masih terlalu sebentar. Jadi, disarankan untuk boleh mulai sekolah, ketemu banyak orang sambil terapi.

Kalo saran ini saya denger setahun lalu, saya mungkin akan resisten. Denger kata terapi seakan-akan kaya ada stempel yang sangat ngga nyaman. Tapi kemarin, perasaan beda banget. Saya ngerasa siap kalo memang ada kekurangan yang harus diperbaiki dan itu bukan masalah besar. Sempet ngeri juga sama biaya yang harus dikeluarkan buat konsul dan terapi, ternyata Alhamdulillah masih sangat masuk budget sesuai kemampuan.

Langit sudah ikut terapi pertama dan cukup berhasil bertahan selama sejam di satu ruangan dengan orang asing tanpa nangis dan minta keluar. Kita bilangnya juga kalo ini kaya main di playground aja dan ngga bohong juga karena ruang terapinya emang mirip playground, hehe.

Saya suka dengan tempat dan pelayanannya selama dua kali datang ke sini. Bersih, apik, tenang, semua staffnya ramah. Cuma satu kurangnya : ngga ada tempat solat. Jadi dua kali datang, kita disiapin ruangan praktek yang kosong buat solat, wudhunya di kamar mandi.

Semoga ke depannya kalo memang memungkinkan, manajemennya juga bisa menyediakan tempat solat khusus. Agak ngga enak juga sih soalnya ngerepotin staffnya tiap kali mau solat yang mana insya Allah akan ngerepotin lagi karena jam terapinya pas waktu solat.

Dr Bernie karena memang udah ketemu dan cocok makanya bela-belain ngejar sampe Kemang, buat kita nyaman buat konsul. Ngga judgmental secara frontal, santai, ngga buru-buru mendiagnosis sesuatu. Dr Amandeni lebih tua, sudah pensiun juga dari RSCM, bagusnya dengan dua dokter seperti ini mungkin jadi lebih objektif hasil konsultasinya.

Kita mutusin untuk ambil paket terapi 10 kali, seminggu dua kali. Biaya yang dibayar lumayan juga bedanya dengan kalo bayar per datang.  Selain itu supaya lebih komit juga. Karena udah bayar di awal ya mau ngga mau harus dateng atau pasti diusahain dateng.

Untuk biaya konsulnya karena kami bayar pribadi jadi udah minta ancer-ancer via WA setelah dikonfirmasi kalo kami dapat tempat untuk konsul, yang sebelumnya waiting list. Angka ancer-ancer yang dikasih cukup lumayan dan kita spare juga kemungkinannya bisa jadi lebih dari itu.

Berdiri di kasir RS nunggu tagihan keluar emang sensasinya beda ya. Di kepala udah seliweran angka ini itu sambil ngebayangin sisa saldo. Ikhlas, tapi meringis mah ngga bisa dihindarin. Ketika CSnya nyodorin kertas di meja sambil sebut angka, kembali diingetin lagi, kalo rejeki itu selalu ghoib. Cuma perlu percaya dan usaha buat selalu cari yang halal. Hasil akhirnya, yang bener-bener sampe ke kita, bukan pake matematika akal manusia.

Karena tagihan yang dibayar setengah dari yang kita siapkan, masih bisa dipake buat melipir sedikit ke Taman Kemang mampir ke restoran yang udah lama banget pengen saya datengin tapi karena jauh belom kesampean.

Sampe rumah jam setengah 10 malam, hati dan pikiran lega karena udah dapet solusi yang aplikatif buat masalah Langit, perut lega kerena terpenuhi sama gyutan don dan soto banjar yang enak banget di Akasya Express, keadaan rekening masih dalam kondisi aman setelah mengeluarkan yang memang harus keluar.

Tentang terapi SI  ada rencana untuk nulis di postingan terpisah setelah paling ngga sudah ikut setengahnya. Mungkin ada yang perlu referensi juga nantinya.

Semoga bermanfaat buat yang sedang cari dokter dan RS buat tumbuh kembang ya!

 

Terapi Wicara dan Sensori Integrasi di Brawijaya Klinik Kemang